Oleh Biduk Rokhmani
Bermula dari kesukaannya menulis catatan harian, Djuminem (31), mantan pekerja rumah tangga (PRT) asal Desa Dlingo, Bantul, Yogyakarta, mulai mencoba belajar menulis artikel. Meski baru dalam taraf coba-coba, Lek Djum, demikian perempuan berambut cepak itu biasa dipanggil, ia sudah berani mengirimkan hasil tulisannya yang berbentuk artikel kepada redaksi Suara Serikat PRT, buletin yang dimaksudkan untuk mewadahi aspirasi para PRT yang tergabung dalam Serikat PRT Tunas Mulya, Yogyakarta.Buletin yang telah terbit sejak dua tahun lalu itu, awalnya menjadi salah satu bentuk advokasi bagi Serikat PRT yang difasilitasi oleh Rumpun Tjoet Njak Dien. Namun dalam perjalanannya kehadiran buletin itu justru menjadi wadah untuk menyalurkan hobi dan bakat terpendam para PRT yang notabene kemampuan menulisnya sering dianggap sebelah mata.
“Pertama kali nulis untuk buletin Suara Serikat PRT saya hanya menuangkan ungkapan hati saya saja, semacam curhat gitu deh, jadi saya hanya menulis pengalaman dan uneg-uneg pribadi yang saya alami sehari-hari sebagai PRT. Akan tetapi setelah saya mengikuti pelatihan dari Rumpun (Rumpun Tjoet Njak Dien, red) saya mulai bisa menulis dalam bentuk artikel,” terang Lek Djum.
Meski belum lama ikut berpartisipasi menyumbang tulisan untuk buletin, Lek Djum sekarang ini telah dipercaya oleh pihak serikat untuk menjadi penanggung jawab media untuk mengelola buletin Suara Serikat PRT di Serikat PRT Tunas Mulya.
“Saya juga berusaha mengajak teman-teman sesama PRT untuk ikut belajar menulis, paling tidak coba-coba dululah mengirimkan karya mereka dalam bentuk apapun. Bisa berupa cerpen, puisi atau artikel bebas. Mulanya, hampir sama seperti yang saya lakukan dulu, mereka lebih banyak mengirimkan artikel yang berisi curahan hati mereka. Kami sih mau saja menerima kiriman-kiriman artikel itu, hitung-hitung untuk memberi wadah bagi teman-teman belajar menulis,” tuturnya.
Bahkan untuk mengasah kemampuan mereka, Rumpun juga telah beberapa kali menyelenggarakan diklat jurnalistik bagi PRT yang bekerja sama dengan berbagai media lokal di Yogya. Program itu diselenggarakan berbarengan dengan program pendidikan alternatif bagi PRT.
Adanya diklat jurnalistik itu dirasakan Lek Djum dan rekan-rekannya yang terhimpun dalam Serikat PRT Tunas Mulya sangat menolong mereka untuk bisa menulis dengan benar. “Setelah ikut diklat saya sudah bisa menulis dalam bentuk artikel dan feature, bahkan sekarang saya sudah berani melakukan liputan untuk menulis berita seperti layaknya wartawan sungguhan. Sekarang saya malah sudah jarang menulis puisi atau catatan harian,” ulasnya.
Lek Djum sendiri mengaku sempat grogi waktu pertama kali mendapat tugas liputan untuk mencari berita dan mewawancarai narasumber. “Pertama kali saya disuruh nulis tentang suatu kasus kekerasan yang terjadi pada seorang PRT oleh majikan. Selain saya harus wawancara dengan PRT yang notabene teman saya sendiri itu, saya juga harus ke Polda DIY untuk mendapatkan data pendukung sebab waktu itu kasusnya sudah ditangani polisi. Untungnya saya bisa mengerjakan semua itu dengan lancar. Bahkan sekarang saya lebih senang menulis yang berdasarkan hasil liputan dari lapangan,” tambahnya sambil tertawa.
Buletin dengan 12 halaman yang diterbitkan sebulan sekali itu, sering memuat tentang kasus-kasus seputar PRT dan beban kerja yang tidak sebanding dengan upah yang mereka terima. “Sejauh ini buletin Suara Serikat PRT menjadi tempat sharing bagi sesama anggota serikat dan teman-teman PRT yang tergabung dalam Organisasi Pekerja Rumah Tangga (Operata) di daerah lain,” katanya.
Sekolah Alternatif
Selain sebagai fasilitator bagi PRT dalam bentuk advokasi, Rumpun Tjoet Nyak Dien juga menyelenggarakan sekolah alternatif untuk mereka. Pendidikan alternatif dalam sekolah untuk PRT itu sendiri tidak hanya mengajarkan tentang pendidikan dasar Kejar Paket ABC, melainkan juga dikenalkan tentang pendidikan kritis. Yakni adanya penyadaran tentang hak dan kewajiban PRT sebagai pekerja.
“Selama ini ada pemahaman yang keliru tentang status PRT, yakni mereka lebih sering diposisikan sebagai pembantu yang sebenar-benarnya. Padahal mereka itu kan sama juga dengan pekerja yang lain, jadi sebenarnya mereka juga punya hak dan perlindungan hukum seperti layaknya pekerja-pekerja di sektor lain seperti karyawan atau buruh pabrik,” tandas Muryanti dari Rumpun Tjoet Njak Dien yang selama ini mengadvokasi persoalan PRT di Yogya.
Meskipun, imbuhnya, sekarang ini belum ada UU tersendiri yang bisa dijadikan acuan payung hukum bagi PRT. Sebab, dalam UU Ketenagakerjaan tidak ada definisi khusus tentang batasan-batasan PRT. Sebenarnya dalam UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tercantum PRT yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap di sana termasuk dalam lingkup rumah tangga. Artinya, PRT yang menetap di rumah majikan secara otomatis termasuk anggota keluarga jadi apabila terjadi kekerasan dalam rumah tangga ia berhak mendapat perlindungan hukum.
“Akan tetapi tetap saja itu (UU KDRT, red) tidak memuat secara spesifik batasan-batasan tentang PRT, padahal kan PRT itu sendiri jenisnya ada bermacam-macam. Ada PRT yang menetap bersama majikan, tapi ada juga PRT yang jam kerjanya hanya bersifat part time. Selama ini jika ada masalah antara PRT dan majikan, penyelesaiannya selalu menggunakan pasal-pasal dalam KUHP yang dijadikan acuan,” tegas Yanti.
Selain kekerasan secara fisik, banyak PRT yang mendapatkan kekerasan dalam bentuk psikis dan seksual. “Mereka sangat rentan mendapat tambahan pekerjaan yang sebenarnya bukan menjadi tugas mereka dan kebanyakan untuk tugas-tugas tambahan itu mereka tidak mendapat tambahan upah sebagai reward yang sebanding,” ungkapnya.
Salah satu manfaat lebih diselenggarakannya sekolah bagi PRT yang memuat adanya pendidikan alternatif dan kritis, para pekerja sektor rumah tangga itu menjadi paham tentang hak-hak dasar mereka sebagai pekerja. Implementasi yang diharapkan dari adanya pendidikan kritis itu, mereka akan cenderung lebih sedikit melakukan kesalahan kerja. Selain itu mereka juga diajarkan untuk selalu mempertanyakan adanya kontrak kerja yang memuat pembagian kerja secara spesifik.
Hal itu dimaksudkan untuk melindungi mereka agar tidak mendapat perlakuan yang semena-mena dari pihak majikan. Meski sebenarnya, menurut Yanti, majikan sendiri juga diuntungkan dengan adanya kontrak kerja yang jelas tersebut. Sebab, jika PRT itu tidak mau melaksanakan tugas atau bekerja secara sembarangan, majikan bisa melakukan teguran bahkan menggugat melalui jalur hukum.
Di pihak lain, di sekolah itu PRT juga diajarkan cara bernegosiasi agar mendapatkan posisi tawar yang seimbang dengan majikan dalam hal upah. “Apalagi jika sampai upah itu tidak dibayarkan oleh majikan, mereka diberi penyadaran bahwa mereka juga berhak menuntut kesejahteraan. Selain itu mereka juga belajar memberi advokasi kepada sesama rekan PRT,” terang Yanti.
Lecehkan PRT
Menanggapi adanya sebuah acara pencarian pembantu di sebuah TV swasta oleh pesinetron Ari Wibowo, Yanti cukup emosional saat memberi komentar. “Acara itu sama saja melecehkan profesi PRT dengan memberikan hadiah Rp 10 juta setahun. Itu kan sama saja menawarkan mimpi apalagi peserta yang lolos audisi justru yang bukan berprofesi sebagai PRT,” tuturnya.
Bahkan, lanjutnya, materi tes dalam audisi untuk acara tersebut sudah di luar konteks pekerjaan PRT. “Penekanannya justru lebih ke nuansa games aja dan bukan menjaring orang-orang yang benar-benar terjun sebagai PRT tapi yang diambil (lolos audisi, red) justru orang-orang yang memang menginginkan supaya bisa menjadi selebriti,” ungkapnya.
Hal semacam itu menurutnya bisa diartikan sebagai upaya trafficking ke PRT dalam bentuk yang lebih samar. “Itu kan sama saja merendahkan profesi PRT yang seharusnya dihargai layaknya profesi-profesi yang lain,” tegasnya.***