Yang Terancam di Zaman Haki

Oleh Ade Tanesia

Ada sebuah kisah menarik yang ditulis di harian Kompas. Antropolog dari Universitas Padjadjaran Prof Dr Kusnaka Adimihardja MA yang sedang tugas belajar di Australia sangat rindu dengan sambal khas Indonesia. Alangkah senang bercampur bangga dirinya, saat ia bisa menikmati sambal bajak di Australia. Pikirnya, “wah produk Indonesia sudah masuk luar negeri nih”. Namun saat kemasannya diperhatikan, betapa terkejutnya beliau karena ternyata sambal bajak ini bukan produksi bangsa Indonesia, melainkan telah dipatenkan oleh orang Belanda dan diproduksi di Australia. Artinya jika orang Indonesia mau merasakan sedapnya sambal bajak, maka harus didatangkan dulu dari luar negeri. Kalau sudah sampai Indonesia, masyarakat harus membelinya dengan harga yang mahal. Ini baru satu kasus.

Ada kasus lain. Siapa sih yang tidak kenal rendang padang? Makanan khas orang Minang Kabau ini hampir saja hendak dipatenkan oleh Malaysia. Kalau paten itu terjadi, maka orang Minang Kabau bisa kehilangan haknya terhadap masakan khasnya. Untung saja Pemerintah Daerah Sumatera Barat langsung bereaksi dan berupaya melindungi masakan lezat yang usianya sudah ratusan tahun ini, agar tidak dipatenkan oleh pihak lain.
Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa sesuatu yang selama ini sudah kita anggap milik bersama yang diwariskan secara turun temurun, tiba-tiba bisa menjadi milik pihak lain? Di sinilah kita baru sadar bahwa kita hidup di era HaKi (Hak atas Kekayaan Intelektual) yang diterapkan melalui sejumlah UU yang berkaitan dengannya (informasi tentang UU dan jenis-jenis HaKI bisa lihat website Ditjen HKI (Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual) http://www.dgip.go.id).

HaKI awalnya mencakup dua hal, yaitu hak cipta (copyright) dan hak paten yang masing-masing mempunyai aturannya sendiri. Hak cipta melindungi hasil kecerdasan, pikiran dan ungkapan atau renungan manusia yang menjelma dalam bentuk buku, lagu atau film. Khususnya melindungi dari pemanfaatan pihak lain untuk kepentingan komersial. Sementara hak paten mencakup temuan dan teknologi, kerja yang dikerahkan untuk membuat barang baru, mulai dari traktor, obat-obatan sampai alat pembuka kaleng yang menggunakan listrik. Dalam perkembangannya ada pula kategori merk dagang, rahasia dagang, desain industri dan tata letak sirkuit terpadu. Menurut Kastowo, Ketua Klinik HaKI Atmajaya, intinya seluruh Undang Undang bidang HaKI ini untuk melindungi hasil karya manusia, terutama yang mempunyai nilai ekonomi. UU HaKI berlaku di dunia internasional,dan menjadi prasyarat untuk negara-negara yang masuk dalam tatanan ekonomi dunia melalui WTO (World Trade Organization). Jika Indonesia tidak ikut aturan main ini, maka ekspor negeri kita ke negara-negara maju bisa dijegal.

Apa Untungnya Buat Indonesia?
Yang menjadi pertanyaan apakah keuntungan bagi Indonesia dengan meratifikasi UU HaKI ini? Kalau untuk negara-negara maju sudah jelas, mereka ingin melindungi ekspor produk mereka yang kebanyakan berbasis HaKI, seperti film CD, VCD, software, dan lain-lain. Contoh kasus yang paling nyata adalah razia software Microsoft di warung internet seluruh Indonesia yang menyebabkan ribuan usaha warnet di Indonesia tutup dan ribuan orang kehilangan pekerjaan. Dengan adanya praktek pembajakan maka mereka telah dirugikan sehingga mendorong negara berkembang untuk memberlakukan UU HaKI.

Sebaliknya dengan Indonesia yang kini baru mengandalkan potensi keanekaragaman hayati dan pengetahuan lokal masyarakatnya ketimbang perkembangan teknologi, maka UU HAKI malah bisa menjadi bumerang. Artinya keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh alam Indonesia, kalau tidak bisa diolah oleh bangsa ini sendiri, akan jadi incaran perusahaan besar yang teknologinya lebih canggih seperti perusahaan makanan, obat, minuman, pengawet. Lalu siapa yang menguasai teknologi kalau bukan negara maju. Pasalnya pengetahuan lokal yang dimiliki bersama dan keanekaragaman hayati sebuah wilayah belum cukup terlindungi dalam aturan main HaKI internasional ini. Pengetahuan lokal sulit didaftarkan karena tidak diketahui nama pemiliknya dan merupakan milik bersama sebuah masyarakat. Sementara negara juga belum mempunyai hukum yang cukup kuat untuk melindungi keanekaragaman hayati yang tersedia secara melimpah di negeri ini.

Hira Jhamtani, anggota Dewan Penyantun Lembaga Swadaya Masyarakat Konphalindo menegaskan bahwa pada abad ke-21 keanekaragaman hayati akan dianggap lebih bernilai daripada emas, sehingga disebut “emas hijau”. Bisnis yang paling menguntungkan di abad ini adalah industri farmasi, kesehatan, pangan, pertanian, dan kosmetik. Bahan dasar untuk komoditi ini adalah sumber daya alam dan pengetahuan lokal yang kebanyakan terdapat di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Bayangkan Suku Dayak di Kalimantan atau Suku Orang Rimba di Sumatera tidak mempunyai posisi tawar hukum dan politik yang kuat, jika pengetahuan pengobatan tradisionalnya diklaim atau dipatenkan oleh perusahaan farmasi atau industri pertanian.

Pentingnya Dokumentasi
Ada sebuah contoh kasus tak terlindunginya pengetahuan tradisional di daerah Amazon. Pada tahun 1984, Loren Miller, pendiri perusahaan obat internasional, mengisi formulir paten untuk temuan baru sebuah varietas tanaman bernama banisteriopsis caapi yang ditemukannya sedang tumbuh di hutan Amazon. Jenis tanaman ini hendak dikembangkan untuk obat penyakit kanker. Sebenarnya tanaman bernama banisteriopsis caapi telah digunakan masyarakat di daerah Amazon untuk upacara dan pengobatan tradisional. Bahkan mereka telah menggunakan tanaman tersebut untuk minuman upacara yang disebut ayahuasca. Oleh karena masyarakat di Amazon tidak pernah mendokumentasikan jenis tanaman ini, maka formulir paten yang diajukan Miller bisa diterima karena masuk dalam kategori “sesuatu yang baru” sesuai dengan syarat pematenan.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh masyarakat dalam menghadapi terancamnya kekayaan pengetahuan tradisionalnya? Di sinilah pentingnya masyarakat melakukan dokumentasi dan mengelola sistem informasinya sendiri. Misalnya ada lembaga yang berbasis komunitas seperti masyarakat adat yang mendata kekayaan alam dan kebudayaan tradisionalnya. Selain itu berbagai pihak dalam masyarakat harus mendesak pemerintah untuk membuat perangkat hukum, misalnya pengukuhan hak sumber daya lokal, perlindungan hak penemuan masyarakat, dan lain-lain. Lalu siapa yang mau memulainya? Ini memang pekerjaan besar yang masih terbengkalai, karena mungkin ancamannya belum di depan mata. Tapi kalau tidak dimulai, anak cucu bangsa ini yang terkena dampaknya.

Sumber:

  1. “Prof Dr Kusnaka Adimihardja MA Berjuang Melindungi Kekayaan Intelektual Lokal“. Kompas, Kamis, 1 Maret, 2001
  2. Haryanto, Ignatius. “Monopoli Pengetahuan”. http://mkb.kerjabudaya.org
  3. AAAS Handbook on Intellectual Property and Traditional Knowledge. http://shr.aaas.org/tek/handbook/
  4. Haryanto, Ignatius. “Menembus Kebekuan Rejim HAKI”. Kompas, 10 Oktober 2004.
  5. “Pembajakan Hayati Saat ini Terjadi di Indonesia”, Kompas, Sabtu, 14 Juli 2001

Unduh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud