Kemampuan memproduksi konten informasi yang menarik, relevan, serta beragam merupakan salah satu tantangan bagi penggiat media komunitas.
Perkembangan teknologi di era digital memungkinkan pegiat media komunitas untuk menyajikan kontennya dalam lebih dari satu platform. Dalam sebuah situs media komunitas, misalnya, tersedia ruang untuk diisi dengan berbagai konten, mulai dari audio (siaran radio streaming), teks, foto, hingga konten audiovisual. Berangkat dari kesadaran tersebut, Combine Resource Institution (CRI) menggelar diskusi bertajuk “Menggagas Konten Media Komunitas” pada Selasa (23/5) lalu. Diskusi ini menghadirkan Budi Dharmawan (fotografer), Tomi Wibisono (penggiatzine), serta Khoirul Muna (penggiat MGM FM Borobudur).
Para peserta yang terdiri dari masyarakat umum, mahasiswa, serta penggiat media komunitas diajak membincangkan berbagai hal terkait produksi konten untuk media komunitas. Budi Dharmawan mengawali diskusi dengan menyampaikan materi seputar foto cerita. Ia mengungkapkan, pada dasarnya foto cerita merupakan salah satu cara menyampaikan informasi melalui serangkaian foto. Dalam sebuah rangkaian foto cerita, terdapat beberapa foto yang saling berkaitan dan membentuk sebuah kisah. “Yang menjadi ciri khasnya adalah serangkaian foto yang bercerita. Seperti saat kita membaca novel atau cerpen. Bagaimana konfliknya, alurnya, dan sebagainya,” jelas Budi.
Budi selanjutnya menampilkan contoh berupa serangkaian foto tentang sebuah kampung yang mayoritas warganya berprofesi sebagai penyedot WC. Serangkaian foto tersebut memuat informasi yang utuh terkait keunikan kampung dan profesi warganya. Dimulai dari beberapa foto yang memperkenalkan keadaan kampung dan penduduknya, profesi penyedot WC yang dilakoni warganya, hingga persoalan yang mereka hadapi. “Lewat foto cerita,” papar Budi, “informasi mengenai sebuah peristiwa bisa disampaikan secara lebih utuh. Selain itu, foto cerita pun bisa diproduksi dengan peralatan sederhana. Berbekal kamera ponsel, misalnya, kita bisa mengambil beberapa foto yang saling terkait dan membentuk cerita.”
Selanjutnya, Tomi Wibisono sebagai pembuat zine membagi pengalamannya. Pada mulanya, zine muncul sebagai alternatif dari media arus utama. Para pembuat zine awalnya merupakan sekelompok orang yang tidak puas terhadap media arus utama yang tak menampilkan informasi sesuai dengan kebutuhan dan ketertarikan mereka. “Zine bisa diartikan sebagai media nonkomersil, nonprofesional, serta diproduksi dan didistribusikan oleh si penggunanya sendiri,” jelasnya.
Proses pembuatan zine ini, ungkap Tomi, cenderung lebih mudah dan murah. Ia menceritakan, tak perlu keahlian khusus bagi seseorang untuk bisa memproduksi zine. Ia pun pada awalnya membuat zine tanpa bekal keterampilan khusus. Ia mulai menyalin dan mengumpulkan tulisan-tulisan yang menurutnya perlu disebarluaskan, kemudian menggunting dan menempelkannya dalam kertas berbentuk buletin.
Sekumpulan tulisan itu lantas dicetak dan dirangkai dalam bentuk buletin berbagai ukuran. Gambar pendamping teks pun bisa dimasukkan dengan teknik menempelkan langsung gambar di bagian halaman yang diinginkan. Biaya produksinya pun sangat murah, mengingat penggandaan dan penyebaran zine pada umumnya dilakukan sendiri secara swadaya oleh anggota komunitas. “Tidak perlu jadi pakar atau ahli terlebih dahulu untuk memulai sesuatu.”
Setelah membincangkan produksi konten media secara teknis, Khoirul Muna sebagai pembicara terakhir membagi berbagai cerita yang lebih spesifik terkait media komunitas. Pengelola radio komunitas (rakom) MGM FM Borobudur ini mengungkapkan, platform radio dipilih karena lebih bisa menjangkau komunitasnya yang berada di pedesaan. Karakteristik radio yang bisa didengarkan sembari mengerjakan aktivitas lainnya dirasa lebih ramah bagi komunitas di pedesaan. Para pedagang misalnya, bisa mendengarkan radio sembari berdagang di pasar.
Tema yang diangkat radio komunitas pun pada awalnya dimulai dari hal-hal yang dekat dengan keseharian masyarakat. “Kami angkat hal sepele, seperti mitos-mitos. Yang banyak mendengarkan justru orang tua. Lalu kami angkat juga soal dolanan anak. Setelah berkembang, kami pun mengangkat isu soal penataan Candi Borobudur,” jelas Muna.
Saat ini, isu yang paling santer adalah soal penggusuran. “Isu itu simpang siur dan tersebar di berbagai daerah. Yang paling dekat dengan wilayah Borobudur itu menjadi korban penggusuran. Kondisi itu diperparah dengan isu investor. Lalu kami mencoba menganalisa isu-isu itu,”paparnya.
Muna pun menyampaikan berbagai keluhan warga komunitasnya atas kondisi yang mereka rasakan lewat media komunitas MGM FM. “Sekarang Borobudur lebih terkenal dengan gemerlap wisatanya. Pertanian kami kering. Akhirnya kami hanya melibatkan beberapa masyarakat dengan mengangkat soal pertanian organik,” ungkap Muna.
Namun demikian, kelangsungan media komunitas juga menghadapi banyak kendala. Regenerasi yang sulit serta konsistensi pengelola menjadi tantangan tersendiri. “Kendala kami di rakom adalah pada penyiar. Penyiar kami berasal dari berbagai daerah, namun setelah mereka beraktivitas lalu pergi. Sekarang hanya tinggal tiga penyiar saja,” kisahnya.
Lebih lanjut, Muna menyampaikan bahwa pada dasarnya berbagai cara bisa ditempuh sebuah komunitas untuk menyuarakan aspirasinya. Berbagai jenis media dan kontennya pun harus dimanfaatkan secara maksimal. “Media yang kita gunakan hanyalah sebagai alat. Ada banyak media yang bisa kita pakai. Bahkan, banner yang berisi tulisan inspiratif juga bisa menjadi media. Media, meski itu kecil, tapi itu tetap akan bermakna,” pungkasnya. (Ibnu Hajjar Al-Asqolani).