Kepulauan Karimun Jawa merupakan lokasi kunjungan wisatawan andalan Indonesia. Namun, di balik kisah sukses pariwisata, daerah ini menyimpan keprihatinan. Tingkat pendidikan masyarakat kepulauan berpenduduk kurang lebih sekitar sembilan ribu jiwa ini sangat rendah.
Penduduk yang tidak tamat SD sebanyak 1,3%, tamat SD 62,16%, SMP 8,11% SMA 6,3%, dan perguruan tinggi sebesar 2,5%. Di Karimun Jawa, hanya ada sejumlah bangunan pendidikan yang tergolong layak pakai. Lokasi sekolah sulit dijangkau dari daerah pelosok sehingga anak-anak setempat untuk bersekolah sangat rendah. Kesulitan lainnya, di Pulau Karimun Jawa warga sulit mendapatkan buku bacaan bagi anak-anak sebagai sarana mereka dalam mengenal dunia luar. Sebagian besar koleksi buku yang ada di pulau ini berupa buku pelajaran yang kurang menarik minat anak-anak untuk membaca.
Berangkat dari keprihatinan ini, sekelompok pemuda mendirikan Karimun Jawa Community, sebuah komunitas yang berjuang untuk menyediakan buku-buku bacaan alternatif bagi anak-anak setempat. Pada lokalatih Pengembangan Perpustakaan Komunitas di Ruang 2 Jogja National Museum, Jl. Amri Yahya No. 1, Gampingan Yogyakarta, mereka berbagi pengalaman dan kegiatan dengan para peminat maupun pegiat perpustakaan komunitas lainnya.
Karimun Jawa Community, seperti dituturkan oleh Pepeng, salah satu anggotanya, bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan belajar mengajar masyarakat melalui perpustakaan desa. Selain itu, perpustakaan komunitas tersebut diharapkan dapat menjadi pusat budaya serta media pembelajaran dan informasi bagi masyarakat setempat. Sasaran utama dari komunitas ini adalah anak-anak di Desa Nyamplungan dan Kemujan Kepulauan Karimun Jawa, baru setelah itu merambah masyarakat setempat.
Kegiatan yang dilakukan oleh Karimun Jawa Community antara lain drop book (pengumpulan sumbangan buku-buku), pendataan buku, distribusi dan penyerahan buku, pengumpulan data atau kajian kesiapan komunitas, pengorganisasian kelompok masyarakat, penguatan kelompok, pelatihan manajemen perpustakaan komunitas, monitoring, serta evaluasi, dokumentasi, dan pelaporan.
Peserta diskusi ikut membagikan pengalamannya dalam melakukan kegiatan serupa. Seperti Anna, salah satu pengelola Perpustakaan 1001 Buku yang berbasis di Jogja-Jateng.
“Kegiatan pokok kami meliputi empat hal, yaitu drop book, sortir dan packing, labelling (membedakan komik dan majalah), serta rotasi antar perpustakaan komunitas,” ujarnya.
Selain itu, menanggapi keluhan Suratningsih, seorang guru merangkap pustakawan SD Wirosaban tentang upaya mengelola perpustakaan dengan benar, pembicara juga berbagi tips bagaimana manajemen dan menghidupkan perpustakaan.
“Melalui perpustakaan komunitas, kami ingin meningkatkan kapasitas individu yang tidak diperoleh dalam pendidikan formal,” harap Pepeng. (Bellisa/Tim Media JMR 2010)