Kantor Kelurahan Terban yang dulunya sepi selepas maghrib, kini ramai ditongkrongi warga, bahkan hingga tengah malam. Beberapa warga malah sanggup dan rela bergadang hingga pukul dua pagi. Mereka ikut siaran di radio kesayangannya, Panagati.
Sewaktu Radio Panagati menyiarkan masalah kcbersihan di lingkungan Kelurahan Terban, Taryono ketua paguyuban utama yang mengurusi masalah kebersihan, penasaran berat. Empat pesawat radio yang dipunyainya tidak bisa menangkap siaran radio warga yang dipancarkan dari kantor Kelurahan Terban, padahal dia mendengar radio tetangga kiri-kanannya bisa menangkap siaran yang ingin didengarnya. Sampai naik ke lantai dua rumahnya pun radionya tidak bisa menangkap siaran, sampai-sampai ditendangnya salah satu radio-nya. Kabar terakhir, Taryono sudah bisa mendengarkan siaran Radio Panagati setelah membeli radio baru.
Sekarang ini semua orang memang dihadapkan pada percepatan informasi yang luar biasa. Termasuk warga kelurahan Terban, Yogyakarta. Tapi yang dibutuhkan warga Terban bukan sembarang informasi. Warga membutuhkan informasi tentang masalah-masalah yang muncul di lingkungannya. Nah, informasi itu harus disebarkan secara merata dengan cara yang lebih canggih. Dan yang terpenting si intormasi tidak dikuasai oleh sekolompok orang, tapi juga tersebar dan dipertukarkan.
Dengan latar belakang itu, kehadiran pemancar radio di lingkungan warga kelurahan di tepian Kali Code Yogyakarta ini, menjadi wadah interaksi baru yang menarik dari warga. Menurut Supriyanto, Cerita Supriyanto, yang biasa dipanggil Pak Pri ini, senada dengan cerita Jon Nova, ketua Paguyuban Pinter. Ditambahkannya, interaksi warga tidak selalu untuk masalah-masalah serius. Seperti umumnya radio, lanjut Jon Nova, sebagian besar waktu malah dihabiskan untuk acara hiburan, seperti memutar lagu-lagu atas permintaan warga, yang langsung datang maupun lewat telepon, “Di malam hari bisa juga untuk klangenan, mendengarkan keroncong, tembang Jawa, dan sema-camnya,” katanya.
Lebih Suka Lisan
Pendirian radio Panagati oleh warga Terban melalui Paguyuban Pinter tidak diputuskan begitu saja. Setelah hasil pendataan dan pemetaan atas masalah dan kehutuhan serta hasil-hasil perencanaan sudah terkumpul banyak, soal selanjutnya yang dihadapi adalah bagaimana menyebarluaskannya kepada warga.
Dari jajak pendapat terhadap warga, diperoleh gambaran bahwa media warga di Terban bukan media cetak, seperti buletin maupun koran. Pertimbangannya, warga ingin bisa tetap mendapatkan informasi sambil tetap melakukan aktivitas sehari-hari. “Kalau membaca kan perlu waktu khusus,” kata Jon Nova.
Dalam rembuk perencanaan antara warga bersama Elses, untuk menindaklanjuti temuan jejak pendapat, dikesampingkannya media cetak di Terban selain karena masih rendahnya budaya baca warga juga karena tingkat kerumitan teknis yang lebih sulit dan keberlanjutannya juga diragukan.
Menurut Morgana dan Cahyadi, fasilitator warga dari Elses, dana yang diperlukan untuk mengelola media cetak bisa sangat tinggi dan sangat mungkin begitu tidak ada dukungan dana, media akan berhenti terbit. Karena ada intbrmasi dari fasilitator wilayah, Ahmad Nashier, bahwa pembuatan pemancar radio secara teknis lebih mudah dan biayanya pun murah, akhirnya diputuskan untuk membuat radio warga. “Dengan daya maksimal 100 watt dan dana peralatan sebesar 600-ribuan rupiah, Radio Panagati bisa menjangkau radius 4 kilometer,” kata Morgana.
Tapi, meski menjangkau kelurahan lain, kebanyakan pendengar Radio Panagati adalah warga Terban. Menurut Kunsurahman, kondisi ini mungkin karena mereka yang membutuhkan informasi mengenai apa yang terjadi di Terban serta informasi penting lain dari kelurahan. Memang ada penyiaran acara hiburan seperti pemutaran lagu-lagu yang bisa juga dinikmati oleh warga kelurahan lain. “Tapi pengumuman dari kelurahan tentang KTP siapa saja yang sudah selesai warga di luar Terban mungkin tidak terlarik,” katanya.
Tanggapannya Positif
Meski berlabel lokal tidak berarti radio Panagati ini tidak digemari. Untuk acara-acara hiburan misalnya, warga bisa meminta atau mengusulkan lagu secara langsung inelalui telepon maupun datang langsung ke kelurahan. “Kami sering kumpul sampai malam di sini,” katanya Jon Nova dalam bincang-bincangdengan Kombinasi di studio Radio Panagati.
Konsep radio komunitas ala Panagti bukanlah yang pertama di Yogyakarta. Di bilangan kelurahan Timbulharjo, Bantul, ternyata sudah ada radio lokal. Munculnya Jauh lebih dulu dibanding Terban. Radio ini dikelola oleh komunitas Angkringan sejak September 2000 lalu. Komunitas ini terdiri dari beberapa pemuda Timbulharjo yang punya ambisi untuk melakukan pendidikan masyarakat lewat media komunitas, baik itu berupa buletin ataupun radio.”Yang menjadi daya tarik bagi pendengar di Timbulharjo adalah informasi. Misalnya, pengumuman pertandingan PS (Persatuan Sepakbola-red) Timbulharjo setiap hari Senin kami siarkan di radio ini agar warga tahu dan datang ke pertandingan itu,” ujar Miyati, salah satu penyiar radio Angkringan.
Belakangan radio komunitas serupa juga muncul di komunitas Cibangkong, Bandung, Jawa Barat. November ini radio Cibangkong menyiarkan siaran uji coba. Sebenarnya, mereka bisa saja membuat pemancar yang bisa membuat siarannya menjangkau puluhan kilometer jauhnya. Namun karena masih terganjal undang-undang, maka mereka memilih untuk “siaran” di kelurahan mereka saja. Radio komunitas ini digemari bisa jadi selain cukup murah memenuhi kebutuhan warga akan informasi, kehadirannya ternyata membantu warga untuk bertanggung jawab atas masalahnya sendiri.
Selain itu, keuntunganradio komunitas juga bisa dipetik oleh pengelola negara, tak cuma warga. Selain bisa jadi alat kontrol yang efektif juga bisa jadi media sosialisasi yang berguna. “Kalau kelurahan butuh mengumumkan sesuatu segera, ia bisa pakai radio ini,” tukas Pak Kun lagi.
Sayangnya, di Indonesia keberadaan radio komunitas masih terganjal undang-undang. RUU Penyiaran yang dibahas DPR pun tidak mencantumkan soal radio komunitas. Padahal respon warga cukup positif. Di Terban misalnya, muncul tuntutan untuk menindaklanjuti pengumuman yang disiarkan di radio, dengan menempelkannya di papan pengumuman warga. Respon lainnya, warga minta Radio Panagati melakukan siaran langsung untuk acara-acara di Terban, terutama untuk pagelaran campursari. Enaknya, tanggapan warga bukan hanya sebatas usul dan pemintaan. “Kadang-kadang ada warga datang memberikan bantuan uang. Untuk konsumsi penyiar, katanya,” ujar Supriyanto ceria.