Oleh Shita Laksmi*
“Solusi sebuah masalah itu selalu semu, karena solusi akan membawa kita ke masalah berikutnya”. Pernyataan Marthin Luther King yang tenar ini bisa menjadi ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan penyiaran komunitas di Indonesia.
Setelah mendapatkan pengakuan dari Undang-undang Penyiaran, masalah lain yang muncul pada radio komunitas di Indonesia adalah ketidak jelasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), ketakutan dicabutnya frekuensi sampai ke masalah internal yang utama: keberlanjutan radio komunitas.
Pada bulan Oktober 2002, saya mendapat kesempatan ke Afrika Selatan dan belajar bagaimana struktur penyiaran komunitas disana. Setelah mendengar pengalaman mereka, saya berkesimpulan penyiaran komunitas di Afrika Selatan mendapat dukungan penuh dari segala sektor, negara/pemerintah, industri, ornop dan publik. Bisa jadi, karena munculnya penyiaran komunitas adalah akibat kebijakan anti-apartheid yang dirindukan oleh Afrika Selatan.
Di bawah UU, mereka punya peraturan disebut Independent Broadcasting Authority (ICASA) Act untuk mengatur penyiaran lebih detail seperti definisi penyiaran komunitas, tipe penyiaran –geografis atau kepentingan– area mana yang mendapatkan izin serta entitas apa yang dilarang mendapatkan izin. ICASA juga mengatur tata cara mendapatkan izin beserta persyaratan yang dibutuhkan, biaya pendaftaran, dan sebagainya.
CASA Act ini hampir sama dengan RPP yang sedang digodok Kementrian Informasi dan Komunikasi. Bedanya, badan pembuat di Afrika Selatan adalah lembaga independen yang lepas dari kepentingan pemerintah walaupun dana operasionalisasinya datang dari negara.
Untuk soal pendanaan, radio di Afrika Selatan lebih beruntung karena boleh beriklan walaupun cukup iklan lokal. Menurut Gabriel Urgoiti dari Open Society Institute Afrika Selatan, “tidak mungkin radio komunitas bisa bertahan hidup kalau tidak beriklan.” Benar juga. Tapi, patut disadari bahwa boleh beriklan berarti menimbulkan potensi memperluas jangkauan yang artinya bukan radio komunitas lagi.
Sebagai contoh adalah Radio Moutse yang siaran di 96,3 FM. Esau Mguni, aktivis Moutse mengatakan sejak menurunnya dukungan lembaga dana kepada Moutse, mereka menjadi sangat tergantung pada iklan. Sayangnya, mereka hanya memiliki kekuatan 250 Watt yang hanya menjangkau seratus ribu pendengar. Mereka ingin meningkatkan kekuatan agar bisa menjangkau 800 ribu pendengar dan akhirnya membuat pemasang iklan lebih tertarik. Mereka minta izin ke ICASA tapi belum mendapatkan ijin.
Kalau melihat peralatan Radio Moutse menjadi wajar bila biaya operasionalisasinya tinggi. Mereka tinggal di satu rumah yang relatif besar dan mempunyai lebih dari 3 ruangan berikut satu mobil operasional.
Ruangan untuk penyiar terpisah dengan ruang untuk teknisi –dengan mixer yang lebih dari satu. Bila dibandingkan dengan radio komunitas di Indonesia, misalnya Angkringan, peralatan Moutse jauh lebih maju.
Saya bertanya kepada Moutse, bagaimana dengan partisipasi komunitas? Menurut mereka, sangat sulit untuk meminta dana ke masyarakat karena tingkat ekonomi yang rendah. Ditambah lagi, saat pendirian, Moutse tidak mencantumkan kontribusi masyarakat dalam AD/ART karena mereka percaya bisa mendapat iklan dan dana hibah dari lembaga dana.
Kalau begini, persoalannya jadi kompleks. Kendati sudah didukung dari semua sektor, tingginya biaya operasional yang tidak didukung oleh pemasukan yang rutin akan menimbulkan masalah. Pemasukan iklan dan lembaga dana itu tidak rutin karena mereka bisa datang dan pergi.
Dari situ saya belajar bahwa peralatan canggih, iklan, dukungan lembaga dana dan pemerintah tidak bisa memastikan keberlanjutan radio komunitas. Sejak proses perencanaan, partisipasi komunitas perlu diraih. Radio komunitas harus menyusun macam-macam kontribusi riil dari komunitas untuk menghindari mati di jalan. ***
*) Alumni Pascasarjana Ateneo de Manila University, Philippines.