Radio Komunitas Sedunia yang Mengubah Dunia

Konferensi AMARC9, Amman, Yordania

Oleh Ade Tanesia

Dinginnya Kota Amman, Yordania, tidak menyurutkan semangat para peserta Konferensi AMARC (Asosiasi Penyiaran Radio Komunitas Sedunia) Ke-9 untuk bertukar pengalaman, berdiskusi tentang kondisi radio di negara masing-masing. Sekitar 300 partisipan dari 94 negara dari berbagai benua hadir pada konferensi yang berlangsung pada tanggal 11-17 November 2006 ini. Bertempat di Belle Vue Hotel, konferensi ini mengangkat tema utama “Voices of the World – Free the Airwaves”.

Tema ini nampaknya sangat relevan dengan kondisi radio komunitas yang di berbagai negara masih berjuang untuk memperoleh perizinan. Aleida Calleja dari Mexico mengungkapkan bahwa radio komunitas di negaranya masih berjuang untuk memperoleh ruangnya, karena frekuensi radio dimonopoli oleh kelompok kecil yang mempunyai modal besar. Bahkan stasiun televisi komersial dan radio telah membentuk suatu aliansi untuk menghambat pertumbuhan radio komunitas dengan menuduh mereka sebagai komunis. Di Columbia, Maurico Beltran Quientero mengungkapkan bahwa sampai tahun 1990 Columbia mengalami perang saudara. Ketika tahun 1991 ada kesepakatan damai, maka konstitusi pun diperbaharui. Organisasi Masyarakat sipil turut bekerja untuk memasukkan bab yang mengatur soal radio komunitas. Baru pada tahun 1997 akhirnya radio komunitas diatur dalam regulasi penyiaran. Kini ada 370 radio komunitas yang tergabung dalam organisasi radio komunitas nasional di Colombia, di mana setiap radio dizinkan untuk mempunyai kekuatan 250 watt. India saja, setelah berjuang hampir 12 tahun, akhirnya pada tanggal 16 November 2006 telah melegalkan keberadaan radio komunitas. Kini di India, setiap organisasi masyarakat sipil bisa mendaftarkan diri untuk mendirikan radio komunitas dengan kapasitas 100 watt dan jangkauan radius 10 km.

Hal yang menarik juga di konferensi ini adalah pembahasan mengenai resolusi konflik. Beberapa negara yang ikut serta merupakan negara yang pernah atau masih berada dalam konflik, seperti Sierra Leone, Iraq, dan Kongo. Bagaimana radio komunitas dapat bertahan di tengah situasi konflik merupakan hal penting untuk dicermati, mengingat Indonesia juga merupakan negara yang rawan konflik. Sheila Dallas dari organisasi WINGS selama enam tahun telah meneliti praktek media di Sierra Leone. Menurutnya radio digunakan oleh para pemberontak untuk mencari dukungan dari masyarakat. Lalu PBB mendirikan stasiun radio di mana para pemberontak bias menggunakannya. Mereka menggunakannya selama enam minggu dan hanya memutar lagu-lagu Bob Marley. Setelah enam minggu, mereka mulai menyiarkan pesan setiap 15 menit tentang isu-isu masyarakat sipil. Lama kelamaan, radio ini bisa mengajak berbagai pihak untuk mendiskusikan isu-isu mereka dan tahun 2004 digelarlah pemilihan umum. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang harus dilakukan setelah perang selesai? Menurutnya tantangan terbesar ketika perdamaian sudah diperoleh adalah mencari strategi komunikasi yang tepat untuk mencairkan hubungan antara kelompok masyarakat yang berkonflik. Radio yang dibangun PBB membuat program “Suara dari Anak-anak” setiap hari Minggu. Juga ada acara konser musik yang memberikan ruang untuk musisi baru. Mereka juga mencari para pendongeng untuk membuat cerita-cerita menarik bagi masyarakat.

Yang tak kalah menarik adalah sesi khusus mengenai radio komunitas di Iraq. Jamal Almeadi, seorang ahli media dari Iraq mengungkapkan bahwa setelah runtuhnya rezim Saddam Husein ada kebingungan dari dunia media untuk memainkan perannya. Jamal yakin bahwa radio komunitas bisa menjadi forum untuk menumbuhkan demokrasi dan menjamin tersedianya akses bagi keragaman etnik, budaya, dan agama di Iraq. Sebagai contoh adalah Radio Baba Gurgur yang mulai bersiaran pada 1 Desember 2003. Stasiun radio ini bersiaran dengan beberapa bahasa, karena di wilayahnya ada orang Kurdistan, Armenia, Iraq, Turki, dan lain-lain. Ada pula radio komunitas di Kirkuk, sekitar 230 km sebelah utara Baghdad. Berdiri pada tahun 2004, radio ini mulai bersiaran tiga jam per hari, kemudian kini bisa bersiaran selama 12 jam. Radio komunitas ini melayani etnis Turki yang jumlahnya sekitar 3 juta jiwa. Saya jadi teringat dengan maraknya pertumbuhan radio komunitas di Aceh yang sebenarnya sangat potensial menjadi agen rekonsiliasi di tingkat akar rumput.

Di samping membahas persoalan yang tematik, konferensi ini juga menyoroti kembali masalah umum yang dihadapi oleh radio komunitas. Tema partisipasi, keberlanjutan sebuah radio komunitas muncul dalam diskusi. Shane Elson dari Australia mengungkapkan bahwa dalam rancangan programnya, radio komunitas perlu menyadari keberagaman masyarakatnya dan memberikan tempat bagi setiap elemen untuk menyuarakan kepentingannya. Alfonso Gumucio Dagron dari Bolivia menegaskan bahwa keberlanjutan sebuah radio mutlak ada di tangan komunitasnya, bukan dari lembaga donor atau pemerintah.

Di sela forum-forum utama, konferensi ini juga kaya akan workshop-workshop kecil, seperti metode evaluasi jender, audio drama, radio sekolah, radio untuk remaja, dan lain-lain. AMARC Asia Pasifik secara mendadak juga menggelar workshop manajemen informasi untuk bencana mengingat kawasan ini sedang rawan tsunami, gempa bumi, badai, dan berbagai bentuk bencana lainnya. Lalu yang ingin dipertanyakan adalah sejauh mana radio komunitas dan ragam teknologi informasi lainnya bisa berfungsi sebagai saluran informasi untuk memroses percepatan bantuan atau bahkan berperan sebagai sistem informasi peringatan dini. Imam Prakoso dari Indonesia menjelaskan sistem informasi dan komunikasi yang dirancang oleh Combine Resource Institution yang memadukan radio komunitas, sms, dan website sebagai tanggap darurat terhadap bencana alam dengan kasus di Yogyakarta dan Aceh. Juninchi dari Jepang juga memaparkan radio komunitas yang dirancang untuk komunitas Korea dan Vietnam. Radio komunitas ini didirikan untuk merespon gempa di Kobe, di mana orang-orang asing mengalami kesulitan bahasa untuk memperoleh bantuan dan informasi penting pascagempa, karena semua informasi disampaikan dengan bahasa Jepang.

Dari serpihan pengalaman workshop dan pertemuan ini, menurut saya ada hal penting yang harus dicatat, yaitu betapa kuatnya semangat para peserta —yang kebanyakan berasal dari negara-negara berkembang—untuk menghadapi sederet persoalan, dari mulai kemiskinan, peperangan, penyakit, bencana alam, dan lain-lain. Beberapa dari mereka adalah praktisi radio yang selalu berdekatan dengan maut akibat peperangan. Saya bertemu dengan praktisi radio komunitas dari Liberia yang karena perang saudara harus kehilangan anak dan isterinya. Juga dengan perempuan Afghanistan yang merasakan betul perlakuan rezim Taliban yang telah menindas kaum perempuan. Para praktisi radio dari Iraq bercerita tentang bom yang meledak di dekat stasiun radionya. Sungguh mereka adalah pejuang-pejuang media komunitas yang tidak sekadar berhadapan dengan sulitnya perizinan, dan mendanai biaya operasional, tetapi juga dengan bedil yang setiap saat bisa mengambil nyawanya. Tentu tanpa semangat dan komitmen, radio komunitas mereka tidak akan bertahan. Lebih dari itu, yang saya pelajari adalah kekuatan visi dari para praktisi radio komunitas. Hampir setiap orang yang saya temui bisa menjelaskan visi radionya yang disesuaikan dengan kondisi komunitasnya. Intinya keberadaan radio komunitas mereka berusaha untuk memecahkan ketidakadilan yang dirasakan oleh warganya dan mengambil peran sebagai media untuk kelompok masyarakat yang selama ini dibungkam. Juga hal yang patut dicatat adalah luasnya jaringan yang mereka jalin. Para praktisi radio ini tidak hanya berjaring dengan sesamanya di satu negara, tetapi sudah melintas ke negara lain. Adalah hal biasa jika mendengar sebuah radio komunitas di Kenya mempunyai kerjasama dengan rakom di Senegal, misalnya.

Di akhir konferensi, saya menyadari bahwa radio komunitas memang bekerja untuk komunitasnya. Tetapi ketika seluruh praktisi radio komunitas seluruh dunia disatukan dan memiliki jaringan yang kuat, maka media ini sebenarnya mempunyai kekuatan luar biasa untuk menekan segala kebijakan pihak negara-negara maju yang terkadang merugikan kehidupan manusia secara global, seperti isu lingkungan, perdagangan senjata, peperangan, penghapusan hutang, dan lain-lain. Keberadaannya yang sangat lokal, sebenarnya bisa berperan mengubah persoalan global. ***

Unduh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud