Mengapa Harus Televisi Komunitas

Jika kita tidak mudah melupakan sesuatu, kita pasti ingat bahwa perkembangan media tahun 2006 ditutup dengan sebuah catatan kelam: jatuhnya korban smack down, ada yang meninggal dunia, banyak yang cacat dan terluka, semuanya anak-anak. Anak-anak SD memperagakan permainan smack down yang mereka tonton di televisi di selasar-selasar sekolah pada jam-jam istirahat sekolah. Mereka memilih permainan smack down, bukan permainan yang diajarkan guru mereka di sekolah. Ternyata, televisi jauh lebih mereka ’gugu’ dan ’tiru’ dibandingkan guru di sekolah mereka (Nazaruddin, 2006).
Sebuah penelitian menunjukkan, masyarakat kampung nelayan di Sulawesi Selatan sepulang dari melaut di petang hari biasanya mereka akan makan malam dan setelah itu langsung tidur. Namun, setelah di kampung tersebut banyak warga yang menonton televisi, mereka umumnya tidur larut malam karena menonton acara hiburan di televisi (Etjip: 1989). Rusdi Muchtar (seperti dikutip Rakhmat, 1997: 235) dalam penelitiannya di pedesaan Sulawesi Utara seperempat abad lalu sudah melaporkan bahwa sebelum ada televisi orang terbiasa tidur jam delapan malam dan bangun pagi sekali untuk bersiap ke tempat kerja atau ke ladang. Namun, setelah ada televisi, orang-orang – terutama muda-mudi – sering menonton televisi hingga larut malam dan bangun lebih siang. Setelah kehadiran televisi para petani berangkat ke ladang lebih siang dan pulang lebih cepat.
Contoh-contoh di atas menunjukkan betapa media massa, khususnya televisi, sangat berpengaruh kepada khalayak luas. Teori agenda setting percaya akan keperkasaan media massa untuk mendikte pikiran khalayak. Tidak hanya menentukan mana yang penting dan mana yang tidak penting, lebih dari itu, media massa menentukan mana yang harus dipikirkan serta mana yang tidak perlu dipikirkan (Griffin, 2006: 395-396).
Televisi hadir dalam masyarakat Indonesia ketika budaya baca belum terbentuk, oplah koran harian masih jauh dari ideal, begitu juga industri perbukuan belum berkembang. Akibatnya, budaya baca terpotong begitu saja, tergantikan budaya menonton.
Televisi mempunyai posisi yang khas dan teramat penting dalam masyarakat Indonesia. Media ini biasanya ditempatkan di ruang keluarga, dimana seluruh anggota keluarga menontonnya secara bersama-sama. Masyarakat Indonesia terbiasa menonton televisi lebih dari 5 jam dalam sehari. Hampir seluruh keluarga dalam masyarakat Indonesia memiliki televisi. Di kalangan keluarga menengah ke atas bahkan biasa terdapat lebih dari satu televisi, selain sebuah televisi di ruang keluarga, tiap anak memiliki televisi di kamarnya masing-masing. Saat ini, jumlah pesawat televisi di Indonesia diperkirakan mencapai 40 juta buah, dengan jumlah penonton mencakup hampir seluruh masyarakat Indonesia. Keinginan memiliki televisi jauh lebih besar daripada keinginan untuk membeli buku atau berlanggganan koran.
Televisi sungguh ”penting” bagi kita. Setelah penat seharian bekerja, masyarakat Indonesia terbiasa melepas penat dengan menghabiskan malam di depan televisi. Berbagai acara sudah disiapkan stasiun-stasiun televisi, mulai dari sinetron, talkshow, film, reality show, kuis, infotainment, hingga berbagai kontes musik. Esoknya, para anggota masyarakat tersebut bekerja lagi, malamnya kembali di depan televisi. Rutinitas berputar di dunia kerja – televisi, kerja – televisi, begitu seterusnya.
