Oleh Anom Astika
Berbicara mengenai sejarah radio di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi komunikasi di negara barat. Inovasi teknologi komunikasi yang mencakup bidang transportasi dan telekomunikasi, didukung penuh oleh pihak militer dan swasta. Sejarah teknologi komunikasi paralel dengan sejarah ekspansi negara-negara Eropa ke berbagai belahan dunia. Artinya teknologi komunikasi telah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan negara kolonial di daerah jajahannya.
Sejak ditemukannya sistem radio telegraf pada tahun 1837 di Amerika, negeri kita yang masih bernama Hindia Belanda sudah mengadopsi teknologi itu mulai tahun 1856. Pada periode 1870-1880 negeri kita sudah terhubung dengan Inggris dalam jaringan radio telegrafis, bersama-sama dengan terhubungnya semua wilayah koloni Inggris dengan negeri induknya via jaringan kabel bawah laut, seperti jaringan kabel Karibia, jaringan India ke Australia dan sebagainya.
Pada tahun 1876 Alexander Graham Bell menemukan teknologi telepon. Teknologi ini lalu dikembangkan di Eropa dan Amerika dan baru masuk ke Hindia Belanda pada awal abad ke 20. Teknologi radio baru mengudara di Hindia Belanda pada tahun 1920-1930an, setelah didahului oleh rangkaian eksperimen radio di Belanda yang didanai oleh Mr Weiss, seorang pengusaha Belanda di Batavia (Jakarta) pada tahun 1902.
Tahun 1924 kantor berita ANETA Belanda mulai beroperasi di Hindia Belanda, dan berita-beritanya diudarakan dan diterima di Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Menado, Balikpapan, Banjarmasin, Medan, Palembang, Padang, dan Kutaraja (Banda Aceh). Pada tahun 1925 radio swasta pertama didirikan oleh sekolompok orang Belanda penggemar radio, yaitu radio BRV (Bataviaasche Radio Vereening). Siaran pertama dari radio ini diudarakan dari stasiunnya di Hotel Des Indes. Langkah BRV ini kemudian diikuti dengan pendirian Philips Omroep Holland Indie pada tahun 1933 dan setahun kemudian BRV dijadikan radio resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan nama NIROM (Nederlahds Indische Radio Omroep Maatschappij). Sejak saat itu Radio NIROM berkembang pesat dengan lima studio di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Program radio tersebut sebagian besar berbahasa Belanda dan memutar lagu-lagu Belanda lewat gramofon. Selain itu radio NIROM juga mengudarakan pidato Ratu Wilhelmina di Den Haag ke Hindia Belanda. Hingga akhir 1930-an jaringan radio pemerintah kolonial sudah mencakup seluruh kawasan Hindia Belanda.
Namun, muncul juga beberapa stasiun radio lain yang merepresentasikan kepentingan komunitas di wilayah tertentu, terutama komunitas non-Eropa. Seperti radio SRV (Solosche Radio Vereeniging) yang didirikan oleh Mangkunegara VII yang lalu memiliki cabang di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Pendirian SRV diikuti oleh pendirian radio Siaran Radio Indonesia, Radio MAVRO Yogyakarta, radio etnik Tionghoa di Surabaya CIRVO, dan radio Madiun EMRO. Programa radio-radio ini disesuaikan dengan komunitas yang dituju, dan berbahasa Melayu, Jawa, Sunda, dan Cina. Oleh karena belum tersedia piringan hitam untuk rekaman lagu-lagu Jawa, dan lagu- lagu etnik lainnya maka mereka berani mengudarakan tampilan musik secara langsung.
Oleh karena begitu banyak muncul radio swasta-komunitas dengan jumlah pendengar puluhan ribu hingga seratus ribu orang di seluruh koloni maka pada bulan November 1936 tema “radio” menjadi pembahasan di Volksraad, semacam DPR-nya pemerintah kolonial. Perlu diketahui bahwa pada masa itu hidup dan matinya radio masih ditentukan oleh jumlah pendengar dan iklan. Sehingga siapapun yang ingin mendengarkan siaran radio A misalnya, dia harus menjadi pelanggan radio tersebut. Soetardjo K sebagai wakil bumiputera di Volksraad mengusulkan agar biaya langganan siaran radio masyarakat bumiputera diturunkan, oleh karena tingkat ekonomi mereka yang rendah. Pemerintah kolonial menyetujui usulan Soetardjo dan bulan Maret 1937 didirikan Perikatan Perhimpoenan Radio Ketimoeran, atau disingkat PPRK dan memiliki terbitan bernama “Soeara Timoer”. Perdebatan lain muncul ketika radio NIROM berkehendak untuk menyajikan acara kebudayaan Jawa, yang lalu diprotes oleh PPRK. Namun lambat laun di awal periode 1940-an, radio “ketimuran” ini digunakan juga untuk kepentingan politik pemerintah kolonial.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, seluruh stasiun radio yang ada di Hindia Belanda diambil alih, dan berada di bawah kontrol Domei, kantor berita pemerintah pendudukan Jepang, dengan segala macam restriksi dan sensor. Namun, banyak teknisi dan reporter kantor berita itu memiliki hubungan dengan para pejuang kemerdekaan. Adam Malik, Yusuf Ronodipuro, dan Djawoto (pendiri kantor berita ANTARA) adalah beberapa contohnya. Sehingga ketika teks proklamasi dibacakan oleh Soekarno, tak lama kemudian Yusuf Ronodipuro mengudarakannya lewat radio yang direbut oleh para pejuang kemerdekaan dari tangan pendudukan Jepang. Lebih jauh lagi, pada tanggal 11 September 1945 para “pejuang udara” tersebut berkumpul dan membentuk apa yang kita kenal sekarang dengan RRI (Radio Republik Indonesia). Pada bulan selanjutnya, cabang-cabang RRI didirikan sampai dengan tahun 1946. Tujuan dari pendirian cabang-cabang ini adalah mengonsolidasikan seluruh perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Sehingga pada dasarnya RRI juga dibentuk dari radio-radio komunitas pejuang yang muncul secara spontan seperti Radio Indonesia Raya dan Radio Militer di Yogyakarta, Radio Pemberontakan di Surabaya, Radio Pemberontakan di Solo, Radio Gelora Pemuda di Madiun, dan Radio Perjuangan di Semarang. Sehingga, dari sini kita bisa mengerti bagaimana Bung Tomo melalui radio bisa tetap menyemangati para pemuda untuk tetap berjuang di pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Sekelumit sejarah radio di lndonesia ini dapat menunjukkan pada kita bahwa sejak zaman kolonial kebutuhan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebudayaan dan demokrasi telah muncul.*** (AnomAstika, Jaringan Kerja Budaya)
*Seluruh data dari tulisan ini diambil dari tulisan:
- Jennifer Lindsay, “Making Waves: Private Radio and Local Identity in Indonesia”, Indonesia
- Rudotf Mrazek, “Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony”, Princeton University Press, USA, 2002.
- Armand Mattetart, “Mapping World Communication: War, Culture and Progress”, University of Minnesota Press,1994.
- Pramoedya Ananta Toer, “Kronik Revolusi Indonesia (1945-1948)”.