Sebagian besar gagasan Kuhn merupakan tanggapan terhadap pendekatan Karl Popper pada filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, Popper menjungkir-balikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan upaya falsifikasi. Uniknya, Popper justru menempatkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai contoh untuk menjustifikasi teorinya.
Pendapat Popper dibantah oleh Kuhn dengan mengajukan sejarah ilmu sebagai titik awal segala penyelidikan. Terjadinya perubahan-perubahan mendasar dalam sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau sistem, melainkan melalui revolusi-revolusi ilmiah. Singkat kata, Kuhn berpendapat kemajuan ilmiah pertama-tama bersifat revolusioner bukan maju secara kumulatif.
Istilah populer yang lekat dengan Kuhn adalah paradigma. Istilah itu sendiri tidak dijelaskan secara ajeg oleh Kuhn sehingga dalam sejumlah penjelasannya acapkali berubah konteks dan arti. Paradigma sendiri muncul terkait dengan kajian sains normal. Kuhn berpendapat sains normal merupakan praktik ilmiah nyata yang diterima publik, baik mencakup dalil, teori, penerapan, dan instrumentasi. Sains normal menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi tertentu dari riset ilmiah. Dengan kata lain, sains normal adalah kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.
Paradigma membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan berkesempatan mengembangkan penyelidikan secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Namun, selama menjalankan riset ilmuwan bisa menjumpai pelbagai fenomena yang yang tak sepenuhnya sama. Hal itu disebut anomali. Bila anomali itu kian menumpuk, maka bisa menimbulkan krisis.
Dalam krisis itulah paradigma mulai dipertanyakan. Sang ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing penelitian berikutnya. Bila pilihan terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah.
Dari penjelasan di atas, pada saat pertama kali paradigma muncul dalam sifatnya yang masih sangat terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Suatu paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil daripada saingannya dalam memecahkan masalah. Sebagai contoh, keberhasilan paradigma Aristoteles mengenai gerak atau perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet. Pada mulanya, paradigma sekadar janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan dan belum lengkap. Sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan. Dalam perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidakberhasilan teori Ptolemaeus betul-betul terungkap ketika muncul paradigma baru dari Copernicus.
Transformasi-transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi. Hal ini merupakan perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.
Teori Kuhn memiliki dampak yang sangat luas dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Selama lebih dari dua dekade gagasan Kuhn tentang paradigma menjadi bahan diskusi dalam wacana intelektual, sejumlah kajian kritis, baik yang mendukung maupun yang menentang, berkembang dalam berbagai kancah disiplin keilmuan, hampir semua cabang keilmuan menyampaikan respon lewat berbagai versi yang dianggap cukup mewakili nuansa pemikiran yang selama ini berkembang dalam disiplin ilmu masing-masing. Paradigma sebagai kosakata, menjadi wacana tersendiri, baik pada tingkat teori maupun praksis. Paradigma seolah menjadi sesuatu yang hidup, tumbuh dan berkembang sedemikian rupa, sehingga penggagasnya sendiri seperti kebingungan untuk menjinakkannya.