SIAPA pun yang membaca plakat di tembok koridor Busway Bank Indonesia berkaitan dengan tema lingkungan akan merasa telah turut serta menyelamatkan bumi. Coba simak kutipannya, “Dengan memilih menggunakan model transportasi massal, seperti busway, berarti kamu telah berpartisipasi dalam penanganan masalah perubahan iklim.” Di sebelah petikan ini terdapat kalimat dengan huruf yang lebih besar, “Ya, kamu telah melakukan hal yang benar.” Tapi mengapa masih banyak orang menggunakan kendaraan pribadi, jika mereka tahu itu salah? Tentu, dengan tuduhan ini mereka akan banyak berkilah.
Lalu apakah tulisan yang diterakan di selembar kertas itu sudah sesuai dengan bahasa Indonesia yang benar? Semua kata yang digunakan, misalnya model, transportasi, massal, dan partisipasi, memang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Cuma masalahnya, kenapa kita terlalu sering memanfaatkan bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Inggris? Bukankah kata-kata tersebut bisa diganti dengan kosakata Melayu, sebagai sumber utama bahasa Indonesia? Model bisa diganti dengan kata acuan, transportasi massal bisa diganti dengan angkutan umum, demikian pula partisipasi dengan ikut serta. Tidakkah secara diam-diam, dalam bawah sadar sebenarnya kita merasa rendah diri dan meyakini bahwa serapan “bahasa Inggris” itu lebih gagah?
Tidak jarang, keinginan untuk berbahasa yang benar tampak dianggap remeh, karena sebagian masyarakat menganggap bahwa komunikasi itu berpatokan pada asal dimengerti. Padahal ketertiban berbahasa bisa mendorong proses mempelajari kedisiplinan dan kepatuhan. Diharapkan ketaatan pada aturan kebahasaan akan menular pada kehidupan yang lain, seperti adab berkendaraan, antre, dan pemanfaatan fasilitas publik (di Malaysia disebut kemudahan awam). Merawat milik sendiri tentu akan mendatangkan kebanggaan terhadap hasil karya sendiri, yang mungkin pada gilirannya termasuk produk dalam negeri.
Belum lagi, ketidaksungguhan kita menggunakan bahasa Indonesia secara utuh. Biasanya kita sering mendengar penutur menyelipkan bahasa Inggris, yang kadang menimbulkan rasa geli. Celakanya, sang Presiden pun tak luput dari kebiasaan memasukkan istilah-istilah Inggris dalam pelbagai kesempatan. Agar bahasa Indonesia tetap terawat, alangkah eloknya para penutur kembali ke akar dan sedapat mungkin menggunakannya tanpa harus merasa rendah diri jika tak dicampur dengan bahasa lain.
Sepatutnya kita berkaca pada negeri jiran Malaysia. Negara bekas jajahan Inggris tersebut memiliki rata-rata warga yang fasih berbahasa Inggris. Keadaan ini juga yang menjadikan pertimbangan kantor berita Al-Jazeera memilih Kuala Lumpur sebagai kantor cabangnya di Asia Tenggara. Memang, ini tak berlebihan. Cobalah Anda jalan-jalan di sekitar Kuala Lumpur, bisa dipastikan setiap kedai surat kabar menjual koran bahasa Inggris harian lokal, seperti The Star dan New Straits Time. Namun penyiar radio dan televisi Malaysia tidak kagok untuk selalu mengganti kata password dengan kata laluan dan download dengan muat turun. Lalu mengapa harus malu dengan bahasa sendiri?Apatah lagi, bahasa Indonesia mempunyai sumber serapan lebih kaya dibanding bahasa Malaysia yang terpaku pada bahasa Melayu. Betapa banyak bahasa di seantero daerah khatulistiwa telah turut memperkaya khazanah kata bahasa persatuan kita, seperti Jawa, Minangkabau, Bali, Betawi, dan Sunda. Adalah tidak aneh jika kata download diindonesiakan dengan unduh, bukan muat turun, yang merupakan terjemahan harfiah dalam bahasa Malaysia. Hampir dipastikan pengacara televisi dan penyiar radio dalam acara kuis di sini selalu menggunakan kata password untuk menyebut kata sandi.
Ada kemungkinan keengganan mencari padanan dalam bahasa Indonesia karena mereka memang tidak tahu atau malas mencoba menggunakan bahasa kebangsaan secara ajek. Jika Anda membaca surat kabar rubrik olahraga, kata chance sering diterjemahkan kans, meskipun juga digunakan dalam KBBI, padahal kata peluang sepadan untuk kata tersebut. Di sinilah tantangan yang harus dipecahkan bersama agar sebaris kalimat dalam bahasa Indonesia tidak dipenuhi begitu banyak serapan kata asing.
Untuk itu, peran media, guru, dan kaum terpelajar yang menjadi rujukan khalayak dalam berbahasa senantiasa memperhatikan tutur kata atau tulisan dalam setiap kesempatan. Ajakan ini bukan berarti sebentuk ketakutan pada sesuatu yang asing, tapi usul untuk mengembalikan jati diri bahasa yang telah mempersatukan bangsa ini. Sederhana, bukan?
Majalah Tempo, 22 Mar 2010. Ahmad Sahidah. Peneliti di Universitas Sains Malaysia.