Perajin Sangkar Burung dari Desa Sangkanhurip

Oleh Supriatna

Para penggemar burung tentunya tidak pernah terbayangkan bahwa sangkar burung yang menaungi piaraan kesayangannya berasal dari para perajin di Desa Sangkanhurip, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung. Berdasarkan data statistik tahun 2005, terdapat 19 unit kelompok usaha sangkar burung yang dikelola oleh sekitar 100 kepala keluarga. Tentunya usaha ini bisa menjadi potensi desa yang bisa dikelola, namun ternyata banyak kendala yang menyebabkan kerajinan sangkar burung tidak berkembang pesat.Modalnya Serba Pas-pasan
Kendala utama yang dirasakan oleh para perajin sangkar burung adalah persoalan modal. Hingga kini modal berputar di antara para perajin sangkar burung di Desa Sangkanhurip berkisar antara Rp 10-30 juta per kelompok. Modal tersebut sebagian besar didapat dari hasil jerih payahnya sendiri. Sedikit sekali yang didapat dari hasil pinjaman atau bantuan dari luar. Permodalan tersebut terdiri dari modal tetap, bahan baku dan biaya operasional, serta upah para pekerja.

Permodalan yang dimiliki oleh para perajin dirasakan serba pas-pasan, dan sangat sulit untuk pengembahgannya. “Dalam situasi seperti ini di mana bahan-bahan pada naik, seperti gergaji, sirlak, cat, bambu, ataupun kayu cukup besar kenaikannya, ya… kita harus bisa-bisanya mengatur karena memang modal kita serba pas-pasan dan kita pun sangat kesulitan dalam memperoleh permodalan dalam pengembangan usaha ini,” tutur Uu Wahyudin salah satu perajin sangkar burung dari Dusun Bungursari.

Pada tahun 2000, pemerintah desa dan Lembaga Pemerdayaan Masyarakat (LPMD) sebenarnya telah melakukan berbagai upaya dalam ikut mendukung pengembangan para perajin sangkar burung dengan penyaluran dana P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) di tahun 2000. Hanya berdasarkan evaluasi LMPD pengembalian dana ini molor dan terkesan macet yang disebabkan tidak tepat sasaran.

Kini sudah ada pihak yang mulai melirik para perajin ini dan ada satu dua orang perajin yang sudah mulai menerima kucuran bantuan permodalan dari pihak bank swasta. Dana yang diperoleh dari pihak bank swasta ini berkisar antara Rp 5-15 juta dengan masa pinjaman sampai 5 tahun. Bantuan dana dari pihak bank swasta ini memang membantu, namun banyak perajin yang masih menghadapi kendala untuk memperolehnya. Selain jumlah pinjamannya relatif kecil ternyata begitu banyak persyaratan untuk mengaksesnya. Akhirnya tidak sembarang orang bisa mendapatkannya, terutama mereka yang masih mengelola usahanya dengan manajemen tradisional.

Faktor lain yang juga sangat mengganggu perputaran modal antara lain isu wabah flu burung. Isu itu telah menurunkan produksi hingga 30 sampai 40%. Dengan kasus wabah flu burung banyak sangkar burung yang terpaksa harus dijual dengan harga murah daripada harus disimpan dan hancur dimakan rayap. Para perajin pun mengurangi kapasitas produksinya, dan lebih hati-hati menyikapi berbagai pesanan sangkar burung.

Pemasaran Melalui Agen

“Kita memang sudah memasarkan produk melalui agen-agen yang sudah menjadi langganan, tetapi akan lebih baik kalau pasarnya lebih luas lagi. Seperti kita ketahui bahwa sangkar itu bukan merupakan kebutuhan pokok, ya…. dalam masa yang serba sulit ini memang agak susah dalam mencari pasar, apalagi dengan adanya isu wabah flu burung. Sekarang saya lebih mengharapkan ada pihak pembeli dari luar negeri yang mau membeli produk kerajinan sangkar burung dari kita ini, masalah kualitas saya berani menjamin,”jelas Undang Wakyudin, 42 tahun salah satu perajin dari Dusun Bojong Tanjung, yang mengaku sudah 25 tahun menekuni kerajinan sangkar burung.

Selama ini, pemasaran yang dilakukan oleh para perajin pada dasarnya hanya ada dua cara yaitu pemasaran melalui agen, dan pemasaran langsung kepada konsumen. Dari kedua cara pemasaran ini memang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Cara pemasaran yang menggunakan agen kelebihannya adalah dari segi kuantitas yang cukup banyak dan bertahan lama namun keuntungannya lebih kecil. Hal ini berbeda dengan pemasaran yang dilakukan sendiri dan langsung ke konsumen, keuntungan yang didapat bisa lebih besar, dan perajin bisa mengetahui keinginan konsumen. Kelemahan sistem pemasaran langsung adalah jumlah produk terbatas, tidak bisa banyak karena tergantung kepiawaian perajin mencari konsumen.

Sistem pemasaran dengan penyaluran lewat agen memang dianggap lebih baik, tapi kalau kita lihat perbandingan sosial ekonomi antara para perajin dengan para agen jelas sangat terlihat perbedaannya. Para agen lebih menguasai para perajin dengan menetapkan standar harga. Namun perajin tidak mempunyai posisi tawar yang kuat karena pemasaran melalui agen lebih menjamin keberlangsungan produksi dan tidak sulit memasarkan produk ke berbagai daerah.

Biasanya para perajin memasarkan produknya ke agen-agen di Jakarta, Cirebon, Suka Haji dan Ujung berung (Bandung). Pemasaran sangkar burung dari para agen memang disalurkan keberbagai daerah yang ada di Indonesia bukan saja di Pulau Jawa tapi sampai ke Pulau Sumatra sepeti Padang, Medan, Lampung, ke Pulau Kalimantan seperti Banjarmasin dan Pontianak ke Indonesia bagian timurseperti ke Maluku, Bali, dan Kupang. Bukan hanya di dalam negeri, pemasaran sangkar burung sudah mencapai Jepang dan Malaysia melalui agen di Jakarta dan Cirebon. Tetapi lagi-lagi para perajin tidak mempunyai akses langsung untuk melakukan kegiatan ekspor.

Sepenggal Harapan

Kini para perajin boleh berharap karena ada perbaikan dari sistem kebijakan pemerintah desa. Misalnya rancangan Alokasi Dana Desa (ADD) kini dibuat berdasarkan aspirasi masyarakat desa yang ditampung lewat Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD). Ha) ini menunjukkan suatu kemajuan sistem yang lebih baik, transparan, aspiratif, dan selektif. Dalam kesempatan ini masyarakat berhak mengajukan, mengusulkan, serta mengaturanggaran alokasi dana desa sesuai dengan keperluan dan potensi yang berkembang di desa tersebut.

Para perajin sangkar burung pun berharap mendapat perhatian dan dukungan yang lebih baikdari pemerirrtah dalam berbagai hal. Misalnya dalam bentuk perizinan usaha yang diharapkan dapat lebih mudah dan murah. Setidaknya pemerintah pun bisa membantu para perajin dengan membuka berbagai pelatihan yang dapat memacu kreativitas dan motivasi para perajin sehingga diharapkan para perajin bisa lebih berkembang lagi.

Tidak ketinggalan peranan media komunikasi warga. Radio Komunitas PASS FM 107,9 MHz bisa menjadi sebuah peluru kendali yang harus mampu mengontrol, mendorong, dan mendobrak berbagai kebijakan dan peluang sehingga akan tercipta suatu kesinergisan usaha yang lebih baik. Radio Komunitas PASS FM banyak mengangkat potensi-potensi masyarakat, mengajak masyarakat bisa lebih cerdas. Dalam langkah awalnya PASS FM banyak menggelar diskusi tetang berbagai potensi desa, salah satunya tentang pemerdayaan perajin sangkar burung. Dukungan semacam ini diharapkan dapat memacu motivasi para perajin sangkar burung. Agar tidak menjadi sangkar di desanya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud