Teknologi informasi dan komunikasi, biasa disingkat TIK, bukanlah teknologi yang netral, terutama bagi perempuan perdesaan. Ada jarak yang lebar antara satu sektor dengan sektor lainnya, antarkelompok sosial-ekonomi, antara masyarakat yang tinggal di perkotaan dan perdesaan, serta antara laki-laki dan perempuan.
Di Indonesia, masyarakat yang hidup di perdesaan mencapai angka 61 prosen, dan sekitar 75 prosennya hidup dari bertanam padi (Worldbank, 2005:10). Dari survei yang sama, waktu bekerja perempuan lebih lama dibanding laki-laki. Dalam sebuah kajian ditemukan rata-rata laki-laki bekerja selama 8,7 jam, sementara perempuan rata-rata bekerja selama 11,1 jam. Oleh karena itu, laki-laki lebih memiliki waktu luang untuk kegiatan sosial dan agama dibanding perempuan.
Kini, Pertumbuhan TIK terasa melejit dibanding dengan dekade sebelumnya. Pemanfaatan TIK telah meningkatkan taraf ekonomi dan pembangunan sosial, termasuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Bagaimanapun nilai tambah dari pemanfaatan TIK belum dirasakan oleh masyarakat secara merata. Penentuan akses dan pemanfaatan TIK sangat dipengaruhi oleh kontruksi sosial dan cara pandang budaya masyarakat tentang teknologi ini, termasuk siapa yang paling ‘berhak’ untuk memanfaatkannya dan bagaimana cara menggunakannya.
Pada negara-negara berkembang, kemiskinan, keterbelakangan, rendahnya keberaksaraan komputer, dan batas bahasa merupakan faktor penghambat akses warga pada sarana dan prasarana TIK. Rendahnya kemampuan perempuan untuk memanfaatkan potensi teknologi baru ini sebagai alat pemberdayaan ekonomi dan sosial memaksa mereka untuk menempuh beragam cara. Kondisi itu berdampak juga pada relasi perempuan dalam menentukan kebijakan sosial dan budaya, tingkat pemasukan, tingkat pendidikan dan keberaksaraan, dan pengetahuan tentang potensi TIK.
Pembahasan tentang TIK meliputi telekomunikasi, televisi, radio siaran, perangkat keras dan lunak komputer, dan layanan komputer dan media elektronik (internet, e-mail). Seluruh teknologi itu merupakan alat untuk meningkatkan layanan, aplikasi, produksi, penyebaran, proses, dan transfer pengetahuan. World Bank (2005:9) melaporkan beberapa faktor sosial budaya yang memaksa perempuan dalam posisi pinggiran dalam pemanfaatan TIK, yaitu:
1. Sikap kebudayaan yang masih diskriminatif sehingga akses perempuan pada teknologi dan pendidikan teknologi sangat terbatas.
2. Rendahnya kepemilikan perempuan atas aset-aset komunikasi, seperti radio, telepon genggam, dan komputer.
3. Perempuan-perempuan di keluarga miskin tidak memiliki biaya untuk mengakses fasilitas-fasilitas umum .
4. Pusat-pusat informasi mungkin tidak diletakkan di lokasi yang nyaman dikunjungi perempuan.
5. Perempuan memiliki banyak peran dan tanggung jawab domestik yang berat sehingga membatasi waktu luang mereka.
6. Perempuan masih memiliki kesulitan untuk menggunakan fasilitas TIK di sore hari dan bagaimana cara mereka pulang ke rumah di malam hari.
Kebijakan dan proyek yang bertujuan untuk meningkatkan askes perempuan pada TIK harus mempertimbangkan faktor-faktor penghalang di atas saat penyediaan sarana dan prasarana agar terjadi kesetaraan di dunia TIK. Pertimbangan gender musti dilakukan sejak dari perencanaan hingga pelaksanaan program sebagai sumbangan pada kesetaraan akses pada TIK.
Yossy Suparyo, Knowledge Management Specialist di Combine Resource Institution.