Narasumber yang tidak disebutkan namanya (anonim) jelas buruk bagi dunia pewartaan. Anonim tidak memberi kesempatan pada pembaca untuk menentukan seberapa besar derajat kepercayaan mereka pada sumber bersangkutan. Praktek ini sebaiknya dihindari karena seorang sumber anonim punya kecenderungan untuk kurang bertanggungjawab ketimbang sumber yang sama tapi identitasnya disajikan dengan lengkap.
Pewarta warga harus ekstra hati-hati dengan sumber yang minta diberi status anonim. Di media massa arus utama, pewarta biasa menulisnya dengan istilah “menurut sebuah sumber yang layak dipercaya”. Kapan jurnalis memberi status anonim pada narasumber, berikut ini adalah pertimbangan-pertimbangan yang bisa dirujuk oleh para jurnalis warga bila terpaksa harus menggunakan sumber anonim:
Pertama, narasumber berada pada lingkaran pertama “peristiwa berita” yang dilaporkan. Dia menyaksikan sendiri atau terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Dia bisa merupakan pelaku, korban atau saksi mata, tapi dia bukanlah orang yang mendengar dari orang lain. Pewarta warga tidak boleh menggunakan sumber anonim pada pihak yang melakukan analisis terhadap peristiwa itu.
Kedua, keselamatan sumber tersebut terancam bila identitasnya dibuka. Unsur “keselamatan” itu secara masuk akal bisa diterima akal sehat pembaca. Artinya, entah nyawanya yang benar-benar terancam atau nyawa anggota keluarga langsungnya yang terancam (anak, istri, suami, orang tua, saudara kandung). Kalau sekadar “hubungan sosial” yang terancam, misalnya pertemanan, maka ia tak termasuk faktor “keselamatan.” Kalau sekadar “kelangsungan pekerjaan” yang terancam, masih harus diperdebatkan lagi, apakah benar dia akan kehilangan pekerjaan, dan apakah dia akan sulit mendapat pekerjaan baru?
Ketiga, motivasi sumber anonim memberikan informasi murni untuk kepentingan publik. Kita harus mengukur apa motivasi si sumber memberikan informasi. Banyak kasus di mana si sumber memberikan informasi dan minta status anonim untuk menghantam lawan atau orang yang tak disukainya. Banyak juga kasus di mana informasi anonim diberikan karena hal itu menguntungkan si sumber tapi ia mau sembunyi tangan.
Keempat, integritas sumber harus diperhatikan. Orang yang sering mengarang cerita atau terbukti pernah berbohong atau pernah menyalahgunakan status sumber anonim, tentu saja, jangan diberi kesempatan jadi sumber anonim Anda. Periksalah integritas sumber Anda. Biasanya makin tinggi jabatan seseorang, makin sulit mempertahankan integritas dirinya, sehingga Anda harus makin hati-hati dengan status anonim.
Kelima, keterangan anonim bisa diloloskan bila sumbernya minimal dua orang. Pewarta warga harus membuat perjanjian yang jelas dengan calon sumber anonim mereka. Perjanjian keanoniman akan batal dan nama mereka akan dibuka ke hadapan publik, bila kelak terbukti si sumber berbohong atau sengaja menyesatkan pewarta dengan informasinya.
Yossy Suparyo, Knowledge Management Staf of Combine Resource Institution