Kesimpulan di atas barangkali terlalu generalis, namun dikenalnya waktu prime time antara pukul 18.00 – 21.00 WIB yang menunjukkan bahwa pada waktu-waktu itu jumlah orang yang menonton televisi lebih banyak dibandingkan waktu-waktu lainnya, menjadi argumen mudah sekaligus tepat yang menopang kesimpulan rutinitas kerja-televisi tersebut.
Singkat kata, televisi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari (daily activities) masyarakat Indonesia, hadir di tengah-tengah keluarga, mulai dari masyarakat miskin perkotaan, masyarakat desa yang bersahaja, hingga kaum menengah ke atas di kota-kota besar (Rakhmat, 1997: 255-261).
Banyak pakar menyatakan, dengan kekuatan yang dimiliki, sebenarnya televisi tengah melaksanakan fungsi-fungsi pendidikan, yaitu pewarisan nilai, sosialisasi, internalisasi, dan eksternalisasi. Dengan kata lain, orang belajar hidup, membaca realitas, menyerap nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan, semuanya dari televisi. Televisi telah menjadi hidden curriculum yang mendidik kita semua (Nazaruddin, 2006).
Jika kita telisik lebih jauh, media lainnya pun menjalankan peran yang sama, walau tidak sekuat televisi. Melalui radio kita belajar menyukai dan menyanyikan dengan asyik lagu-lagu berbahasa asing, walau sebenarnya kita tidak paham apa arti lagu yang kita nyanyikan. Melalui radio kita juga belajar life style terbaru yang kemudian secara beramai-ramai kita ikuti.
Begitu juga, melalui koran dan majalah kita mempelajari berbagai peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi. Melalui majalah wanita, para remaja putri belajar bagaimana berdandan, mengikuti mode dan tampil cantik, ibu-ibu rumah tangga belajar bagaimana memasak, melayani suami, merawat anak dan sebagainya (Nazaruddin, 2008). Majalah wanita telah menjadi tempat belajar bagi para perempuan, sayangnya bukan untuk meningkatkan kemampuan dan mensejajarkan diri dengan laki-laki. Sebaliknya, menjadi tempat belajar bagaimana bertahan dan melangsungkan kehidupan secara bahagia dalam budaya patriarkhis dengan cara mengajak mereka untuk bergelut dengan makanan (food), mode pakaian (fashion), tubuhnya sendiri (body) dan urusan-urusan privat lainnya (Yusuf, 2004: 359-360).
Media memang telah menjadi kurikulum sekaligus guru bagi masyarakat. Sayang, fungsi pendidikan ini menjadi kontradiktif ketika kita menengok ‘fitrah’ media itu sendiri sebagai lembaga komersial dengan orientasi utama akumulasi modal. Dalam era globalisasi sekarang ini, media adalah entitas bisnis, lahir dan berkembang demi akumulasi keuntungan, dikendalikan oleh kekuatan pasar (market driven media). Lalu, dimanakah fungsi pendidikan yang harus mereka jalankan? Jawabannya tegas, tidak menjadi pertimbangan.
Catatan yang harus selalu kita ingat, kondisi media tersebut akan memunculkan konsekuensi-konsekuensi serius yang sangat buruk, namun seringkali tidak kita sadari.
Konglomerasi Televisi
Pembicaraan mengenai televisi dengan segenap kekuatan, pengaruh dan dampaknya harus kita mulai dari kajian atas televisi sebagai sebuah industri, lengkap dengan bukti-bukti empiriknya.
Sejak pertengahan 1980-an, fenomena terpenting dalam industri dunia – termasuk industri media – adalah merger. Dalam industri media, merger bermula pada tahun 1985 ketika News Corporation milik Murdoch membeli perusahaan film 20th Century Fox, waktu itu cuma senilai 575 juta dolar. Setelah itu pada 1987, Sony membeli perusahaan rekaman musik CBS dengan nilai dua milyar dolar. Dua tahun kemudian, Sony kembali melakukan pembelian, kali ini perusahaan film Columbia Pictures, nilai transaksinya naik menjadi 3,4 milyar dolar. Nilai transaksi merger terus menanjak ketika PT Matsushita membeli MCA pada 1991 dengan nilai 6,6 milyar dolar. Pada 1999, nilai merger menanjak drastis ketika Viacom membeli perusahaan CBS dengan nilai 37 milyar dolar. Rekor tertinggi tercatat ketika American Online (AOL) bersepakat merger dengan Time Warner dengan nilai 290 milyar dolar (Ignatius Haryanto, Bentara Kompas, 2002). Kabar terbaru, Murdoch melalui News Corporation tengah aktif melebarkan sayap bisnis di dunia maya, mengakuisisi MySpace dengan harga 580 juta dolar, mencengkeram IGN Entertainment dengan harga 650 juta dolar, serta masih mencadangkan dana hingga 1 miliar dolar untuk membeli situs-situs lainnya (TEMPO, 25 September – 1 Oktober 2006).
Ben Bagdikian berkali-kali merevisi buku Media Monopoly untuk sekadar memotret perkembangan terakhir kepemilikan media di Amerika Serikat. Hasilnya mengejutkan, survey pertama dilakukan, jumlah pemilik media di Amerika pada tahun 1983 berjumlah 50 perusahaan. Namun, 20 tahun kemudian, tahun 2003, 50 perusahaan media tersebut telah diakuisisi oleh lima perusahaan besar yang memonopoli industri media di Amerika, yaitu AOL-Time Warner, Disney, Viacom, The News Corporation, dan Bertelsmann (Ben Bagdikian, 2004). Sang taipan media, Rupert Murdoch memprediksikan hanya tiga perusahaan media yang akan bertahan di tahun-tahun mendatang.
Kelima raksasa media tersebut, ditambah Vivensi dan Sony Columbia,  menguasai studio-studio film utama di Amerika, hampir seluruh jaringan televisi Amerika, 80-85% pasar musik dunia, sejumlah besar satelit penyiaran seluruh dunia, persentase yang signifikan dari penerbitan buku dan majalah, hampir semua saluran televisi kabel komersial, dan masih banyak lagi (Chesney, 2006).
Di Indonesia, saham enam televisi swasta nasional masih dikuasai oleh kelompok Cendana dan kroni-kroninya. Bhakti Investama masih menjadi pemilik modal di sejumlah stasiun televisi seperti RCTI, Global TV, Metro TV, dan TPI (Agus Sudibyo, 2003). Selain itu, kelompok Kompas-Gramedia ataupun Jawapos memiliki sejumlah majalah, koran nasional dan daerah, radio, dan televisi.
Dalam survey yang dilakukan majalah Fortune, dari 100 perusahaan besar dunia, tiga perusahaan media dan hiburan masuk dalam rangking 37 (AOL-Time Warner), 73 (Walt Disney), serta 85 (Viacom). Nilai penjualan AOL-Time Warner berjumlah 38.234 juta dolar, Disney 25.269 juta dolar, serta Viacom 23.222 juta dolar (Ignatius Haryanto, Bentara Kompas, 2002).
Apa dampak merger ini? Dampak terpenting dan terjelas adalah semakin sedikitnya aktor dalam industri media, dengan kata lain semakin terkonsentrasinya teknologi dan industri media di tangan segelintir pelaku media besar. Para konglomerat ini menjadikan media sebagai bisnis besar untuk mengumpulkan laba sebesar-besarnya dengan wilayah garapan seluas-luasnya (Graham-Golding dalam Curran-Gurevitch, 1991: 15-30).
Konsekuensi bagi Demokrasi: Ideologi dan Hegemoni
Menurut James Lull, kita bisa menganalisis implikasi politik konglomerasi media sebagai proses distribusi ideologi dominan, dimana para produsen ideologi tersebut menjadi elit informasi. Para eksekutif korporasi mempengaruhi isi media massa dengan mensponsori program-program dan mengiklankan produk-produk. Kekuasaan dan dominasi mereka berasal langsung dari akses mereka yang begitu kuat terhadap industri media dan hiburan sehingga terdapat jaminan bahwa ideologi dan perspektif mereka secara terus-menerus dan persuasif disampaikan ke khalayak. Bagi para eksekutif pemilik industri media, kekuasaan ini bukan lagi berasal dari akses namun kepemilikan atas media itu sendiri (James Lull, 1995: 9-16, 31-38). Maka, seperti penegasan Tony Bennett, media adalah agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingan dan ideologi mereka (dalam Michael Gurevitch, et.al. (ed.), 1982: 287-288).
Ideologi yang di-media massa-kan ini kemudian dibenarkan dan diperkuat oleh sebuah sistem keagenan yang saling terkait dalam mendistribusikan informasi dan praktik-praktik sosial yang sudah dianggap semestinya. Di titik inilah esensi hegemoni: hubungan di antara agen-agen utama yang menjadi alat sosialisasi dan orientasi ideologis, yang berinteraksi, kumulatif, dan diterima oleh masyarakat (James Lull, 1995: 31-38).
Bentuk nyata hegemoni melalui sistem keagenan yang kokoh adalah keterkaitan industri media dan hiburan dengan berbagai industri lainnya, mulai dari industri fast food, teknologi komunikasi, pakaian olahraga, permainan, perusahaan iklan, perjalanan, industri telekomunikasi, dan sebagainya. Contoh paling gamblang adalah ketika Hollywood merilis sebuah film baru. Jadwal pemutaran telah diatur di jaringan bioskop Cinema 21 di seluruh dunia. Produk film ini akan dijual dalam format CD maupun DVD, sountrack film akan dijual terpisah dalam bentuk CD dan kaset. Promosi akan dilakukan melalui media online, iklan di televisi, surat kabar, radio, ataupun media lainnya. Merchandise yang mengambil karakter tokoh utama film ini akan menghiasi berbagai peralatan sekolah maupun peralatan rumah tangga. Majalah-majalah remaja akan berlomba-lomba meresensi film ini serta memberikan bonus poster. Beberapa bulan setelah diputar di bioskop, film ini akan beredar di televisi kabel. Begitu seterusnya, life cycle film ini akan terus diperpanjang dengan sebuah jaringan keagenan yang saling menguntungkan, menguatkan, dan cenderung menyeluruh.
Chesney menukik lebih tajam, konglomerasi media ini bukan semata perilaku ekonomi, namun membawa juga implikasi politik. Di Amerika Serikat, lobi-lobi para raksasa media kepada para politisi sangat ampuh, terlebih jika lawan politik mereka bukanlah entitas bisnis melainkan wilayah tanpa penjaga, yaitu kepentingan publik. Chesney (2006) menegaskan, ”….it makes the media giants perticularly effective political lobbyists at the national, regional, and global levels. The media giants have had a heavy hand in drafting these laws and regulations, and the public tends to have little or no input.”
Kondisi media tersebut sangat ironis jika kita mengingat fungsi media dalam iklim demokrasi. Hachten (2005: 271) mengatakan, “…democratic society without independent news media is impossible to imagine.” Norberto Bobbio (seperti dikutip McNair, 2003: 17) mengemukakan bahwa, “liberal democracy assumes that citizens, ‘once they are entrusted with the right to choose who govern them’, are sufficiently well-informed ‘to vote for the wisest, the most honest, the most enlightened of their fellow citizens’. Dalam sistem politik demokrasi, tugas jurnalis adalah menyediakan informasi yang esensial bagi masyarakat yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan  (Mencher, 2000: xi). Informasi dari media tersebut memampukan warga negara mengambil keputusan dan berpastisipasi dalam kehidupan publik dan bernegara secara tepat. Alwi Dahlan (1999: 4) mengemukakan bahwa suatu sistem politik dapat dikatakan demokratis apabila dalam proses penyampaian pesan berlangsung tanpa ada hambatan. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa media merupakan elan vital bagi bekerjanya sistem politik demokrasi. Dalam konteks Indonesia, kita bisa merenungi kembali amandemen kedua UUD 1945 pasal 28F:
”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan diri pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Keseragaman dan Program Hiburan
Dalam ranah siaran televisi, kuatnya pengaruh dan kepentingan modal akan menghasilkan beberapa hal: tayangan yang seragam serta kecenderungan pada program-program hiburan.
Dengan logika maksimalisasi keuntungan, media akan memproduksi program sesuai dengan tuntutan dan kehendak pasar. Dalam dunia televisi, rating menjadi nabi penjelas atas fenomena ini. Ketika sebuah stasiun televisi memproduksi sebuah format acara baru dan mampu memikat konsumen, dibuktikan dengan rating yang tinggi, maka stasiun-stasiun televisi lainnya berlomba-lomba memproduksi acara serupa (Panjaitan dan Iqbal, 2006: 46-53). Hasilnya adalah riuh rendah acara hiburan di televisi yang “serupa tapi tak sama”, nama acaranya berbeda namun isinya sama saja, mulai dari infotainment, berita kriminal, sinetron remaja, sinetron mistik, dan lainnya.
Dalam berbagai program berita, keseragaman kita temukan dalam genre berita politik yang kontroversial, sensasional dan menggebu-gebu. Hampir semua stasiun televisi memberitakan sensasi atau kontroversi politik yang sama, dengan narasumber, perspektif, serta gaya pemberitaan serupa. Dengan satir, Veven SP Wardhana (1997) menyuguhkan ilustrasi, tutuplah tiap logo stasiun televisi yang ada di kiri atau kanan atas layar televisi, praktis kita tidak akan tahu stasiun televisi mana yang sedang kita tonton.
Lebih jauh, keseragaman tersebut sangat menonjol dalam berbagai program hiburan. Media lebih berorientasi menghasilkan produk-produk hiburan karena jauh lebih mudah bagi kepentingan akumulasi modal dibandingkan informasi-informasi yang menunjang fungsi pelayanan publik dan edukatif (Nazaruddin, 2006: 6-7). Hal ini semakin lengkap dengan kecenderungan kedua: keseragaman acara.
Berbagai acara hiburan ini secara telanjang menyuarakan erotisme, hedonisme, konsumerisme, serta komersialisasi seluruh sisi kehidupan. Kampanye ideologis ’kebanalan’ ini secara massif namun halus merembes dalam berbagai program televisi semisal komedi-komedi konyol, kuis, telenovela, sinetron, ataupun infotainment. Telenovela dan sinetron mengajarkan hedonisme melalui pesona kehidupan gemerlap kaum menengah ke atas serta janji-janji kebahagiaan karena kemewahan yang berlimpah tersebut. Pesona hedonisme ini sangat lekat dengan gaya hidup kaum muda, entah dari kalangan menengah, terlebih dari kalangan atas. Kita bisa mengambil bukti kecil dari pilihan rumah makan mereka di American Hamburger, Kentucky Fried Chicken, ataupun restoran mewah lainnya. Bukti lain bisa kita ambil dari penuhnya setiap acara-acara hiburan yang digelar, semisal konser musik, semahal apapun tiketnya. Melalui media, gaya hidup populer yang memuja hedonisme dan konsumerisme ini disebarkan, diseragamkan, sekaligus memperoleh pembenaran.
Orientasi media kepada program-program hiburan tidak bisa kita pandang sebelah mata. Pada mulanya, isi media itu hanya dipandang sebagai hiburan semata, atau rekaan citra-citra semu. Namun, seiring semakin kaburnya batas antara citra (image) dengan realita (fact), perlahan namun pasti media menginjeksikan citra-citra palsu tentang dunia dan kehidupan sebagai suatu realitas yang senyatanya. Media telah menggiring manusia untuk memahami ”realitas” (reality) menjadi ”dunia khayalan” (illusion), sebaliknya dunia khayalan seakan menjadi realitas. Mengikuti Gerbner, media merupakan mainstream lingkungan simbolis yang menanamkan konsepsi mengenai kehidupan, dunia, masyarakat, dan diri sendiri (Griffin, 2006: 385). Lebih jauh, apa hasilnya?
Berbagai penelitian dan literatur menunjukkan efek yang tidak bisa kita anggap remeh. Pertama, ketidakmampuan mengidentifikasi informasi mana yang kita butuhkan dan mana yang tidak, sehingga kita mengalami alineasi di tengah banjir informasi. Kedua, munculnya budaya kosmopolit yang seragam, misalnya dalam hal selera, hobi, pakaian, olahraga, permainan, gaya hidup, dan lainnya. Keseramanan global ini akan menghasilkan krisis identitas, menjadi dehumanisasi yang mendasar karena menyingkirkan berbagai budaya dan nilai-nilai lokal (Muis, 1991: 334-337, Birowo, 2005: 133).
Ketiga, munculnya kelas sosial baru yang menempatkan konsumsi sebagai ideologi. Dengan kekuatan simbolik dan persuasif, iklan telah menjadi kekuatan magis yang memicu cita rasa kelas social baru ini – dan masyarakat secara umum – untuk terus mengkonsumsi sampai di luar batas kapasitas daya beli, bukan atas dasar kepuasan diri, namun lebih atas dasar ‘mitos’ tentang diri mereka sendiri yang telah dikonstruksi oleh media. Daya resap iklan ini sangat kuat karena kehadirannya justru kerapkali tidak disadari, menyatu dalam jalinan realitas sehari-hari yang sudah tidak dipermasalahkan lagi.
Keempat, muncul generasi baru – generasi anak nongkrong MTV – yang menggambarkan dunia secara simplistik,  memuja tubuh sebagai pusat kesadaran (Nazaruddin, 2007). Kepada generasi baru ini, televisi mengajarkan bahwa tiap permasalahan begitu mudah diselesaikan, kadang cukup dengan mengandalkan kekuatan magis dari luar manusia. Televisi juga diam-diam mengajarkan kesuksesan sebagai peristiwa yang kebetulan, bahkan irasional. Kesuksesan bisa dicapai dengan sangat mudah, bahkan dengan tidak mengindahkan norma-norma moralitas.
Kelima, di ranah sosial, kepedulian, semangat kerjasama serta rasa memiliki sebuah komunitas akan memudar, digantikan logika untung rugi dalam setiap hubungan sosial (Muis, 1991: 335).
Maka, Neil Postman (1995: 12) menegaskan bahwa ancaman kehidupan masyarakat dewasa ini justru ada pada industri hiburan, terutama pada media televisi, dimana masyarakat terus menerus dihibur sedemikian rupa hingga lupa dengan berbagai persoalan nyata yang jauh lebih penting dalam kehidupan bersama.
Lalu, di tengah-tengah kendali pasar atas media itu, di manakah publik? Jawabannya tegas, publik atau masyarakat hanya menjadi objek, tepatnya komoditas yang diperdagangkan.

Urgensi Televisi Komunitas
Realitas media beserta efeknya ini memaksa kita untuk segera mengajukan tawaran-tawaran alternatif. Jika kita pandang masalah ini dengan sebelah mata, tidak serius mencari solusi-solusi yang mungkin, bisa jadi kekhawatiran sebagian pemikir akan munculnya ‘the lost generation’ – generasi yang tidak sanggup memahami diri sendiri dan sejarahnya – akan benar-benar terjadi di Indonesia.
Berbagai dampak buruk dan kegagalan media mainstream tersebut kemudian memunculkan kekhawatiran dan kekecewaan yang mendalam di beberapa kalangan tertentu, seperti akademisi, aktifis LSM, jurnalis dan tokoh-tokoh masyarakat. Berangkat dari kekhawatrian dan kekecewaan tersebut, mereka menyodorkan alternatif, diantaranya berwujud media komunitas.
Media komunitas adalah media yang berskala lokal, terbatas pada komunitas tertentu, bersifat partisipatif, dimotivasi oleh cita-cita bersama dari komunitasnya, bukan untuk mencapai tujuan komersial, teknologi media yang digunakan sesuai kemampuan ekonomi komunitas, serta membahas dan mencari solusi atas masalah bersama (Masduki, 2005: 150).
Berdasarkan bentuknya, media komunitas bisa berupa buletin, tabloid atau majalah komunitas, radio komunitas, dan televisi komunitas. Dari beberapa bentuk tersebut, radio komunitas lebih dahulu berkembang di Indonesia semenjak Orde Baru runtuh, tepatnya awal 2000-an, diikuti kemudian oleh televisi komunitas sejak tahun 2006.
Cikal bakal radio komunitas adalah radio yang di masa Orde Baru mendapat stigma sebagai radio gelap atau radio ilegal (Masduki, 2005: 152). Radio komunitas hadir menjadi perkembangan terpenting dari revolusi radio paska runtuhnya Orde Baru yang bervisi demokrasi, bersifat populis dan jauh dari manipulasi siaran oleh pengelola (Jurriens, 2003).
Beberapa tahun setelahnya, tepatnya sejak 2006, mulai berdiri televisi-televisi komunitas di Indonesia. Dalam catatan Kelompok Kerja Televisi Komunitas Indonesia, saat ini jumlahnya lebih kurang 24 televisi komunitas (Hermanto, 2007: 248). Tepat 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2008 lalu, bertempat di Grabak, Magelang, puluhan pengelola televisi komunitas, ditambah beberapa akademisi, budayawan dan aktifis LSM mendeklarasikan Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia, disingkat ATVKI. Membaca naskah deklarasi ATVKI ini, terlihat jelas betapa salah satu faktor utama yang melatarbelakangi adalah kekecewaan atas kondisi televisi swasta di Indonesia yang selalu berorientasi pada program hiburan yang tidak mendidik, demi kepentingan akumulasi modal mereka, tanpa mengindahkan kepentingan masyarakat luas (Hermanto, 2007: 249-250, http://tvkomunitas.wordpress.com).
Di hadapan media-media mainstream, publik atau warga hanya menjadi konsumen dan objek berita. Sebagai antitesisnya, di dalam media komunitas warga terlibat penuh, setiap orang mempunyai akses penuh yang sejajar dengan orang lain terhadap media komunitas, dapat mengekspresikan dirinya secara optimal, termasuk mengekspresikan kebudayaan-kebudayaan lokal yang ada. Tegasnya, warga tidak hanya menjadi objek, melainkan menjadi subjek dalam media komunitas. Maka, bisa kita pahami mengapa slogan umum media komunitas adalah dari, oleh dan untuk komunitas.
Banyak peran strategis yang dapat dilakukan oleh media komunitas, misalnya: peran dalam pelestarian budaya, nilai-nilai dan kearifan lokal, peran dalam gerakan literasi media, peran dalam hal pendidikan (baik formal maupun informal), peran dalam ”pendidikan politik” dan penerapan jurnalisme warga, peran bagi perekonomian masyarakat, dan lainnya.
Muzayin Nazaruddin, Pengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia
Daftar Pustaka
Bagdikian, Ben H. 2004. The New Media Monopoly. Boston: Beacon Press.
Basral, Akmal Nasery. ”Keajaiban MySpace”. TEMPO, 25 September – 1 Oktober 2006.
Bennet, Tony. 1982. “Media, Reality, Signification”. Dalam Michael Gurevitch, Bennet, James Curran dan James Wollacott (eds.). Culture, Society and The Media. London: Methuen.
Birowo, Mario Antonius. 2005. ”Melawan Hegemoni Media dengan Strategi Komunikasi Berpusat pada Masyarakat”. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, Desember 2005, Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Univ. Atmajaya Yogyakarta.
Curran, James dan Michael Gurevitch (eds.). 1991. Mass Media and Society. London: Edward Arnold.
Dahlan, Alwi. 1999. ”Teknologi Informasi dan Demokrasi”. Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Nomor 4, Oktober 1999, ISKI dan Remaja Rosdakarya.
Griffin, EM. 2006. A First Look at Communication Theory. McGraw-Hill International Edition.
Hachten, William A. 2005. The Troubles of Journalism: A Critical Look at What’s Right and Wrong With the Press. New Jersey and London: Lawrence Erlbaum Associates.
Hamzah, Antar Venus. 2001. ”Demokratisasi Media Massa: Sebuah Tren Kebijakan Komunikasi Global.” Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, No. 6, November 2001, ISKI dan Remaja Rosdakarya.
Haryanto, Ignatius. ”Leviathan yang Menghibur”. Bentara Kompas, Jumat, 2 Agustus 2002.
_________. ”Kepemilikan Media Terpusat dan Ancaman terhadap Demokrasi”. Bentara Kompas, Rabu, 4 Agustus 2004.
Hermanto, Budhi. 2007. ”Televisi Komunitas: Media Pemberdayaan Masyarakat”. Jurnal Komunikasi, Volume 2, Nomor 1, Oktober 2007, Program Studi Ilmu Komunikasi UII. http://tvkomunitas.wordpress.com.
Jurriens, Edwin. 2003. “Radio Komunitas di Indonesia: ’New Brechtian Theatre’ di Era Reformasi?” Jurnal Antropologi Indonesia, XXVII, No. 72, September 2003.
Lull, James. 1995. Media, Communication, Culture: A Global Approach. Cambridge: Polity Press.
Masduki. 2005. ”Perkembangan dan Problematika Radio Komunitas di Indonesia”. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, Desember 2005, Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Univ. Atmajaya Yogyakarta.
McChesney, Robert. 1999. “Rich Media, Poor Democracy”. www.thirdworldtraveler.com/Robert_McChesney_page.html.
_________. 2006. “Global Media, Neoliberalism & Imperialism”. www.thirdworldtraveler.com/Robert_McChesney_page.html.
_________. 2006. “Jatuh Bangunnya Jurnalisme Profesional”. Dalam Kristina Borjesson (ed.), Mesin Penindas Pers: Membongkar Kebebasan Pers di Amerika. Bandung: Q-Press.
McNair, Bryan. 2003. An Introduction to Political Communication. London and New York: Routledge.
Mencher, Melvin. 2000. News Reporting and Writing. Boston: McGraw-Hill.
Muis, A. 1991. ”Kecenderungan Globalisasi Media Massa”. Jurnal Analisis CSIS, 1991-4.
Nazaruddin, Muzayin. 2006. “Cultural Capital Apparatus: Relasi Kuasa Bisnis dan Media dalam Globalisasi”. Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 1, Oktober 2006, Program Studi Ilmu Komunikasi UII.
_________. “Aku Cantik Maka Aku Ada”. Bernas Jogja, 8 Nopember 2007.
_________. ”Media dan Problem Bias Gender”. Bernas Jogja, 3 Mei 2008.
Panjaitan, Erica L. & T.M. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi: Ilusi Sebuah Netralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Parera, Philipus. ”Bungsu Mr. Murdoch”. TEMPO, 25 September – 1 Oktober 2006.
Postman, Neil. 1995. Menghibur Diri Sampai Mati: Mewaspadai Media Televisi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Rakhmat, Jalaluddin, et.al. (eds.). 1997. Hegemoni Budaya. Yogyakarta: Bentang.
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKiS.
_________. “Kebebasan Pers dan Ironi Demokratisasi”. Bentara Kompas, Jumat, 7 Desember 2001.
Wardhana, Veven Sp. 1997. Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wirodono, Sunardian. 2006. Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia. Yogyakarta: Resist Book.
Yusuf, Iwan Awaluddin. 2004. ”Peningkatan Kepekaan Gender dalam Jurnalisme”. Jurnal Ilmu Sosial Ilmu Politik, Volume 7, Nomor 3, Maret 2004, FISIP UGM.
.

2 thoughts on “Mengapa Harus Televisi Komunitas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud