Judul : Demokrasi; Ekspor Amerika Paling Mematikan
Judul Asli : America’s Deadliest Export Democracy – The Truth about US Foreign and Everything Else
Pengarang : Willam Blum
Penerjemah : Yendi Amalia & Yasmin Purba
Penyunting : Sigit Giri Wibowo
Tahun : 2013
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Tebal : 460 halaman
ISBN : 978-602-7888-09-8
Bagi sebagian orang demokrasi adalah kata yang sakral. Kata yang mewakili keinginan setiap manusia akan kebebebasan dan kesejahteraan, seperti yang dikampanyekan oleh negara yang mengklaim diri sebagai negara paling demokratis; Amerika Serikat (AS). Namun bagi sebagian lainnya demokrasi hanya sebuah ilusi yang menyamarkan wajah aslinya yakni penguasaan dan penghisapan.
Pandangan golongan kedua di atas didasarkan pada kenyataan bahwa sejak berakhirnya Perang Dunia II AS, melalui kebijakan luar negerinya, telah melakukan upaya penggulingan lebih dari 50 pemerintahan negara berdaulat, ikut campur tangan dalam pemilihan umum di 30 negara, mencoba mebunuh 50 pemimpin pemerintahan negara-negara asing, dan menekan gerakan rakyat di lebih dari 20 negara. Catatan yang kontradiktif dan ironis dari sebuah negara, yang katanya, paling demokratis di dunia.
“Amerika Serikat tidak peduli dengan apa yang disebut dengan ‘demokrasi’, sesering apapun Presiden AS menggunakan kata itu setiap kali membuka mulutnya”, ungkap William Blum. Pertanyannya adalah, lantas apa yang mereka maksud dengan “demokrasi”? Melacak dari apa yang sudah dilakukan oleh AS melalui kebijakan luar negerinya maka “demokrasi” yang mereka maksud adalah penguasaan dan penghisapan. Tujuan setiap kebijakan luar negeri AS adalah memastikan setiap negara sasarannya memiliki mekanisme politik, hukum, dan keuangan yang ramah terhadap globalisasi koorporasi yang dimotori oleh AS.
Indonesia sendiri pernah, bahkan sedang, menjadi negara sasaran kebijakan luar negeri AS, yang disitilahkan oleh Blum sebagai “kebijakan yang tidak pernah punya maksud baik”. Pada dekade 1960-an jutaan manusia Indonesia dibantai atas nama perang terhadap komunisme yang didukung oleh AS. Pada akhirnya, pemerintah Orde Baru harus membuka lebar akses perusahaan multi-nasional AS atas kekayaan sumber daya alam Indonesia. Bahkan saat ini mekanisme politik, hukum, dan keuangan Indonesia lebih ramah terhadap kapitalisme global daripada rakyatnya. Proyek-proyek pembangunan dan ekploitasi alam berskala besar di Indonesia berada dalam kendali korporasi global dan meninggalkan rakyat dalam kesengsaraan.
Dalam buku ini Blum mengupas dengan lugas kebusukan kebijakan-kebijakan AS yang tidak hanya merugikan negara lain namun juga bagi warga AS sendiri. Sayangnya, Blum tidak banyak mengupas mengenai intervensi lain AS ke negara lain selain menggunakan kebijakan luar negeri. Padalal gelombang demokratisasi pasca Perang Dunia II juga melibatkan aktor-aktor non-pemerintah, misalnya lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan. Dengan mengatasnamakan demokrasi lembaga-lembaga ini mengacak-acak kearifan lokal dan menciptakan sel-sel baru yang menjadi agen demokrasi ala AS.
“Demokrasi adalah hal yang indah, kecuali jika orang brengsek manapun boleh memilih”, ungkap Blum dalam buku ini. Kenyataannnya memang tidak ada sistem politik yang tanpa kesalahan di dunia ini, termasuk demokrasi. Kesalahan ini dimanfaatkan dengan baik oleh segolongan kecil masyarakat; The 1%. Mereka adalah golongan yang memiliki lobi yang kuat di eksekutif maupun legislatif. Mereka adalah para pemilik modal besar. Segegap gempita apapun rakyat mencoblos di bilik suara pemilu pada akhirnya “si 1%” inilah yang memegang kendali kebijakan. Dengan kata lain mekanisme elektoral tidak akan pernah bisa memperbaiki kesalahan ini.
Buku ini sangat cukup untuk memberikan gambaran mengenai wajah asli demokrasi AS dan kebijakan-kebijakan pemerintahnya. Fakta-fakta ini akan menampar para pemuja demokrasi AS, bahkan dapat menjadi peringatan bagi rakyat Indonesia khususnya para pemuja demokrasi.
Peresensi : Aris Harianto
Pegiat Combine Resource Institution