Oleh Agung Putri1
Hari ini konsep “partisipasi” lazim disebut-sebut di setiap program pemberdayaan masyarakat, baik yang dilakukan oleh pemerintah dari tingkat pusat hingga desa, lembaga swadaya masyarakat, maupun lembaga-lembaga internasional. Bahkan karena seringnya disebut, konsep ini hampir kehilangan maknanya. Dalam artikel ini, Agung Putri memaparkan makna awal dari “partisipasi masyarakat”dan perkembangan konsepnya yang hingga kini masih terus dikritisi.
Indonesia 1980. Saat itu rezim Orde Baru mencapai puncak konsolidasinya yang mampu menundukkan semua kekuatan politik, militer, pengusaha, dan politisi. Gerakangerakan yang menentangnya pun berhasil ditaklukkan. Tapi gerakan-gerakan akar rumput tak mampu dilumpuhkan. Mereka tumbuh menjamur, bekerja memberdayakan masyarakat yang memerangi kemisikinan, keterbelakangan, dan penindasan ekonomi dan politik. Mereka menemukan dua prasyarat pemberdayaan yaitu perubahan kesadaran masyarakat dan pendekatan partisipasi di setiap kegiatan kemasyarakatan. Upaya penyadaran masyarakat ini jelas bertentangandengan metode mobilisasi pembangunan OrdeBaru. Oleh karena masyarakat disadarkanbahwa kemiskinan yang dirasakan bukanlah suatu takdir yang tidak bisa diubah. Sumberkemiskinan itu adalah hasil kerja struktur dan mekanisme yang bisa dikritisi, dibongkar, dan karenanya dapat diubah.
Partisipasi: sebuah metode tandingan Lalu bagaimana proses penyadaran itu dapat bekerja? Penyadaran hanya mungkin terjadi jika masyarakat terlibat dalam kerja bersama secara setara dan partisipatif, misalnya melibatkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan sejak tahap merancang hingga evaluasi. Masyarakat bisa dirangsang untuk diskusi mengenai masalah sosial dan cara mengatasinya. Mereka juga menentukan cara memaparkan hasil diskusi atau rencana pembangunan yang tidak berupa naskah atau diagram dan tabel, melainkan gambar, denah dan simbol-simbol yang dimengerti oleh masyarakat.
Lebih jauh pendekatan ini juga mengarah ke usaha menggali dan membela (memvalidasi) pengetahuan masyarakat. Fals Borda, sosiolog dari kolombia, pelopor PAR di tahun 1970an, menyatakan bahwa pengalaman masyarakat dan pengetahuan lokal mengandung validitas untuk merancang pembangunan yang setara dengan pengetahuan ilmiah universitas (Fals- Borda, 1991).
Masyarakat bahkan tidak saja menyimpan pengetahuan lokal tetapi juga punya pengertian sendiri tentang ‘pembangunan’. Jika pada metode konservatif pembangunan, orang lokal ditempatkan sebagai obyek pembangunan, maka pendekatan partisipasi justru menjadikan pengetahuan lokal sebagai sumber kekuatan pembangunan yang harus terus menerus digali.
Pendekatan partisipasi mengkritik pendekatan konvensional sebagai tidak demokratis dan menolak dialog. Selain itu juga tidak efektif dan efisien dalam menjalankan program pembangunan, karena tidak berangkat dari kehidupan masyarakat. Pandangan konvensional yang mengukur pembangunan dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi juga ditolak oleh pendekatan ini. Bagi mereka pembangunan seharusnya membebaskan masyarakat dari jerat penghisapan dan tidak semata peningkatan kemakmuran. Pembangunan harus dilakukan oleh dan untuk masyarakat itu sendiri.
Tandingan yang kehilangan esensi
Pendekatan partisipasi bermula dari gerakangerakan pemberdayaan di Amerika Latin. Paulo Freire adalah salah seorang pelopornya. Ia memperkenalkan metode pendidikan orang dewasa bagi masyarakat miskin dan tertindas melalui program pemberantasan buta huruf. Gerakannya berkembang luas di pedesaan di Brazil dan menginspirasi lahirnya inisiatif serupa mulai dari penyadaran masyarakat, riset sampai pengembangan ilmu sosial yang melibatkan aksi langsung oleh masyarakat.
Namun sebagai tandingan, pendekatan ini semakin kehilangan esensinya. Terutama saat diadopsi oleh lembaga pembangunan dominan seperti Bank Dunia yang mulanya merupakan sasaran utama kritik. Pada tahun 1996, Bank Dunia membentuk kelompok kajian tentang pendekatan partisipasi. Perlahan pendekatan ini diintegrasikan dalam program-program pembangunan Bank Dunia, misalnya pengawasan anggaran, penelusuran pembelanjaan publik, pengawasan masyarakat atas pelayanan publik. PBB, Pemerintah Eropa dan Amerika Serikat kemudian ikut-ikutan memakai pendekatan ini2.
Pemerintah Indonesia pun tak kuasa menolak himbauan badan internasional untuk memasukkan strategi partisipasi dalam rencana pembangunan. Bappenas menetapkan perencanaan pembangunan harus dilakukan dengan menggali masalah dari bawah dan bergerak ke atas, dari tingkat desa ke tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, dan akhirnya pemerintah pusat. Di tingkat desa perencanaanharus melalui proses partisipasi dalam merumuskan masalah lokal dan kebutuhannya (Surat Edaran Bappenas, 2004).
Bagi sejumlah orang ini menunjukkan kemajuan, bahwa suara rakyat semakin didengar. Tetapi digunakannya pendekatan itu tidak serta merta mengubah pandangan agen-agen tersebut menjadi berorientasi kerakyatan. Seringkali klaim mereka atas pendekatan ini ternyata sulit dibedakan dari mobilisasi masyarakat untuk melaksanakan program mereka. Boleh jadi yang sedang berlangsung bukan meluasnya usaha perubahan sosial melalui metode partisipasi, melainkan manipulasi pendekatan partisipasi dan pelumpuhannya.
Ini ditambah dengan sikap dan keyakinan yang justru memelihara hubungan yang timpang. Misalnya memandang masyarakat lokal sebagai komunitas yang harmonis, polos, sehingga menjadi naïf terhadap isu-isu politik dan konfl ik masyarakat. Sering kali mereka juga terpesona dengan istilah ‘pengetahuan lokal’ sebagai suatu pengetahuan yang hidup di tengah masyarakat, bersifat organik. Padahal perlu diperiksa apakah pengetahuan itu adalah hasil cerna budaya yang menghasilkan kebajikan atau sesungguhnya suatu pikiran praktis akibat terus-menerus tergerus kemiskinan (Cooke, 2001: 159).
Sebagai contoh banyak pengetahuan local tentang kesehatan sebenarnya lahir karena fasilitas yang minim dan mahal, tidak ada ahli kesehatan, peralatan pemeriksaan yang memadai, obat-obat yang tepat, dll. Untuk proses melahirkan saja, banyak orang memilih dukun beranak yang berbahaya bagi kesehatan ibu dan anak. Hal ini disebabkan buruknya pelayanan kesehatan bagi mereka. Disamping itu ada anggapan bahwa metode dialog dapat membongkar kebungkaman dan ketakutan masyarakat terpinggir. Padahal dalam budaya masyarakat lokal ada hal-hal yang tidak mungkin disampaikan dalam dialog. Dalam beberapa kasus metode dialog justru memperkuat otoritas budaya yang melarang perempuan untuk ikut urun rembuk.
Menuju pendekatan partisipasi yang transformatif
Pendekatan partisipasi tetap merupakan pendekatan alternatif demi kemerdekaan masyarakat. Namun masyarakat bukanlah tanpa daya yang harus ditolong oleh kelompok luar. Baik masyarakat maupun kelompok dari luar berkedudukan setara dan punya keinginan sama untuk belajar melalui dialog.
Intervensi pada masyarakat seharusnya merupakan usaha bersama untuk mentransformasi masyarakat. Artinya proses pemberdayaan masyarakat jangan terjebak oleh pembentukan kelompok-kelompok masyarakat yang eksklusif dan justru menjadi jauh dari struktur kekuasaan politik dan budaya. Sering kali pihak luar datang dengan membuat kelompok-kelompok binaan dan menjadikan mereka kritis. Ini bagus, tetapi ironisnya kekritisan ini justru menjauhkan mereka dari masyarakat yang lebih luas di desanya. Misalnya ada program pertanian organik. Program ini akan lebih baik jika diterima menjadi program di tingkat desa yang lebih luas, termasuk meraih keterlibatan kelompok-kelompok marjinal. Artinya pemberdayaan masyarakat memampukan warga untuk menjadi agen perubahan yang bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk pemerintahan desa. Struktur kekuasaan itu sendiri adalah obyek transformasi. Pada titik ini partisipasi bukan semata metode baku yang steril, tetapi terus diperbaharui berdasarkan temuan-temuan di dalam masyarakat itu sendiri.***
1Agung Putri, Direktur Eksekutif ELSAM
2Tidak hanya program pembangunan, kegiatan bantuan kemanusiaan telah menjadi objek penerapan pendekatan partisipasi juga. Lihat misalnya pernyataan bantuan kemanusiaan dari LSM-LSM yang berada di bawah naungan Uni Eropa (NGDO charter, 1997), USAID, dan pernyataan misi bantuan kemanusiaan dari organisasi-organisasi PBB, program pemberdayaan, JICA (JICA, 2005), strategi rekonstruksi pascabencana tsunami Canada-CIDA (CIDA, 2005).
Kepustakaan
- Surat Edaran Bersama 1354/M.PPN/03/2004 050/744/ SJ, Bappenas, Jakarta, 24 Maret 2004.
- Barroso, Monica Mazzer (2002), “Reading Freire’s words: are Freire’s idea applicable to Southern NGO’s?”, CCS International Working Paper no. 11, http://www.lse. ac.uk/collections/CCS/pdf/IWP%2011%20Barroso.pdf.
- Chambers, Robert (1997), Whose Reality Counts, Putting the fi rst Last. London: Intermediate Technology Publication.
- Cooke, Bill dan Uma Kothari (2001), Participation, The New Tyranny? London: Zed Books.
- Fals Borda, Orlando and Muhammad Anisur Rahman (1991), Action and Knowledge, Breaking the Monopoly with Participatory Action-Research. London: Intermediate Technology Publication The World Bank (1996) The World Bank Participation Sourcebook, http://www. worldbank.org/wbi/sourcebook/sbhome.htm; http://www.worldbank.org/