Meski tidak serentak, sepuluh komunitas di Bandung lan tiga komunitas di Jakarta, berusaha cukup ntensif untuk mengembangkan hubungan kerjasama antar komunitas —yang dalam bahasa LSM pendampingnya disebut sebagai jaringan antar komunitas.
Di Jakarta tiga forum warga, yaitu FKWKM dari Kamal Muara, Fokkal dari Kalibaru dan Wall Prumpung dari Cipinang Besar Utara, membentuk Jaringan Warga Jakarta (Jawara) pada 18-20Januari 2001 di Pulau Kayangan, Kepulauan Seribu. Di Bandung, sembilan kelurahan dan satu kawasan Pedagang Kaki Lima (PKL) berusaha membentuk jaringan kerja serupa. Di akhir lokakarya bersama di Hotel Juvante pada tangga 23 hingga 24 Maret 2001, warga kelurahan Tamansari, Babakan Ciparay, Maleer, dan Sukapura yang didampingi AKPPIJawa Barat; Kelurahan Cigadung, Gumuruh, Pasirluyu, dan Cikutra yang didampingi IAMF; Kelurahan Cibangkong yang didampingi LemkorwilJawa Barat, serta PKL jalan Otista yang didampingi Praksis, sepakat membentuk forum kerjasama.
Sementara itu di’wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, jaringan kerjasama antar komunitas, yang sama-sama mempraktekkan ide jaringan informasi berbasis komunitas, belum pernah diupayakan secara formal. Forum warga Kelurahan Terban, Dukuh Papringan, dan Desa Timbulharjo, serta Kawasan Malioboro baru menjalin kerjasama secara tidak resmi. Misalnya, warga Terban yang didampingi Elses belajar membuat pemancar radio kepada warga Timbulharjo yang didampingi Tim Angkringan, warga Timbulharjo belajar kepada Kelompok Duapuluh dalam pengorganisasian warga, warga Terban meminta kerjasama PKL di Malioboro untuk memasarkan produk kerajinannya, dan lain-lain.
Gagasan membentuk jaringan kerja antar-komunitas ini didasarkan pada kebutuhan untuk saling belajar, bertukar informasi, bekerja sama untuk mengembangkan usaha, menghimpun kekuatan agar bisa terlibat dalam perencanaan pembangunan di tingkat pemerintah daerah, dan lebih lanjut, melakukan advokasi terhadap kebijakan agar lebih berpihak kepada masyarakat. Setidaknya bagi warga di komunitas masing-masing. Tapi, tingkat kebutuhan membangun jaringan kerja bagi masing-masing komunitas beragam. Ada yang merasa benar-benar perlu dan siap, ada yang merasa perlu tapi perlu mempersiapkan diri, dan ada pula yang berpikir belum saatnya.
Di Jawara Jakarta, pada saat pem-bentukan di bulanJanuari 2001, hanya warga Kamal Muara yang menyatakan perlu dan siap, karena forum warganya sudah dibentuk sejak Desember 1999, dan memerlukan kerja advokasi. Warga Kalibaru dan Prumpung merasa belum siap karena masih harus membenahi dan menguatkan forum warga di kelurahan masing-masing. Maka tidak heran jika empat bulan pertama setelah terbentuk, Jawara tak punya aktivitas yang berarti.
Kondisi sepuluh komunitas di Bandung pun demikian, ada yang sudah membutuhkan pendampingan dan advokasi di tingkat kota tapi lebih banyak yang merasa belum siap, baik forum warganya maupun masalah dan kebutuhan yang hendak diadvokasi di tingkat antar-komunitas. Bahkan, bertemunya komunitas yang relatif siap—sebut saja Forum Warga Cibangkong dengan komunitas lain yang baru membentuk tim, dirasa menganggu. Warga Cibangkong merasa tidak mendapat banyak manfaat karena masih sendirian melakukan advokasi di tingkat Kota Bandung. Sedang bagi pihak lain —setidaknya IAMF, bertemunya empat lokasi dampingannya dengan warga Cibangkong, dikhawatirkan merusak strategi dan skenario pendampingan yang dilakukan. Hasilnya, kesepakatan membentuk forum warga tingkat kota tidak berlanjut. Bahkan tim fasilitator kota sebagai pendamping kolektifpun dibubarkan.
Selanjutnya, dengan pertimbanan kesamaan kemajuan lokasi dan strategi pendampingan, IAMF menginisiasi pembentukan jaringan kerja empat lokasi dampingannya dalam forum Jadi-B —Jaringan Data dan Informasi Bandung. AKPPI Jawa Barat pun demikian, dengan memfasilitasi pembentukan Forum Warga Bandung. Satu-satunya lokasi non-residensial, PKL Otista, dibantu Praksis kini mengembangkan kerjasama dengan sesama PKL di Majalaya Kabupaten Bandung dan PKL Malioboro di Yogyakarta.
Sementara itu, warga Cibangkong yang didampingi LemkorwilJawa Barat tak melakukan hal serupa, sebab mereka sudah berasosiasi dengan kelompok swadaya masyarakat lain di dalam Lembaga Koordinasi KSM se-Jawa Barat (Lemkorwil Jabar) yang didirikan sejak akhir 1998. Di dalam Lemkorwil Jabar, mereka bergabung bersama Yayasan Bina Karya, Koperasi Rik-Rik Gemi, Koperasi Karyawan Boromeus, dan beberapa KSM lain yang bergerak di bidang pembangunan perumahan dan permukiman kooperatif, kredit mikro, dan usaha kecil. Hanya saja, dari pengamatan Kombinasi, jaringan kerja antar-komunitas di Bandung yang cukup banyak, belum satupun yang punya aktivitas kongkret. *
Berawal dari kebutuhan forum warga Kamal Muara untuk bekerjasama dengan komunitas lain, tiga LSM dan tiga forum warga di Jakarta membentuk wadah bersama dalam Jaringan Warga Jakarta —disingkat Jawara. Warga Kalibaru dan Prumpung, merasa belum begitu siap karena masih harus menguatkan forum di kelurahan masing-masing.
Hasilnya, hiangga 4 bulan sejak dibentuk, – tanggal 18-20 Januari 2001 di Pulau Kayangan, Kepulauan Seribu Jakarta-, aktivitas Jawara tidak juga jelas. Hadangan masalah masih banyak. Satu kebetulan pengurus terpilih di Jawara adalah pengurus-pengurus utama di forum warga kclurahan masing-masing.
Ramli Asyafa yang terpilih jadi KetuaJawara adalah juga Ketua Forum. Komunikasi Masyarakat Kalibaru (Fokkal), Irfan yang terpilih jadi sekretaris adalah Ketua Forurn Komunikasi Warga Kelurahan KM) Kamal Muara. Ramli yang masih sibuk mcmbangun Fokkal sambil, teruS belajar, dipercaya untuk memimpin forum warga di level yang lebih tinggi.
Masalah lainnya berkaitan dengan posisi dan peran LSM. Ada yang berpendapat sebaiknya Jawara sepenuh-nya dikelola oleh warga. LSM hanya punya fungsi mediasi atau konsultansi. Ada juga pendapat yang setuju LSM terlibat dalam pcngelolaan Jawara. “Orang LSM kan warga Jakarta juga,” begitu alasannya.
Masalah lainnya, belum terumus-kannya bcntuk organisasi, hubungan Jawara dengan forum warga lokal, dan orientasi program. Alhasil, selama empat bulan pertama Jawara tidak punya aktivtas kongkret, bahkan cenderung mandek.
Posisi Jawara.
Mcski mandek buka berarti Jawara tak dipcrlukan. Jawara diharapkan bisa memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan lokal termasuk membantu upaya penguatan forum warga lokal. Sekretaris Jawara Irfan, mencontohkan, jika forum-forum lokal belum bisa atau belum sempat menyelenggarakan pela-tihan, Jawara diharapkan mampu memfasilitasi. Hal scnada disampaikan oleh Juanda, wakil Wali Prumpung. Bahkan lebih jauh, Juanda-berharap Jawara bisa menjadi media penghubung antar pelaku ekonomi di kelurahan anggotanya.
Hanya saja posisi Jawara diharapkan ridak menempatkan forum lokal sebagai sub-ordinasi. Hal ini dikemukakan oleh Ramli Asyafah. “Kekuatan tetap ada di lokal. Tanpa adanya lokal, Jawara tidak ada ardnya.” jelas Ramli yang juga Kctua Pokkal.
Menurut ‘Ramli, sebagai wadah bersama fungsi Jawara adalah sebagai fasilitasi bagi komunitas lokal untuk mengembangkan diri. Selairytu .di-harapkan menjadi saluran advokasi bagi warga. Hal ini dibenarkan oleh Juanda dari Prumpung. Malah Juanda; mcnganggap peran itu sebagai kenis-cayaan yang harus dipikul bleh organisasi semacam Jawara.
Dalam pandangannya, Jawara bisa melakukan advokasi, hearing, atau bertanya sejauh mana kebijakan Pcmda mampu mendorong pemberdayaan masyarakat, sejauh mana perhatian DPRD dalam pemberdayaan masyarakat.
Pcluang untuk melakukan kerja advokasi juga tidak ditampik Ramli dan Irfan. Menurut Irfan, keberadaan Jawara bisa mcmbuat forum-forum warga punya posisi tawar lebih tinggi. Hanya saja Ramli tampaknya tidak mau buru-buru. Baginya, untuk bisa melangkah ke ringkat advokasiJawara harus diperkuat lebih dulu. “Sekarang ini baru 3 kelurahan. Dibandingkan dengan 264 kelurahan di scluruh DKI Jakarta kan kccil sckali,” kata Ramli lagi.
Untuk itu, Ramli menargetkan Jawara bisa memfasiiitasi pemben-tukan forum kelurahan di wilayah kota lain. Dijelaskannya, kini baru Jakarta Timur ‘ dan Utara. Jakarta Pusat, Selatan dan Barat belum.
Dengan melibatkan warga dari Jakarta Pusat, Barat, dan Selatan Jawara akan lebih kuat. Karenanya, ditahap awal Jawara akan berusaha untuk mengembangkan wilayah baru. jadi wajar, kalau porsi kerja Jawara akan lebih banyak pengembangan wilayah baru itu. “Mungkin 20% untuk penguatan lokal dan 80% untuk pengembangan ja-ringan.” kata Irfan lagi.
LSM dalam Jawara
Posisi LSM yang sempat menjadi dilcma, dalam Lokakarya Perencanaan Strategis di:Gsarua Bogor , 19-22 Mei lalu,ditemukan solusinya. Kalau sebelumnya disetujui hanya terlibat di badan pelaksana, akhirnya discpakati untuk bisa menjadi anggota Jawara, bersama forum warga, dan warga yang punya kepedulian dalam pemberdayaan masyarakat. Syaratnya, punya komunitas dampingan. “Posisi keanggotaan sama,” jelas Irfan.*
redaksi