Oleh Afrizal
Ta Lakee Do’a Bak Tuhan Sidroe (Mari berdoa pada Tuhan)
Nanggroe Acehnyoe Neubri Sijahtera (Negeri Aceh ini diberikan kesejahteraan)
Beu Jioh Aeb Male ngen Keuji (Dijauhkan dari aib, malu, dan keji)
Meubeek Allah Brie Aceh Binasa….. (Jangan Allah beri Aceh binasa)
Lirik lagu: Nyang Na dari Komunitas Nyawoeng Aceh
Bumi Aceh tak kunjung henti didera penderitaan. Setelah perang Aceh-Belanda (1973-1914) yang menimbulkan korban pada pihak Aceh sebanyak 70 ribu orang, Aceh kembali terpuruk dalam “Revolusi Sosial” tahun 1946 yang menewaskan 1.500 anak negeri ini (peristiwa ini dikenal dengan “Perang Cumbok”). Tak lama kemudian, 4 ribu jiwa para Syuhada Aceh melayang pada Peristiwa Darul Islam (DI/TII) pada tahun 1953-1964. Yang lebih ironis dan dramatis sekali adalah melayangnya sekitar 5.000 jiwa rakyat Aceh dalam suatu peristiwa tak bernama ketika Aceh berstatus sebagai Daerah Operasi Militer dari tahun 1989-1998. Kini Aceh telah berganti status menjadi Darurat Militer, Darurat Sipil dan akhirnya pada tanggal 18 Mei 2005 Aceh menyandang status baru yang dengan nama Tertib Sipil. Namun konflik masih terus mewarnai perubahan status tersebut, dan entah kapan akan berakhir. Konflik demi konflik nampaknya belum selesai, bencana alam maha dahsyat pada tanggal 26 Desember 2004 telah meluluhlantakkan Aceh. Gempa bumi berskala 8,9 skala richter disusul gelombang tsunami telah mengambil ratusan ribu nyawa masyarakat Aceh serta ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi di berbagai daerah. ribuan orang tua kehilangan anak, ribuan anak kehilangan orang tua, ribuan suami kehilangan istri, dan ribuan istri kehilangan suami.
***
Membangun kembali Aceh memang bukan pekerjaan mudah, harus ada perencanaan dan pemantauan yang berkesinambungan agar semua proses pemulihan dapat berjalan dengan optimal serta dirasakan oleh seluruh masyarakat Aceh. Untuk mendukung semua itu di perlukan suatu sistem jaringan komunikasi dan informasi yang dikelola sendiri oleh masyarakat sendiri sehingga pihak-pihak penentu kebijakan dan penyalur bantuan dapat memberikan kontribusinya secara tepat dan terarah.
AERNET (Atjeh Emergency Radio Network) berupaya untuk membangun jaringan informasi dan komunikasi masyarakat melalui alat/media komunikasi yang telah ditempatkan di beberapa wilayah di Aceh. Salah satunya adalah media berupa radio komunitas yang terdapat di 5 simpul wilayah yaitu, di Meulaboh, Aceh Barat (Swara Meulaboh FM), Sinabang, Simelue (Suara Sinabang FM), Jantho, Aceh Besar (Seha FM), Simpang Mamplam, Bireun(AI Jumhur FM) dan Geudong, Aceh Utara (Samudera FM). Kehadiran dan keberadaan Radio komunitas di 5 wilayah Aceh tersebut telah membawa angin segar dan perubahan yang berarti pada masyarakat Aceh, khususnya masyarakat di wilayah radio komunitas itu berdiri.
***
Melalui radio di setiap simpul inilah informasi seputar bantuan, kesehatan, korban hilang dan selamat, pendidikan, trauma healing dikemas oleh masing-masing radio menjadi program acara yang sederhana. Kendati terkesan seadanya, warga masyarakat sangat antusias dengan kehadiran radio komunitas, terbukti dengan tingginya animo partisipasi. Radio komunitas Samudera FM yang berada di Desa Mancang, Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, dengan personil yang terbatas, malah sebagian pengelola berasal dari barak pengungsian, telah mengemas program siaran dengan kreatif. Misalnya mereka membuat program acara syiar agama dengan mengumandangkan ceramah agama, pantun, dan hikayat-hikayat Aceh (Nazam). Tidak hanya itu, hiburan lewat lagu yang bernafaskan Islam serta lagu-lagu yang dinyanyikan oleh seniman Aceh terus menerus diputar dan menjadi pelipur lara masyarakat.
Lain di Samudera FM, Geudong, lain pula di beberapa daerah lain. Di Jantho, Aceh Besar, kehadiran radio komunitas yang di beri nama SEHA (baca: Senang Hatee yang dalam bahasa Indonesia berarti senang hati) hadir dengan warna lain dalam memenuhi kebutuhan informasi komunitasnya. Ada beberapa fenomena menarik yang menghiasi keberadaan radio Seha FM. Partisipasi warga begitu terasa di Seha FM, terutama dalam hal mengirimkan kartu request (pilihan pendengar). Sehari Seha FM bisa menerima 150-400 kartu request dari pendengar. Kartu Request di jual 3 lembar seharga seribu rupiah.
Ada cerita menarik dari kegiatan kirim-kirim salam melalui kartu reguest oleh pendengar Seha FM. Suatu ketika ada seorang penyiar yang mengirim salam kepada para penghuni LP (Lembaga Permasyarakatan) yang berada sekitar 500 meter dari studio Seha FM. Para napi yang kebetulan mendengarkan radio dan mengetahui namanya disebut-sebut oleh penyiar merasa senang sekali. Lewat perantara sipir penjara dia akhirnya dapat memperoleh kartu request dan membalas salam si penyiar. Akhirnya setiap bersiaran si penyiar selalu mengirim salam kepada si narapidana tersebut. Karena namanya sering di sebut di udara maka si narapidana menjadi terkenal di Radio Seha FM. Kiriman salam pun banyak berdatangan dari pendengar-pendengar yang lain. Hingga akhirnya sejumlah pendengar tergerak untuk menemui narapidana itu dengan mengunjungi LP Jantho. Berkat acara kiriman salam tersebut si narapidana sekarang tidak merasa sendirian dan terkucil lagi dari kehidupan di luar penjara. SEHA FM juga sadar bahwa sebagai media komunitas, memiliki tanggungjawab terhadap pelestarian budaya lokal. Untuk itu SEHA mengemas paket acara budaya berupa Dalail Khairat (kelompok pengajian laki-laki) dan Barzanji (kelompok ibu-ibu) yang disiarkan secara live setiap kamis malam dengan durasi satujam. Grup Dalail dan barzanji ini di hadirkan dari kelompok-kelompok desa yang ada di Kota Jantho dan sekitarnya. Selain Hiburan (lagu) SEHA FM juga melakukan relay siaran dari KBR 68H dan program siaran darurat “Peuneugah Aceh” dari Internews yang berisi informasi, khususnya mengenai kondisi Aceh terkini.
Kegiatan monitoring bantuan juga menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh Radio Komunitas Swara Meulaboh FM di Meulaboh Aceh Barat yang kemudian dikemas menjadi paket informasi yang di siarkan kepada pendengarnya. Radio Swara Meulaboh eksis dalam menyajikan informasi seputar pemulihan Aceh. Reportase lapangan sering dilakukan dan di siarkan melalui radio baik dalam bentuk siaran tunda maupun langsung. Salah satunya pada awal bulan Mei 2005 lalu Radio Swara Meulaboh melakukan reportase langsung kegiatan Festival Budaya Anak Aceh yang diselenggarakan oleh NGO asing bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Kegiatan ini menampilkan pagelaran seni dan budaya lokal yang dibawakan oleh anak-anak Aceh yang berasal dari seluruh barak pengungsian yang ada di Aceh Barat. Kegiatan ini diliput langsung oleh kru Swara Meulaboh dari lokasi kegiatan dengan menggunakan Radio HT (Handy Talkie) yang terhubung dengan rig yang ada di studio. Melalui rig, informasi dan kegiatan di-input ke mixer dan kemudian dipancarluaskan melalui pemancar Swara Meulaboh ke wilayah yang dapat menerima siaran dari Radio Swara Meulaboh.
Kehadiran radio komunitas telah membangkitkan semangat kreatifitas warga yang selama ini nyaris pupus ditelan oleh konflik di Aceh. Mereka kini dapat menyuarakan aspirasinya melalui radio komunitas. Namun, yang jadi pertanyaan, apakah kedamaian sejati bakal tercipta di Aceh? Kita hanya bisa berharap dan berdoa, semoga saja rakyat Aceh bisa keluar dari labirin penderitaan. ***
(Afrizal, Fasilitator Informasi Program Atjeh Emergency Radio Network, Yoh Kawano, UCLA)