Radio Komunitas Tersandung Peraturan

Syamsul Ma’arif dengan tegas berujar bahwa Kementrian Komunikasi dan Sistem Informasi ini akan berusaha menyampaikan informasi-terutama yang berhubungan dengan kebijakan negara, tentu saja sampai kepedesaan.

Itu katanya ketika ditunjuk dan digugat karena dianggap menghidupkan kembali Departemen Penerangan. Nah, pertanyaan selanjutnya lewat media apa? Karena jelas tidak semua rakyat Indonesia,-apalagi di pedesaan- memiliki akses terhadap media informasi, jangankan Internet, TV dan koran pun susah didapat.

Akses informasi yang ada lebih mudah didapatkan di kota besar. Padahal 85% rakyat Indonesia berada di pedesaan, dan mereka juga berhak untuk mendapatkan informasi, seperti halnya 15% penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan.

Tapi penyebaran informasi dalam rangka memperkuat masyarakat sipil di pedesaan bukan mustahil dilakukan. Tinggal caranya harus dipikirkan. Dan sepertinya media cetak belumlah menjadi alat yang tepat. Selain karena budaya baca yang rendah, statistik BPS menunjukkan 20-30% tenaga kerja di Indonesia tidak pernah sekolah & sebagian tidak lulus SD. Padahal kalau dihitung-hitung jumlahnya mencapai jutaan. Jadi jangan kaget kalau media tanpa membaca alias media suara-gambar, seperti ra¬dio dan TV menjadi jauh lebih efisien dan juga populer dibanding media baca-tulis. Singkatnya, media ini lebih mudah dicerna.

Namun yang menyedihkan, kebanyakan TV dan radio masih saja bergaya “ngota” kalau tidak bisa dibilang Jakarta minded. Apa yang disajikan belum mampu memenuhi kebutuhan, kepentingan dan keinginan semua masyarakat, terutama yang ada di pedesaan, yang permasalahannya tidak pernah diliput media massa.

Dengan latar belakang ini, konsep radio komunitas menjadi terobosan yang luar biasa. Radio komunitas yang dimaksud di sini adalah radio yang dikelola oleh komunitas, untuk komunitas, tentang komunitas dan oleh komunitas. Radio inilah yang kelak akan mendorong interaksi publik yang dinamis antar anggota komunitasnya.

Tentu tak sembarang radio warga bisa dikatakan radio komunitas. Harus ada partisipasi dari anggota komunitas dalam mengelola dan memproduksi program-program siarannya, baik yang sifatnya informatif atau program hiburan sekalipun. Keterlibatan dari anggota konuinitas inilah yang membedakan radio komunitas, dengan radio komersial.

Menurul Jose Ignacio L6pez Vigil, idealnya radio mampu, memperkuat partisipasi warga dalam memperjuangkan kepentingannya. Radio ini juga harus mampu merefleksikan keinginan mayoritas warga. Radio ini harus memberitakan kebenaran dan membantu menyelesaikan seribu satu persoalan warga yang muncul sehari-hari. Di sisi lain radio ini juga harus membuka ruang diskusji^dimana semua pendapat dihargai, Dari sisi inklusifitasnya radio harus menunjukkan keberagaman dan merangkui semua kelompok dalam masyarakat. Radio ini juga diharuskan untuk:tidak mentolerir kedikatatoran, dan bisa mengudara dengan leluasa tanpa adanya diskriminasi ataupun sensor. Itulah yang disebut radio komunitas yang ideal.

Sulit? Sepertinya ya, tapi paling tidak-radio tersebut harus demokratis, inklusif dan partisipatoris. Karena stasiun radio yang menempelkan label “komunitas” pada namanya, sangat berbeda denganstasiun radio komersial. Paling tidak tujuan radio ini lebih kepada pengiiatandan pembentukan masyarakat sipil. Biasanya, radio komunitas ini bercirikan tiga aspek yaitu, non-profit, adanya kepemilikan dan kontrol dari komunitas serta partisipasi komunitas.

Konsep ini sudah dikembangkan di berbagai belahan Negara dunia sejak tahun 90-an. Di Amerika lalin saja, ada sekitar seribu stasiun radio yang bisa dikategorikan sebagai radio komunitas, pendidikan, dan radio akar rumput, Hal serupa juga bermunculan di berbagai negara lainnya, scperti Canada, Perancis, Philipina, India, Thailand, bahkan negara-negara Afrika. Kepemilikannya beragam, dari mulai LSM. organisasi lokal, pelajar dan mahasiswa sampai serikat dagang. Dananya? Bisa suinbangan dari pendengar, lembaga donor, dan iklan. Ada pula yang memang dibiayai pemerintah. Dan jangan salah, konsep ini sudah mulai diwujudkan di beberapa komunitas di Indonesia. Di Yogya, radio Angkringan di desa Timbulharjo sudah beroperasi sejak tahun lalu, disusul oleh Radio panagati di kelurahan Terban, juga di Yogyakarta, yang rnulai mengudara Mei lalu. Di Cibangkong, Bandung, radio komunitasnya saat ini sedang mengadakan siaran ujicoba.

Nah, seiring dengan perannya sebagai faklor pendukung terbentuknya masyarakat sipil, kehadiran radio berbasis komunitas juga diyakini bisa membantu membangun toleransi antar suku maupun antar againa, dari dapat incnampung aspirasi dan kebutuhan infurmasi masyarakat yang sangat beragain, Menurut UNESCO, konsep radio komunitas sendiri sangat cocok dengan usaha penguatan demokrasi. Pasalnya, media mi bisa mendorong interaksi dan dinamika antar anggota komunitas tersebut, yang lama ketamaan bisa membangun komunikasi dual arah antara “penguasa” dengan rakyatnya. Dengan kata lain, radio “berbasis komunitas juga berfungsi untuk melancarkan komunikasi dua arah antara’ pemimpin dan rakyatnya,

Ini artinya, hubungan antara: warga dengan pemimpin tidak lagi berjarak dan saling terkontrol. Radio berbasis komunitas im menjadi salah satu wujud hak rakyat untuk rnendapatkan informasi. Selain pertukaran informasi dalarn ruang-ruang publik secara lisan, radio yang menjadi perpanjangan tangan dari tradisi tersebut, telah memberi kesempatan warga desa untuk mengekspresikan dirinya secara sosial, politis dan budaya.

Tersandung Undang-undang

Meski punya seabreg keuntungan, tak berarti radio komunitas di Indonesia bisa melenggang begitu saja. Maklum, sampai saat ini radio komunitas belum mendapatkan status legal, alias masih dianggap radio gelap oleh pemerintah. Bahkan Undang-undang penyiaran yang diharapkan bisa menjamin kebebasan pers dan kebebasan mendapatkan informasi bagi insan penyiaran, tidak menyebut-nyebut soal radio komunitas.

Kabarnya, yang menolakjustru pemerintah,bukan DPR, dengan alasan frekwensi yang ada telah habis terpakai. Dan sepertinya pemerintah enggan memperlebar rentang frekwensi yang telah ada. Nah. kalau radio komersial alasan penolakannya bisa ditebak. Apalagi kalau bukan pembagian kue ikian yang semakin kompetitif.

Padahal kalau merujuk pada UUD pasal 33, udara yang menjadi media dari frekwensi radio ini dikuasai negara. Nah, pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang merepresentasikan negara. Pemerintahkan? DPRkah? MPR kah? Siapa yang berhak menjamin semua orang mempunyai hak untuk memanfaatkan frekwensi radio di udara. Apakah radio komunitas, yang notabene menjadi bagian dari negara ini tidak mempunyai hak untuk ikut menikmati?

Sebenarnya persoalan ini juga muncul di negara-negara lain. Namun dengan regulasi yang adil, semua bisa memanfaatkan media udara tadi. Seharusnya di Indonesia juga begitu. Regulasi yang ada dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mengakomodir radio komunitas dan radio komersial tanpa saling mengganggu satu sama lain.

Caranya bisa macam-macam. Peralatannya sederhana Dari mulai alokasi frekwensi sampai pengaturan daya jangkau siaran. Kelak, media itu bisa diberdayakan banyak pihak. Tentu saja selama masih demokratis, inklusif, partisipatif, dan yang terpenting digunakan untuk kepentingan bersama. Tentu saja bukan untuk propaganda, tapi untuk membangun bersama. (Redaksi dari berbagai sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud