Oleh : Ahmad Rofahan*
Dulu, saat baru berkecimpung di media komunitas, tantangan terberat adalah, bagaimana bisa memberikan informasi yang berimbang kepada masyarakat. Selain itu, bagaimana memenuhi informasi masyarakat dan bagaimana agar masyarakat tidak hanya bergantung pada media arus utama juga menjadi tantangan yang berat. Poin terakhir memang menjadi sebuah tantangan yang cukup berat dirasakan oleh para penggiat media komunitas. Bagaimana tidak? Hampir seluruh media yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah media yang dikuasai oleh para pemodal dan sudah sangat akrab di kehidupan mereka.
Kehadiran media komunitas untuk memberikan angin segar terkait pemberitaan yang berimbang tidak begitu saja bisa diterima. Dibandingkan dengan media komunitas yang dikelola oleh warga kampung yang penuh kesederhanaan, media arus utama masih dianggap lebih berpengalaman dan meyakinkan.
Bahkan, kini tantangan media komunitas bukan hanya berasal dari media-media bermodal besar, namun justru dari komunitasnya sendiri. Sejumlah oknum sengaja merusak informasi demi kepentingannya. Mereka membuat perpecahan masyarakat dengan serbuan informasi tidak jelas kebenarannya atau hoaks hanya untuk mengeruk keuntungan finanasial. Penyebaran hoaks yang pesat didukung oleh distribusi secara sporadis melalui website maupun media sosial. Terlebih, media sosial kini hampir menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat membuat penyebaran hoaks semakin sulit dibendung.
Hoaks yang semakin marak akhir-akhir ini memaksa para penggiat komunitas untuk berjuang ekstra. Tak cukup dengan hanya menyadarkan masyarakat akan pentingnya informasi, namun juga dengan memahamkan pada masyarakat bahwa tidak semua informasi yang beredar saat ini benar.
Menekan laju penyebaran hoaks akan sulit direalisasikan jika membebankannya pada media komunitas semata. Penyebaran hoaks terjadi bukan karena penyebarnya tidak paham akan dampak negatifnya. Namun karena para oknum penyebar hoaks itu mengusung misi ambisius (baca: untuk mencari keuntungan finansial) sehingga mengesampingkan dampak negatif yang mungkin timbul. Itulah kenapa penyebaran hoaks akan sulit direalisasikan jika hanya mengandalkan pada penggiat komunitas saja untuk mengklarifikasi setiap informasi yang belum jelas kebenarannya.
Media komunitas vs media arus utama
Seringkali, masyarakat menyebut media komunitas sebagai media alternatif, media kampung, bahkan media yang tidak profesional. Padahal, penggiat media komunitas lebih sadar dan bertanggungjawab dalam membuat dan menyebarkan informasi. Mereka mematuhi kaidah etika jurnalistik setiap kali membuat tulisan. Di lain pihak, media-media arus utama justru acapkali menjadikan media sosial sebagai sumber tulisan. Padahal, informasi yang didapat melalui media sosial itu belum pasti kebenarannya.
Media seharusnya menjadi salah satu alat untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kebenaran. Namun yang terjadi saat ini, tidak sedikit media arus utama yang justru menyebarluaskan informasi yang tidak jelas kebenarannya. Untuk mengatrol jumlah pembaca, sejumlah media arus utama tak segan memanfaatkan media sosial untuk penyebaran informasi mereka. Seringkali, karena alasan mengejar rating pembaca, kaidah etika jurnalistik pun dilanggar.
Meski demikian, berbagai tantangan yang dihadapi media komunitas di atas bukannya tidak bisa dilewati. Dengan menanamkan pentingnya kedaulatan informasi di masyarakat, para penggiat media komunitas bisa melewati tantangan-tantangan di atas. Sudah saatnya masyarakat berdaulat informasi tanpa tergantung kepada media-media arus utama yang disokong oleh para pemodal dan terkadang memiliki agenda terselubung. Ketidakterbukaan informasi itulah yang mendorong para penggiat komunitas berani bergerak dan menyadarkan masyarakat. Informasi bukan semata milik media arus utama, namun juga semua masyarakat. Masyarakat bisa mengelola, membuat, bahkan menyebarkan informasi dan media mereka sendiri.
Sebagai penggiat media komunitas, saya merasa bangga menjadi bagian di dalamnya. Tujuan kami sebagai penggiat komunitas hanya untuk memenuhi kebutuhan dan mendampingi masyarakat. Tidak ada orientasi lainnya, terlebih orientasi bisnis. Kami menyadari, penggiat media komunitas harus mengambil peran dalam menetralisir penyebaran hoaks yang berkembang di masyarakat.
Banyak media arus utama yang seringkali memproduksi pemberitaan yang tidak berimbang. Dampaknya, masyarakat pun kehilangan kepercayaan pada media arus utama. Itulah kenapa media komunitas harus bisa memposisikan diri sebagai media yang independen dan menjunjung kebenaran. Media komunitas harus selalu membuat dan menyebarkan informasi berdasarkan fakta dan bukti yang ada. Bukan lagi berdasarkan informasi berantai dan juga media sosial yang belum jelas kebenarannya. Karena, jika media komunitas sudah pernah melakukan hal tersebut, maka kepercayaan masyarakat kepada media komunitas akan mudah luntur.
Dalam mendampingi masyarakat mengelola informasi, media komunitas harus konsisten. Ada beberapa peran yang bisa dilakukan media komunitas, seperti memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hoaks. Pemahaman itu mencakup modus hoaks, contoh hoaks, bahayanya, dampak negatifnya, dan yang paling penting adalah bagaimana menyaring informasi mana yang hoaks dan mana yang fakta. Media komunitas harus bisa menjadi media penjelas yang menjabarkan fakta atas hoaks yang sudah tersebar di masyarakat.
Upaya melawan hoaks tidak berhenti di komunitas saja. Para penggiat komunitas juga harus berani menangkal berbagai serangan hoaks di berbagai media, utamanya media sosial. Penting untuk dicatat bahwa menyebarkan hoaks sama saja dengan ikut membuat konflik. Untuk itu, penggiat media komunitas harus selalu selektif dalam mengelola informasi.
Terlepas dari itu semua, para penggiat media komunitas patut bangga. Di balik banyaknya cibiran pada media komunitas, para penggiatnya bisa membuktikan bahwa informasi yang disampaikan adalah benar dan fakta.
*Penggiat Media Komunitas Jingga Media di Cirebon, Jawa Barat