Orang Desa Pun Harus Melek Internet

Oleh Biduk Rokhmani

Sebuah telecenter didirikan di sebuah desa. Awalnya para petani yang buta teknologi informasi dan komunikasi hanya bingung dan tidak mengerti manfaat telecenter secara langsung untuk kehidupan mereka. Bagaimana para infomobilizer dari telecenter ini berupaya membangkitkan minat dan partisipasi masyarakat untuk mengoptimalkan layanan telecenter ini? Berhasilkah mereka? Internet? Apa sih itu?

Ya, seperti itulah pertanyaan yang terus berkecamuk di benak Nur Chadziq (39) yang sehari-hari bekerja sebagai petani di Dusun Pabelan III, Desa Pabelan, Muntilan, Magelang saat tersiar kabar bahwa di desanya akan “didirikan” internet. Layaknya warga desa yang lain, Chadziq pun sama sekali tidak paham tentang internet. Bahkan saat petugas Telecenter e-Pabelan menunjukkan komputer di balai desa, mereka masih bertanya-tanya, lha internetnya mana? Sebab, dalam benak mereka internet itu sebuah benda lain yang bukan merupakan bagian komputer.

Chadziq dan warga Desa Pabelan yang kebetulan mendapat “berkah” telecenter dari proyek Pe-PP (Partnership for e-Prosperity for the Poor) Bappenas-UNDP (United Nations Development Programme), terus saja bertanya, apa sebenarnya manfaat langsung dari internet itu. Butuh waktu yang tidak singkat memang untuk memperkenalkan teknologi yang tergolong sangat asing bagi mereka. Apalagi untuk mengoperasikannya pun diperlukan keahlian khusus yang tentu saja cukup menyulitkan bagi orang-orang seperti Chadziq. Suhardi, seorang infomobilizer yang ditunjuk Bappenas sebagai fasilitator di Telecenter e-Pabelan membutuhkan waktu hampir empat bulan untuk meyakinkan warga desa yang mayoritas berprofesi sebagai petani sawah itu bahwa internet akan dapat meningkatkan taraf hidup mereka menjadi lebih baik. Hingga akhirnya ia berhasil mengajak para petani itu mengakses internet untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi dari “dunia luar”.

Awalnya masyarakat Pabelan sulit membayangkan bahwa sesuatu yang bersifat “maya” alias tidak kasat mata itu bisa membebaskan mereka dari kemiskinan. Bahkan saat telecenter sudah mulai beroperasi mereka masih enggan mendatangi balai informasi berbasis internet tersebut. “Saya pikir balai itu hanya dikhususkan bagi pelajar dan orang-orang yang terpelajar. Jangankan internet, seumur-umur megang computer aja belum pernah. Pertama kali mau megang komputer takut sekali, Mbak, takut meledak atau jangan-jangan nanti malah rusak,” kenang Chadziq sambil tertawa.

Suhardi yang bertugas sejak 1 Juni 2005 harus bekerja keras menyusun program pembelajaran bagi para petani yang benar-benar buta internet. “Telecenter yang difungsikan sebagai balai informasi berbasis internet itu sudah ada, tinggal bagaimana masyarakat miskin di pedesaan itu mau dan mampu mengimplementasikannya,” terang Hardi.

Hal pertama yang dilakukan Hardi membentuk Kelompok Belajar Mandiri Desa (KBMD) di 10 dusun di wilayah Pabelan. Kelompok yang rata-rata terdiri atas 10 hingga 18 orang itu terfokuskan pada kegiatan belajar computer dan penelitian oleh petani (POP). Penelitian itu maksudnya agar para petani belajar tentang berbagai macam permasalahan pertanian dengan cara meneliti kasus-kasus yang seharihari mereka temui secara langsung. “Kita memulai dari hal-hal kecil yang memang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari, karena mayoritas dari mereka berprofesi sebagai petani maka saya juga mencoba mendekatkan mereka dengan permasalahan yang sering mereka hadapi,” jelasnya.

Misalnya, satu kelompok mencoba menanam semangka dengan tiga cara agar mendapatkan hasil tanam yang maksimal. Kelompok yang telah dibagi menjadi tiga kelompok kecil itu akan memperlakukan tanaman mereka secara berbeda dalam hal pengolahan tanah, pemupukan, dan perlakuan bibit tanaman. Dari masing-masing kelompok kecil itu akan diketahui mana yang hasil panennya paling maksimal, baik dari segi kualitas buah maupun jumlahnya. Sepuluh persen hasil POP itu nantinya akan dimanfaatkan sebagai dana abadi untuk simpan-pinjam dan pengelolaan telecenter.

“Untuk mendapatkan hasil yang maksimal kami harus tahu akar permasalahan tanaman itu apa, kalau pohon semangka ini terserang penyakit obatnya apa saja. Agar kami tahu maka kami mencoba mencarinya dengan cara browsing di internet. Soalnya kalau langsung tanya ke took pertanian seringnya dibohongi, Mbak, namanya juga orang jualan kan. Sedangkan kalau cari di internet ada banyak alternatif dan kita sendiri yang akan memilih untuk menentukan kira-kira mana yang paling cocok dengan kondisi tanaman itu,” kata Daryanto (54).

Sekarang, setelah mereka tahu tentang internet dan merasakan manfaatnya, para petani itu menjadi rajin datang ke telecenter. “Sebenarnya untuk kegiatan kelompok belajar ke TC (telecenter-red) sudah dijadwalkan setiap 10 hari sekali selama satu jam bagi masing-masing kelompok. Akan tetapi karena semua jadwal itu berlangsung malam hari dan mungkin mereka merasa masih kurang panjang waktunya, mereka sering datang ke TC di luar jadwal kelompok,” ujar Hardi. Saat ini sebagian besar dari KBMD itu telah menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Secara finansial, POP yang mereka lakukan telah membuahkan keuntungan berupa tambahan penghasilan bagi para petani itu.

Selain kelompok tani semangka, cabai, dan padi ada juga KBMD yang beranggotakan khusus ibuibu yang mengupayakan tanaman hias dan sayursayuran untuk POP-nya. “Kami memilih anggrek, adenium, eurphobia, dan tanaman hias yang lain karena perawatannya tidak membutuhkan waktu banyak. Apalagi kalau tanaman hias kan tidak tergantung musim,” tutur Titik Asianti, Ketua KBMD Mawaddah di Dusun Blangkunan Utara, Pabelan. POP tanaman hias itu berlokasi di halaman rumah Uswatun dan menempati lahan seluas 3×6 meter persegi. Saat ini warga Pabelan itu tengah mengupayakan manfaat lebih dari internet, selain sekadar mencari informasi dan sarana komunikasi melalui fasilitas e-mail dan chatting. “Saya pernah iseng-iseng mencoba memasang iklan produk krupuk saya di internet, tapi saya malah bingung sendiri jadinya,” ungkap Muhamad Suyudi (35) dari KBMD Pabelan III.Kebingungan Suyudi tentu saja cukup beralasan. Pasalnya, setelah ia beriklan di internet, dirinya mendapat order pemesanan krupuk yang jauh melebihi kemampuannya. Usaha krupuknya hanyalah produk usaha rumah tangga yang dikelola bersama istri dan anakanaknya dengan modal dan “oplah” yang tidak banyak. Namun adanya respon dari orang luaryang sempat membaca iklannya itu membuat Suyudi dan teman-temannya yakin bahwa internet memang bisa memberi manfaat lebih bagi mereka. Sekarang bahkan ada warga lain yang mempunyai usaha kerajinan sapu ijuk ikut-ikutan mencoba peruntungannya dengan beriklan di internet.

Suhardi boleh berbangga memang, masyarakat desa yang difasilitasinya sekarang ini sudah bisa memanfaatkan sarana teknologi-informasi guna menaikkan taraf hidup dan membebaskan mereka dari kemiskinan. “Sekarang mereka bahkan aktif memromosikan keberadaan telecenter dan internet kepada warga di desa atau wilayah lain, supaya tidak hanya petani Pabelan saja yang melek internet tapi petanipetani yang lain juga bisa memanfaatkan internet,” kata pria yang berasal dari Pacitan ini.

Sebab, lain halnya yang dialami Suti’ah, infomobilizer di Telecenter Semeru di Jalan Raya Pagoan, Kertosari, Kecamatan Pasrujambe, Lumajang. Menurutnya, meski telah hampir setahun lebih telecenter didirikan di sana, minat warga Pasrujambe—terutama petani— untuk berkunjung dan memanfaatkan internet di telecenter masih rendah. “Mungkin karena letak Telecenter Semeru ini di atas bukit, jadi orang-orang malas untuk ke sini. Hanya kalangan pelajar yang menempati persentase pengunjung tertinggi,” keluhnya.

“Saya melihat keberadaan telecenter itu sebagai media yang masih jauh dari kehidupan masyarakat di desa, terbukti dari tingkat kunjungan masyarakat ke telecenter meskipun sudah kita sosialisasikan. Kita sudah berupaya mendekatkan kebutuhan warga yang mungkin bisa terjawab dengan adanya telecenter. Kalau menurut saya, persoalannya terletak pada kultur atau kebiasaan mereka yang merasa telah nyaman dengan kondisi yang ada saat ini, mereka masih enggan berubah,” imbuhnya.

Namun Suti’ah tak kehilangan akal. Ia pun mencoba menginisiasi bentuk teknologi komunikasi lain yang sekiranya bisa disinergikan dengan keberadaan telecenter. Radio komunitas pun dipilih sebagai “jembatan”.

“Setelah melakukan kajian ekologi komunikasi pada warga Pasrujambe. Ternyata dari sisi sejarah, dari waktu ke waktu itu masyarakat memang lebih banyak menggunakan media lokal untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi dari mulai lisan, getok tular, kentongan, kumpulan warga, dan yang paling canggih ya telepon dan televisi. Meski begitu ternyata persentase kepemilikan radio di kalangan warga juga cukup signifikan. Nah dari situ kita gagas radio komunitas ini mungkin bisa menjadi jembatan antara warga dengan telecenter, yang harusnya menjadi media informasi komunikasi masyarakat. Sementara fungsi telecenter kita alihkan dengan keberadaan radio,” ungkapnya. Begitulah, adanya radio komunitas yang beroperasi sejak Agustus 2006 lalu itu menjadi alat ampuh untuk menarik minat warga datang ke telecenter. “Awalnya mereka hanya datang untuk beratensi di radio tapi lama-kelamaan mulai coba-coba mengakses internet, lumayan kan!” ujarnya. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud