Masyarakat Adat dan Benteng Pertahanannya

Oleh Biduk Rokhmani

Hita no sarara no sampe suvu (kita semua bersaudara), slogan ini begitu populer di kalangan komunitas masyarakat adat di Sulawesi Tengah. Terlebih saat beberapa waktu terakhir, wilayah itu terus-menerus diguncang teror dan konflik horisontal. Namun konflik berkepanjangan dan teror bom yang telah berlangsung sekitar tujuh tahun itu tidak sempat membuat komunitas-komunitas budaya adat di sana turut hancur. Terutama suku bangsa Kaili yang merupakan komunitas adat terbesar diSulteng. Masyarakat suku Kaili tersebar di lembah dan teluk Palu merupakan kelompok etnik terbesar Sulteng yang mendiami wilayah pesisir di Kabupaten Donggala dan pedalaman di Pegunungan Verbek. Sebagai suku bangsa terbesar, Kaili mempunyai lebih dari 30 sub-sub suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Sulteng. Dari itu semua, suku Kaili-Ledo merupakan sub suku Kaili yang paling besar dan bahasanya menjadi lingua franca bagi suku bangsa Kaili secara umum. Di samping menjaga persatuan antaretnik melalui bahasa, suku bangsa Kaili pun tetap mempertahankan budaya mereka sebagai benteng untuk menangkal situasi konflik yang masih berkecamuk. Salah satu bentuknya adalah menjaga sistem komunikasi komunitasnya melalui bentuk kesenian tradisional, di antaranya Dadendate, Rego, Kakula walo, dan Dero.

Kesenian yang dianggap paling komunikatif antarseluruh anggota masyarakat adat adalah Dadendate. Dadendate pada awalnya berupa penyampaian mantra atau doa. Akan tetapi dalam perkembangannya dadendate mengalami perubahan fungsi sosial yang lebih pada nyanyian rakyat, yaitu nyanyian yang meninggi atau syair panjang yang biasanya berisi berita, pesan, dan nasehat kepada orang banyak. Namun sayangnya, kesenian ini hanya muncul pada situasi tertentu saja. “Mereka akan menyampaikan pesan atau berita secara spontan seperti orang berbalas pantun. Tapi sayangnya para seniman Dadendate sekarang ini mayoritas dari golongan tua,” jelas Hapri Ika Poigi, budayawan setempat.

Media ekspresi lain bagi masyarakat adat Kaili untuk upacara ritual adat adalah Rego, yaitu upacara selamatan dalam bentuk gerak dan nyanyian mantra yang dilakukan secara melingkar. Biasanya Rego dilaksanakan saat panen padi tiba sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang juga dikenal dengan nama Rego Mpae. Rego dimainkan oleh paling sedikit 15 pasang laki-laki dan perempuan yang membentuk sebuah lingkaran. Jumlah pemain ini harus selalu berimbang, baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh saling melebihi satu dengan yang lain. Mereka berdiri berselang-seling sambil tangan satunya saling memegang tangan dan yang lain memegang bahu. Ini merupakan pertanda satu bentuk kebersamaan dan ikatan kekeluargaan yang sangat tinggi di antara mereka dan tidak akan dapat dipisahkan sampai kapan pun. Upacara ini bisa dilangsungkan selama tiga hari berturut-turut, dan hanya diselingi waktu istirahat saat makan dan minum atau bergantian dengan peiaku Rego yang lain. Dalam upacara ini, diceritakan tentang proses panen padi, sehingga kesenian ini merupakan bentuk pendidikan lisan mengenai pertanian terhadap generasi muda.

Bentuk komunikasi lainnya adalah kakula wato. Pada masyarakat Jawa, kakula walo sering disebut dengan kentongan. Seperti halnya kentongan, kakula walo juga terbuat dari bambu dan difungsikan untuk memanggil warga. Kakula walo biasanya dipukul bersamaan dengan meniup puu, semacam terompet yang dibuat dari batang padi dengan janur sebagai resonatornya, yaitu tanda untuk mengajak warga lainnya untuk membantu mengolah hasil panen.

Di kalangan anak muda suku Kaili, bentuk komunikasi yang paling populer adalah Dero. Dero merupakan seni pertunjukan dalam bentuk nyanyian dan tarian. Saat ini, pertunjukan Dero tidak lagi mengenal waktu tertentu untuk pementasannya. Bahkan, anak-anak muda sudah menjadikan Dero seperti layaknya pentas ‘poco-poco’ yang bisa dimainkan kapan pun dan di mana pun. Tidak perlu menunggu hajatan, asal mereka mau melaksanakan Dero, maka dero pun langsung digelar. Lebih lagi, sekarang ini di seluruh Sulteng sudah beredar CD dan VCD yang berisi nyanyian-nyanyian Dero, baik bajakan maupun orisinil karya seniman Sulteng. Jadi kapan pun mereka mau, tinggal nyetel VCD maka Dero pun bisa digelar. Menurut pengamatan Hapri Ika Poigi, masyarakat di Palu sedang demam Dero yang kemungkinan besar disebabkan kejenuhan warga terhadap beragam konflik yang terjadi. Dero telah menjadi saluran rasa jenuh dan cara untuk merekat tali solidaritas.

***

Banyak kalangan di Sulteng beberapa waktu terakhir ini tengah berupaya mempertahankan kebudayaan masyarakat adat tersebut. Salah satunya Yayasan Tadulakota’ yang fokus pada masalah konservasi masyarakat dan budaya adat Sulteng. Hapri merupakan motor penggerak upaya tersebut. Usaha yang pernah ditempuh adalah menyosialisasikan bentuk-bentuk komunikasi masyarakat adat tersebut melalui radio. “Kami bekerja sama dengan empat radio swasta di Palu (Radio Nebula, Ramayana, Best FM dan Al Chairaat-red) dengan cara membuat program acara khusus yang menyoroti kebudayaan masyarakat adat dengan mengangkat tema besar “hita no sarara no sampesuvu” (kita semua bersaudara),” tutur Hapri, sang ketua yayasan yang juga budayawan setempat.

Bentuk sosialisasi yang dilakukan adalah mendatangkan narasumber dari orang tua adat dan menyelenggarakan dialog interaktif melalui radio-radio tersebut yang ditayangkan secara bergantian selama seminggu. “Dari dialog interaktif itu, ternyata tanggapan masyarakat sangat bagus apalagi kami juga mengundang 16 orang tua adat untuk berpartisipasi sebagai narasumber,” lanjut Hapri.

Kesadaran untuk menyosialisasikan budaya adat itu muncul karena keprihatinan akan memudarnya kesadaran untuk melestarikan budaya adat. “Waktu orde baru berkuasa, ada intervensi dari pusat guna menyusun sistem pemerintahan sesuai dengan aturan batas-batas administratif pemerintahan. Yakni setiap wilayah harus ada RT/RW, batas wilayah ditentukan berdasarkan desa dan kelurahan. Padahal dalam komunitas masyarakat adat hal seperti itu kan tidak berlaku karena masyarakat adat punya aturan sendiri yang ditetapkan oleh wilayah keadatan (community maping),” ungkapnya.

Sayangnya, karena kekurangan dana, terutama karena mereka harus membeli slot-waktu disetiap radio, maka acara itu tidak dapat dilanjutkan. Padahal selain sosialisasi bentuk-bentuk budaya adat di Sulteng, dalam program acara itu juga mengakomodasi advokasi wilayah keadatan dan hutan adat agar keberlangsungan hidup komunitas masyarakat adat dapat dijaga. Radio komunitas mungkin bisa menjadi pilihan menarik untuk menjaga berlangsungnya proses penguatan masyarakat adat untuk kepentingan mereka sendiri.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud