Oleh Bambang MBK
Tahun 2007 ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mempunyai fungsi regulator dalam dunia penyiaran memasuki masa kerja tahap ke-2. Banyak kalangan menilai dalam periode masa kerja pertamanya (2004-2007), KPI belum menunjukkan kinerja bagus. “KPI masih seperti macan ompong,” begitulah kritik penting yang. dilontarkan kepada komisi ini karena tidak mampu mengatur lembaga penyiaran yang melanggar UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Lantas bagaimana tantangannya ke depan?Dari sekarang dapatdiprediksikan pekerjaan KPI dalam tigatahun mendatang akan semakin berat. Apalagi dengan kewenangan yang tidak full power karena negara (baca: pemerintah-red) dengan sengaja telah mereduksi kapasitas otoritasnya sebagai badan regulator di bidang penyiaran. Salah satu persoalan berat yang akan dihadapi KPI adalah kemunculan radio komunitas yang akan didirikan partai-partai politik (rakom berbasis partai politik).
Tampaknya kalangan partai politik mulai menyadari rakom memiliki potensi besar untuk
menggalang massa pendukung. Tanpa harus mengumpulkan massa di suatu tanah lapang–pastinya membutuhkan dana tidak sedikit–partai politik melalui radio komunitas dapat melakukan kampanye terus-menerus tanpa dibatasi dimensi mang dan waktu. Jika mau, kampanye selama 24 jam terus-menerus selama masa kampanye berlaku pun dapat dilakukan, no problem!
Di kalangan para aktifis radio komunitas (rakom), isu soal ini sebetulnya sudah tidak asing lagi. Jika mereka mulai resah, itu memang ada fakta yang mendukungnya. Simak, pernyataan Ketua Bidang Humas DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DKI Jakarta Dedi Supriardi yang mengatakan rakom sangat penting sebagai sarana komunikasi
partai. “Idealnya setiap DPC memiliki sebuah radio komunitas, namun bila tidak minimal setiap DPD memiliki satu buah radio komunitas.” (www.pk-sejahtera.org-.27 Januari 2007).
Wah! Jika memang benar, menjelang pemilu. 2009 nanti pasti akan bermunculan rakom-
rakom baru yang didirikan partai politik. Satu partai politik yang membuat radio komunitas akan memprovokasi partai politik lainnya untuk melakukan hal yang sama. Jelasnya, jika di suatu kota ada 20 dewan pimpinan cabang (DPC) partai-partai politik yang berbeda, akan muncul 20 rakom baru.
Persoalannya, bagaimana dengan ketersediaan frekuensi yang terbatas? Tidakkah ada
kemungkinan tumpang tindih frekuensi?
Namun bisa saja partai politik itu tidak mendirikan rakom baru. Alternatifnya, mereka
‘membeli’ rakom yang sudah ada. Ini lebih strategis karena dapat digunakan sebagai jalan
‘potong kompas’ dalam mendirikan rakom.Tidak perlu lagi mengurus surat izin, tinggal mengubah isi siaran, selesai persoalan.
Wacana soal ini tentu saja perlu mulai dipikirkan anggota KPI dan KPID baru. Sebab mendirikan rakom berbasis partai politik jelas melanggar UU N0 32/2002 tentang Penyiaran, tepatnya pasal 21 ayat 3: Lembaga Penyiaran Komunitas merupakan komunitas nonpartisan yang keberadaan organisasinya (c) tidak untuk kepentingan propaganda bagi kelompok tertentu. Jika basisnya partai politik tentu menjadi partisan dan isinya adalah propaganda untuk kelompok sasaran tertentu.
Pertanyaannya, mampukah KPI dan KPID membendung ambisi partai politik di bidang
penyiaran ini? Celakanya, KPI sebagai representasi dari masyarakat tidak mempunyai
kekuatan penuh dalam soal pemberian izin. Pemerintah melalui PP No 49,50,51 dan 52
Tahun 2005 tentang Pedoman Liputan Penyiaran Asing, Lembaga Penyiaran Asing,
Lembaga Penyiaran Komunitas dan Lembaga Penyiaran Berlangganan, telah mengambil
kewenangan KPI sebagai lembaga negara independen yang mengatur soal-soal penyiaran
dan memberikannya kepada Menteri Kominfo–di level birokrasi–yang jelas menjadi representasi dari pemerintah.
Inilah secuil persoalan yang menjadi kado bagi anggota baru KPI juga KPID. Ke depan,
pertarungan antara masyarakat (civil society) dan negara (baca pemerintah-red)–yang
dimotori partai politik tertentu–di dunia penyiaran akan kian menguat. Sudah waktunya
bagi kita, masyarakat sipil, untuk mulai mempersiapkan diri dan mencari solusi atas persoalan ini. Jangan biarkan KPI/KPID sendirian dan dibajak negara (baca: pemerintah-
red)! ****
Penulis adalah jurnalis freelance, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dan anggota Panitia Adhoc PemilihanAnggotaBaruKPIDYogyakarta (2007-2010)