Mencari Posisi Radio Komunitas dalam Penanggulangan Bencana

Tak ada lagi alasan untuk menyudutkan radio komunitas bahwa informasi yang disiarkannya tidak bisa dijamin keakuratan dan keaktualannya. Radio komunitas, secara hukum, telah diakui berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan diperdalam di Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Pemerintah. Lembaga itu merupakan salah satu bentuk dari lembaga penyiaran komunitas, di samping bentuk-bentuk lembaga penyiaran yang lain, yaitu lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran berlangganan. Jadi, proses produksi dan penyiaran informasi dari sebuah radio komunitas juga mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik, tidak berbeda dengan proses jurnalistik yang terjadi di lembaga penyiaran lainnya.Namun, menurut Direktur Pelaksana Daerah PKBI Daerah Istimewa Yogyakarta Mukhotib MD yang telah sarat pengalaman dalam dunia penyiaran komunitas, tetap perlu ada identifikasi lebih dalam mengenai peran yang bisa diemban oleh radio komunitas dalam ranah penanggulangan bencana. Bagaimanapun, radio komunitas telah terbukti memiliki posisi yang kuat dan penting di masyarakat, baik dalam tahap mitigasi bencana, tanggap darurat, maupun dalam tahap pascabencana dan pemulihan. Apakah kemudian radio komunitas perlu diperkuat kedudukannya dalam konteks penanggulangan bencana dengan dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan dan turunannya, akhirnya dipandang tidaklah terlalu penting lagi. Hal itu menjadi salah satu pandangan yang terlontar dalam diskusi terbatas “Mencari Posisi Peran Radio Komunitas dalam Penanggulangan Bencana” yang diselenggarakan oleh COMBINE Resource Institution di Pendapa Karta Pustaka, 22 Februari 2008 lalu.

Pewarta warga menyikapi bencana

Informasi apa saja yang harus diolah oleh radio komunitas dan bagaimana informasi itu disampaikan kepada masyarakat, menjadi titik kunci pengidentifikasian peran radio komunitas dalam konteks penanggulangan bencana. Para pegiat radio komunitas sendiri ternyata telah melakukannya secara mandiri sejak lama. Sukiman, pegiat Radio Komunitas Lintas Merapi FM, misalnya, radio komunitas yang ia kelola bersama warga desanya dapat berperan sebagai pusat kegiatan masyarakat, yang mampu membangun sendiri metode pendidikan kebencanaan bagi masyarakat. Radio komunitas yang terletak di Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten yang tepat berada di lereng tenggara Gunung Merapi itu berupaya menyampaikan informasi tanpa harus memiliki program siaran berita. Radio siaran komunitas itu hanya memiliki program siaran hiburan. Informasi dan berita mereka sampaikan di sela-sela program hiburan itu. Menurut Sukiman, hal tersebut dilakukan karena masyarakat desanya yang rata-rata hanya berprofresi sebagai petani dan penambang pasir itu cenderung tidak menyukai program berita. Padahal, berita-berita terkini, termasuk peringatan dini terhadap ancaman Gunung Merapi yang selalu dipantau oleh reporter Lintas Merapi FM itu, penting untuk diketahui oleh masyarakat, terutama para penambang pasir yang berada di daerah rawan bahaya di aliran Sungai Woro.

Peran peringatan dini juga mampu disandang oleh Endra Harsaya, atau yang dikenal dengan nama Hendro Plrered, pegiat Radio Komunitas Swadesi FM. Radio komunitas yang terletak di Desa Jambidan, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta itu telah secara rutin berkomunikasi dengan Tim SAR Parangtritis, Bantul. Radio komunikasi yang ada di studio digunakan terus untuk memantau situasi terkini terkait mitigasi bencana dengan berbagai jaringan komunikasi radio, termasuk Posko Pemantauan Gunung Merapi di Balerante, Klaten serta Kantor Badan Meteorologi dan Geofisika Yogyakarta.

Peran radio komunitas pada tahap pemulihan pun juga pernah diemban oleh Radio Komunitas Swadesi FM itu. Pascagempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah pada 27 Mei 2006 lalu, radio tersebut menggagas acara bertajuk Konco Aduk-aduk, Udak-udak, Tuthuk-tuthuk yang ditujukan sebagai program acara untuk menemani para warga atau pekerja yang sedang membangun rumah atau rekonstruksi pascagempa.

Penguatan posisi radio komunitas

Dari beberapa pengalaman pengelola radio komunitas yang disampaikan, dapat dipahami bahwa sebenarnya radio komunitas telah memiliki posisi yang cukup kuat di masyarakat. Fungsinya telah dipahami bersama sebagai salah satu sumber informasi, termasuk dalam hal kebencanaan. Ke depan, peran itu hanya perlu diperkuat dan dipublikasikan secara lebih luas kepada masyarakat. Tak hanya dengan kegiatan on-air, sebuah radio pun juga bisa memanfaatkan kegiatan off-air untuk mengembangkan pendidikan kebencanaan kepada warganya. Hal itu pun bisa cukup memberikan dampak yang efektif. Radio Komunitas Lintas Merapi, misalnya, radio itu turut berperan dalam menggagas dan mengembangkan berbagai forum warga di lereng Merapi. Forum-forum warga itu, antara lain, berupa kelompok pemuda pecinta lingkungan, peronda siaga Merapi, dan berbagai kelompok tani mandiri. Pengembangan berbagai kelompok kerja dan forum warga yang mampu memberikan pemasukan ekonomi menjadi salah satu tujuan utama karena warga ingin mereka bisa siap secara ekonomi ketika ancaman bencana melanda. Warga lereng gunung api aktif itu sadar bahwa untuk bisa berdaya di tengah ancaman bencana tidak bisa hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah dan lembaga lainnya. Daya tersebut, bahkan, akan mampu mereka manfaatkan untuk membantu warga lain yang terkena musibah. Pascagempa 27 Mei 2006 lalu, warga lereng Merapi itu beramai-ramai menggalang bantuan berupa layanan pembangunan rumah sederhana bagi korban gempa di Klaten dan Bantul.

Dalam konteks kebijakan dan peraturan perundang-undangan pun penguatan peran radio komunitas itu pun dapat disisipkan sebagai agenda. Walaupun dalam salah satu lontaran di atas, dipandang bahwa apakah radio komunitas penting untuk masuk atau tidak dalam peraturan hukum, tetapi bukan berarti hal itu tidak perlu diupayakan. Dalam satu hingga dua tahun ini, negara dan beberapa provinsi tengah sibuk menyiapkan perangkat hukum dalam hal penanggulangan bencana, termasuk Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah. Di Yogyakarta, masih belum disepakati apakah jaringan radio komunitas akan diupayakan untuk bisa masuk dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) dan peraturan daerah mengenai penanggulangan bencana. Sementara, di Klaten, Jawa Tengah, Radio Komunitas Lintas Merapi telah diakui sebagai salah satu sumber daya penting yang dapat berperan dalam penanggulangan bencana. Hal itu telah dituangkan dalam Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana Letusan Gunung Merapi Kabupaten Klaten.***

Elanto Wijoyono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud