Oleh Nyohpie
Ibarat tamu adalah raja, maka di dunia penyiaran radio, pendengarlah yang berkuasa. Radio tak terkecuali radio komunitas (rakom) tidak akan hidup tanpa pendengar. Bagaimana membuat pendengar betah dengan siaran radio kita?
Salah satu caranya, menyusun acara yang menarik. Radio Ramanea adalah salah satu rakom yang serius mengelola program siarannya. Melalui penyusunan program siaran yang dilakukannya, Radio Ramanea, berhasil meramu sajian acara yang sesuai dengan kebutuhan warga komunitasnya. Dengan mengangkat sekitar 70 persen acara lokal, Radio Ramanea berhasil bertahan ditengah gempuran persaingan dari radio-radio swasta jakarta, yang terdengar sampai ke Purwakarta.
Apa jurusnya? Banyak. Radio Ramanea telah membuktikan keampuhan jurus itu. Jurus pertama, jangan pernah menentang lawan di daerah kekuasaannya. Karena itu Radio Ramanea tidak mau bersaing dengan radio-radio swasta yang kebanyakan dari Jakarta. “Kekuatan kami adalah karena kami menyuarakan suara-suara lokal. Masyarakat senang sekali jika mendengar ada orang-orang di sekeliling mereka yang masuk ke dalam radio,” tukas Khoerudin Wahyu, Direktur Program Radio Ramanea.
Buktinya, suatu ketika Radio Ramanea memutar qasidahan dari ibu-ibu sekitar yang direkam beberapa hari sebelumnya. Waktu qasidahan, siaran itu kurang enak didengar. Maka proteslah ibu-ibu itu. Padahal biasanya mereka tidak terlalu peduli dengan mutu siaran.
Jurus lainnya, kenali kebutuhan pendengar. Caranya? Radio Ramanea punya petugas keliling untuk mencari tahu masukan warga kepada radio. Mereka adalah pedagang keliling yang menjajakan barang dagangannya dari satu tempat ke tempat lain. Sambil berjualan mereka biasanya ngobrol dengan pembeli. Nah, dari obrolan itu dia biasanya dapat banyak masukan. “Partisipasi masyarakat di Wanayasa ya seperti itulah,” tutur Kang Wahyu, sapaan Khoerudin Wahyu.
Radio Ramanea mengajafc warga secara informal untuk ikut menyusun program siaran. Sebelumnya mereka pernah mencoba mengumpulkan warga dalam sebuah pertemuan. Tapi ternyata mereka yang hadir dalam pertemuan malah diam. Pernah juga Radio Ramanea menyebarkan angket pada warga. Hasilnya? Dari sekitar 200 angket yang disebar, hanya 10 yang terisi dan kembali ke radio. Kenapa? “Bukan karena kami tidak mau berpartisipasi. Kwnaha nulis •nat Kan hese (Bagaimana menulisnya? Kan repot-red.),” kata warga
Dan kejadian itu Radio Ramanea belajar bahwa tidak bisa memaksakan suatu cara yang menurut mereka bagus tapi ternyata tidak bisa diterapkan ke warga. Karena harus disesuaikan dengan keinginan dan kondisi warga, program acara di Ramanea jadi sering berubah. “Ya, sudah konsekuensinya begitu,” jelas Kang Wahyu.
Tapi tidak semua gagasan dan masukan warga langsung ditanggapi, melainkan ditampung dulu lalu dibahas bersama pengurus dan Dewan Media Komunitas (DMK) Ramanea. Saat ini Radio Ramanea memiliki 21 orang anggota DMK yang terdiri dari tokoh masyarakat, aparat pemerintahan, petani, pedagang, seniman, guru dan tidak ketinggalan aktivis perempuan.
Dalam mengkaji sebuah acara Radio Ramanea mempertimbangkan budaya setempat. Radio Ramanea juga mengangkat kebiasaan sehari-hari warga setempat menjadi acara radio. Misalnya, Ngadu Bako. Sebelum Ngadu Bako ini diangkat menjadi sebuah program dilakukan kajian terlebih dulu.
Ngadu Bako adalah istilah untuk menyebut kebiasaan berkumpul dan ngobrol yang biasa dilakukan oleh bapak-bapak di kalangan masyarakat Sunda. Di situ mereka membahas masalah sehari-hari. “Ngadu Bako ini sebetulnya problem maker (pemicu masalah-red.),” ujar Kang Wahyu sambil tersenyum. Acara ini memang sangat blak-blakan mengungkap persoalan masyarakat. Mulai dari proyek gorong-gorong sampai pada penggunaan jalan sebagai fasilitas bersama.
Dalam acara Ngddu Bako keadaan bisa memanas. Untungnya Radio Ramanea juga punya acara lain, Ngampar Samak yang dalam bahasa Indonesia artinya Gelar Tikar. Kalau Ngadu Bako itu pemicu masalah maka Ngampar Samak menjadi pemecah masalah. “Kita sama-sama duduk, mencari solusi yang terbaik. Keinginan untuk mambangun Wanayasa-lah yang menjadi titik temu dari perbedaan-perbedaan itu,” jelas Kang Wahyu.
Program yang telah dikaji oleh pengurus Radio Ramanea ini tidak begitu saja menjadi program yang siap disiarkan. Butuh kira-kira sebulan agar sebuah acara masuk ke dalam susunan program. Proses pengkajian usulan program bisa menghabiskan waktu sampai dua minggu. Setelah lulus kaji calon acara tersebut akan diuji siar selama kurang lebih satu minggu.
Melalui uji siar itu jika ada warga yang tidak suka, mereka biasanya akan kirim surat atau datang ke studio untuk bertanya atau memprotes program yang diujikan itu. Warga yang bertanya atau protes biasanya akan diajak berdiskusi. Jika mereka paham, masalah selesai. Tapi jika warga yang protes tetap ngotot maka akan ditampung terlebih dulu. Radio Ramanea bahkan punya cara yang unik untuk menangani protes yang muncul dari warganya, yaitu dengan mengembalikannya kepada masyarakat.
“Di sini kan banyak warung kopi. Biasanya di situ ada sekitar lima orang atau lebih yang berkumpul. Kami tanyakan bagaimana pendapat mereka tentang protes tersebut. Kalau tidak setuju biasanya mereka menganjurkan untuk tidak mengacuhkan saja. Kalau mereka setuju akan mengiyakan. Hasil kumpul-kumpul di warung itu lantas dibahas dalam pertemuan pengurus dan DMK,” papar Kang Wahyu.
Tapi pengajuan program tidak terbatas berasal dari warga. Pengurus dan DMK Ramanea pun diberi kesempatan untuk memberikan usulan. Kepekaan para pegiat radio terhadap lingkungan sekitarnya menjadi sumber untuk memunculkan program baru. Seperti kisah Kang Wahyu saat mengunjungi kampung bernama Bojong Honje. Saat berdiskusi dengan beberapa pemuda setempat, ternyata mereka tidak tamat SD. Tingkat pendidikan di kampung itu terbilang rendah. Saat ini saja yang melanjutkan ke SMP cuma satu orang. Padahal penduduknya 40 kepala keluarga atau sekitar 120 jiwa.
Kang Wahyu dan pegiat Ramanea berencana membuat semacam SMP terbuka. Pengajarnya dari radio. Warga Bojong Honje sangat senang dengan rencana ini dan meminta acara disiarkan jam 4 sampai 5 sore, ketika pulang dari kebun. Melalui radio mereka belajar. Lalu pertemuan kelas diadakan seminggu sekali membahas pelajaran yang sudah disiarkan radio.
Kendati keinginan ini belum terwujud, Kang Wahyu tak kecil hati. Saat ini Ramanea sudah menyiarkan acara pendidikan dalam bentuk lain. Namanya Jomantara Desa, disiarkan empat kali seminggu. Acara ini biasaya membahas masalah sehari-hari yang dialami warga dengan mengundang narasumber yang ahli di bidangnya.