“Traktor” (penggerak) kelompok Tani di Lembang

Ida Yurinda Hidayat: “Kalau wakil kepala sekolah sama kepala sekolah, gajinya gedean mana? Kepala sekolah. kalau wakil Direktur sama direktur besaran mana? Direktur. Kalau rakyat sama wakil rakyat gajinya gedean mana?”

Penggalan percakapan itulah yang memancing diskusi para petani yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Petani Mandiri.”Hal-hal macam itu bisa membuka mata para petani, dan mengajak mereka untuk berpikir lebih dalam lagi,” ujar Ida Yurinda Hidayat, pendiri sekaligus ketua Majelis Ikatan Keluarga Petani Mandiri (MIKPM), yang mewadahi organisasi Ikatan Keluarga Petani Mandiri (IKPM) di berbagai daerah.

Keterlibatan Ida pada kehidupan petani bukanlah kebetulan. Lahir 57 tahun lalu, ia menapak karirnya sebagai wartawan. Pernah menjadi wartawan di HU Kompas, malah sempat menjabat editor di HU Jayakarta.Dulu ia sering dapat tugas menulis cerita human interest di Kompas. Tugas itupula yang membawa ia menelusuri kehidupan orang-orang miskin. Dari mulai buruh malam di pabrik pemintalan, sampai kehidupan kampung nelayan. “Saya bahkan sempat ikut bekerja jadi buruh,” kenangnya. Kemiskinan di Indonesia yang begitu kompleks, membuatnya tergerak.

Tiga belas tahun yang lalu, keteriibatannya dengan petani pun dimulai. “Waktu itu saya ada uang sedikit,” katanya. la pun berhenti bekerja sebagai wartawan dan mendapat HGU sebuah perkebunan yang diberi nama PT. Sampora Coco Beef. la pun berinteraksi dengan penduduk sekitar.”Saya kasihan sama mereka, kalau mau makan harus ke hutan dulu, cuma buat dapetin simeut. Nangkep laron aja bagi mereka sebuah anugerah,” katanya berkaca-kaca. Apalagi buruh tani. “Buruh tani adalah buruh yang paling tidak mendapat perlindungan,” ujarnya. Buruh di pabrik, mendapat jaminan, ada UMR, ada asuransi.”Kalau buruh tani, dibayarsesukanya oleh majikan, tak ada standar. Kalau di sawah di patok ular, atau kesambar petir, ya selesai. Masih untung kalau ada yang membayar biaya penguburan,” paparnya

Dari sana ia mulai bertanya-tanya, kenapa petani itu begitu susah hidupnya. “Kemiskinan yang mereka alami adalah kemiskinan struktural,” tandasnya. Dan perubahan tak akan bisa terjadi jika petani masih bisa dibodohi seperti sekarang. “Penyebab utamanya adalah kebodohan, kurang pendidikan,” ujarnya lagi.

la pun bertekad melakukan sesuatu. la bagikan tanah yang ada di perkebunannya untuk digarap. “Modalnya saya pinjamin dari mana-mana,” katanya. Dari sana ia kemudian berusaha memfokuskan diri pada pendidikan petani. Ada banyak perkembangan dalam dunia pertanian, dan petani harus terus mengikuti perkembangan itu. Tidak hanya mengandalkan pengetahuan turun temurun. “Jika begitu bagaimana bisa menang berkompetisi di pasar bebas,” tukasnya. Maka ia pun membekali petani dengan berbagai pengetahuan, dari mulai cara menanam, pembibitan sampai pemasaran.

Tapi ternyata persoalan petani tak cuma itu. “Kita juga berkutat dalam persoalan manusia,” ujarnya. Bagaimana memanusiakan petani, itu juga jadi masalah buat Ida. Mereka sangat tidak percaya diri, dan tidak berani mengungkapkan pendapatnya. “Petani harus bisa mendiskusikan persoalannya sendiri,” katanya. Karena yang tahu permasalahan petani, ya petani itu sendiri. “Sangat tidak mungkin mebicarakan persoalan petani dengan berjas dan berdasi di hotel sekelas Hyatt,” sindirnya. Syaratnya, petani harus terdidik, punya kepercayaan diri untuk bicara dan mau melakukan sesuatu.

Dengan berorganisasi paling tidak sedikit demi sedikit kepercayaan mereka bertambah. Ikatan Keluarga Petani Sampora, organisasi yang pada tahun 1993 didirikan di Sumedang, berkembang pesat. Pada tahun 1995 ia mendirikan Ikatan Keluarga Petani Mandiri. Organisasi yang ketika berdiri di Sumedang hanya mempunyai 350 anggota kini sudah berkembang menjadi 120 ribu orang.

Membangun organisasi macam itu bukanlah hal yang mudah bagi lda.”Apalagi waktu itu organisasi petani yang diijinkan hanya HKTI (Himpunan Kerukunan tani Indonesia)” Kata Ida. Meski ia setengah mati menghindari konflik dengan pemerintah dan organisasi lainnya, “Ada saja yang tidak suka pada kami,” tambahnya. Sekarang, sejak HGUnya habis, dan tidak diperpanjang lagi, Ida pun terbelit persoalan dana. “Soalnya saya tidak membiasakan diri dan tidak biasa mendapatkan sumbangan dari orang lain,” ujarnya. Dulu, waktu perkebunan masih berjalan, dana operasional didapat dari sana, “Jualan rumput, panen apa, pokoknya ada lah…” katanya lagi. Kini praktis Majelis Ikatan Keluarga Petani Mandiri hanya mengandalkan iuran anggota. “Untungnya kami ini sudah terbiasa rereongan, kalau ada apa-apa, dipecahkan bersama-sama termasuk soal dana,” katanya. Sebagian kecil dana juga disumbangkan anggotanya yang terbilang berhasil.

Jaringan Radio Suara Petani
Bagi Ida, organisasi yang berkembang begitu pesat menuntut mobilitas yang tinggi. Namun rasa-rasanya tak mungkin dilakukan semua. “Penyuluhan pertanian misalnya, akan bisa sangat menyulitkan jika anggotanya sangat banyak,” katanya lagi. Belum lagi persoalan waktu yang habis terbuang.

“Waktu itu saya dengar soal kemungkinan diijinkannya radio komunitas mengudara dalam undang-undang yang baru,” katanya. Berangkat dari sana, untuk mempermudah kerja-kerja organisasi dan pendidikan buat petani, Ida pun mendorong anggota-anggotanya untuk mendirikan radio komunitas bagi petani. la pun mendirikan Jaringan Radio Komunitas Suara Petani (JRSP). Kini radio yang sudah mendaftar ada 144 buah. “Yang sudah mendaftar ini biasanya sudah punya alat dan sedang siaran percobaan,” katanya. Sedang radio yang sudah mengudara, dengan program penuh ada 22 radio.

Menyambut Pemilu.

Untuk tahun 2003, mereka sudah merancang program yang akan disiarkan di jaringannya. “Semacam pendidikan kewarganegaraan lah…” Ujarnya.

Kelak acara itu akan berbicara tentang apa itu pemilu, serta hak dan kewajiban pemilih.Termasuk diantaranya, konsekwensi dari memilih. “Saya tidak peduli mereka memilih partai apa, yang penting mereka memilih dengan kesadaran,” tandasnya. Jadi, tak ada lagi petani yang memilih hanya karena dikasih uang sepuluh ribu dan kaos oblong satu buah.

Ida mengaku manfaat radio komunitas sudah sangat terasa. “Yang pasti petani jadi lebih percaya diri, dan berani bicara,” ujarnya. la tidak mau kasus KUT terulang lagi. Trilyunan rupiah habis dibagikan tapi sangat sedikit yang jatuh kepada petani. Petani ingin bicara, tapi tidak tahu kepada siapa. “Media massa pun bisa jadi tidak mampu untuk mengangkat semua persoalan,” tambahnya. Dengan radio komunitas monitoring jadi lebih efektif. “Belum lagi, persoalan penyebaran informasi yang lebih mudah,” katanya lagi.

Kedepannya Ida punya obsesi untuk menjadikan radio petani ini menjadi sekolah di udara.”Mirip Universitas Tecbuka lah….” ujarnya lagi. Menurut Ida, bebas uang sekolah tidak berarti memberi kesempatan yang lebih luas warga pedesaan untuk sekolah. Banyak warga desa yang putus sekolah disebabkan biaya transportasi yang mahal. “Untuk sekolah di SMP atau SMU mereka harus pergi ke kota kecamatan,” ujarnya. Berjalan kaki dua jam sekali jalan akan menyulitkan. Naik ojek? Ongkosnya untuk transaksi narkoba, dan tidak dipakai untuk menghasut konflik SARA. Tentu saja, ada syarat tambahannya, wajib mendapat dukungan komunitas,” Kalau sudah dicap radio gelap dan tidak mendapat dukungan dari komunitasya berabe.” tegasnya.

Kedepannya mereka malah sudah mempersiapkan diri sangat mahal. “Sehari mereka harus mengeluarkan ongkos ojek, tiga ribuan, hitung saj’a yang harus dikeluarkannya setiap hari,” ujarnya lagi. “Saya ingin dengan radio rnereka bisa mendapat pendidikan murah,”ujarnya.

Kini, jaringan radio komunitas suara petani ini berbenah diri. Baru-baru ini mereka baru saja usai menggelar pelatihan radio bekerjasama dengan Internews. Merekapun sering berkonsultasi dengan UNESCO. Pengasahan keterampilan pun terus dilakukan. Jadi jangan kaget kalau tiba-tiba terdengar sepenggal feature radio di salah satu radio anggota jaringan radio komunitas suara petani.

“Pak Kamin ini terbilang bertiasil, dulu ia hanya punya seekor sapi, tapi sekarang bisa punya tanah garapan…..tentu saja hal itu tidak mudah didapat.”

Diselingi musik latar, selama sepuluh menit meluncurlah cerita tentang keberhasilan dan kegagalan Pak Kamin. Menyemangati pendengarnya untuk bisajadi seperti dia… Dan jangan heran pula, kalau kelak Jaringan radio suara petani semakin berkibar dimata pendengarnya karena berhasil membangun kepercayaan diri, menularkan pengetahuan, menularkan semangat untuk berubah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud