Wig dari Desa Karangbanjar

Oleh Rohman Yuliawan

Para selebritis yang gemar berganti-ganti wig mungkin akan kegirangan setengah mati jika berkesempatan mengunjungi Desa Karangbanjar, Purbalingga. Apa pasal? Di desa ini, terdapat ratusan rumah tangga yang menekuni keahlian menyusun helai-helai rambut menjadi aneka produk wig, sanggul atau cemara. Belum lagi belasan pabrik besar, tersebar di sekitar Kota Purbalingga, dengan puluhan ribu pekerja yang siap memproduksi jutaan produk wig dan bulu mata sintetis setiap bulannya.Desa Karangbanjar yang terletak lebih kurang lima kilometer barat laut kota Purbalingga, Jawa Tengah, sejak tahun 1970-an memang telah identik dengan kerajinan berbahan rambut. Lokasinya yang berada di tengah hamparan persawahan dan berdekatan dengan aliran sungai-sungai besar menjadikan desa yang berudara sejuk ini juga tersohor sebagai penghasil produk perikanan, pertanian dan tempat wisata alam. Sebuah desa yang komplet, memang.

“Tapi justru kerajinan rambutlah yang paling awal membuat Karangbanjar terkenal,” kata Atingah, Kepala Desa Karangbanjar. “Dari pertengahan tahun 1980-an produk-produk kerajinan rambut tiruan dari desa kami, terutama sanggul dan cemara, sudah tersebar ke seluruh penjuru tanah air,” ujar ibu yang bersama suaminya, Ngudiyono, mengelola usaha kerajinan rambut Fair Lady ini.

Mulai dari hanya beberapa perajin, saat ini sekitar 200 rumah tangga menggantungkan hidupnya dengan mengolah produk kerajinan berbahan rambut. Berbagai jenis kerajinan rambut dihasilkan dari tangan para perajin yang kebanyakan kaum wanita. Mulai dari aneka jenis dan gaya sanggul, cemara, sasak, sampai wig dengan helai-helai rambut lurus atau keriting bisa ditemukan di sini.

Pengantin Kurang Vitamin

Menurut Maryoto, pemilik sanggar kerajinan rambut Hair Wina, sejarah kerajinan rambut Karangbanjar bermula dari peristiwa yang unik. Dia mengisahkan bahwa usaha kerajinan rambut di Karangbanjar berhutang pada pengantin yang kurang vitamin. “Ceritanya begini, tahun 1960-an kan banyak sekali perempuan yang rambutnya tipis karena kekurangan vitamin, jadi susah disanggul waktu acara pernikahan. Kalaupun bisa, sanggulnya jadi kecil-kecil,” kisahnya sembari tertawa terkekeh.

Adalah Mbah Tarmawi, nenek dari Maryoto, yang mengubah kondisi itu. Sewaktu salah seorang tetangganya menikah, Mbah Tarmawi, yang biasa membantu mendandani pengantin, mengakali tipisnya rambut pengantin dengan membuatkan sanggul dari ikatan rambut tambahan atau cemara. Nenek ini sebelumnya telah mengumpulkan helai demi helai rontokan rambut dari para tetangga, kemudian dipilah dengan tehnik cuthik (mempergunakan jajaran paku besi yang ditancapkan ke sebilah papan, kemudian ikatan rambut disapukan berulangkali pada jajaran paku untuk mendapatkan helai-helai rambut dengan panjang sepadan). Ikatan rambut yang telah d-icuthik, kemudian dibersihkan dengan cara direbus dan kemudian dikeringkan sehingga menjadi halus dan siap dipakai menjadi sanggul.

Seiring bergulirnya waktu, cemara buatan tangan Mbah Tarmawi semakin dikenal di kalangan calon pengantin. Banyak di antara mereka yang memesan cemara dengan memberikan imbalan uang. “Tidak seberapa jumlahnya, wong istilahnya hanya ganti uang sirih,” kata Maryoto.  Meski imbalannya tak seberapa, pada tahun 1954 Mbah Tarmawi memutuskan untuk menjadikan keahliannya membuat cemara sebagai profesi. Ia pun tidak lagi menunggu pembeli, melainkan menjajakannya secara berkeliling dari pasar ke pasar di sekitar Purbalingga. Usaha ini kemudian diteruskan oleh cucunya, Maryoto, yang terjun secara total pada tahun 1977.

“Selama dua puluhan tahun itu kami hanya jualan cemara saja. Tapi mulai tahun 1980-an, ketika sanggul mulai banyak dipakai untuk acara-acara resmi saya juga belajar memproduksi sanggul. Cara pemasarannya masih sama, saya panggul dari satu pasar ke pasar lain,” kisah Maryoto. Namun kali ini pasarnya bukan hanya Purbalingga dan kota sekitarnya saja, melainkan sampai Yogyakarta dan Semarang. “Lama kelamaan, setelah orang mengenal produk saya, mereka mulai datang memesan langsung ke rumah. Apalagi di Karangbanjar juga mulai banyak warga lain yang membuat sanggul, pilihan pembeli menjadi semakin banyak.”

Ketenaran Karangbanjar sebagai sentra kerajinan rambut pun memudahkan para perajin untuk mendapatkan bahan rambut. Pada waktu-waktu sebelumnya, mereka harus mencari sendiri ke salon-salon kecantikan, tukang cukur rambut atau ke para pengepul di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saat ini, justru para pengepul yang mendatangi Karangbanjar. “Ibaratnya, sekarang butuh 5 ton rambut pun kita bisa mendapatkan dengan mudah,” Maryoto menambahkan.

Namun pengurus Paguyuban Desa Wisata Karangbanjar ini juga menyayangkan munculnya persaingan tidak sehat antar perajin untuk mendapatkan bahan rambut. “Di sini para perajin bukan bersaing dalam pemasaran produk, tapi malah saling jegal ketika mencari bahan,” ungkapnya. “Berkali-kali kita coba untuk mengelolanya melalui koperasi dan paguyuban, tetapi hingga sekarang belum berhasil juga,” lanjut Maryoto .
Diserbu Korea Selatan

Ibarat pepatah “ada gula, ada semut”, keahlian penduduk dan potensi usaha kerajinan berbahan rambut di Desa Karangbanjar menarik minat sejumlah pemodal besar. Mulai tahun 1999, satu persatu bermunculan pabrik yang memproduksi produk rambut dan bulu mata tiruan berbahan sintetis. Sayangnya, tak satupun dari 16 penanam modal yang ada saat ini berasal dari dalam negeri, kesemuanya berasal dari Korea Selatan.

“Mulai pertengahan tahun 2005, malah masuk pengusaha dari Amerika,” ujar Maryoto. Menurutnya, pabrik yang baru didirikan ini akan menjadi yang terbesar dan mampu menyerap 10.000 tenaga kerja. “Pabrik-pabrik Korea itu, setiap pabriknya paling banyak hanya mempekerjakan 2000 orang saja,” imbuhnya.

Namun kehadiran pabrik-pabrik bermodal besar tersebut tidak menjadi halangan bagi para perajin rumahan. Pasalnya, sebagian besar produk yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik tersebut memakai bahan dasar sintetik dan dipasarkan ke luar negeri. “Kebanyakan produk mereka rambut dari plastik kok, jadi kami tidak banyak tersaingi,” terang Maryoto. Alih-alih sebagai pesaing, kehadiran pabrik-pabrik tersebut malah menjadi sumber rejeki tambahan bagi penduduk Karangbanjar dan sekitarnya.

“Rejeki itu bukan karena mereka dijadikan pegawai pabrik, akan tetapi pabrik-pabrik itu memesan ritulan dari perajin Karangbanjar,” kata Atingah. Yang disebut ritulan adalah ikatan rambut yang telah dipilah berdasarkan jenis dan panjang rambut. “Yang diambil pabrik minimal panjangnya 10 inchi atau sekitar 27 centimeter. Kalau kurang dari itu dianggap tidak memenuhi syarat dan biasanya diolah ulang oleh perajin untuk dijadikan sanggul, cemara, sasakan atau wig,” tambah Atingah. Kini, sebagian besar dari 200 perajin beralih dari pembuat sanggul menjadi perajin ritulan.

Manjajaki Suriname
Menyoal masalah pemasaran, baik Maryoto maupun Atingah berpendapat produk mereka memiliki peluang besar untuk menembus pasar luar negeri. “Tahun lalu saya pernah diminta untuk mengirim contoh produk ke Spanyol. Nilainya hampir satu juta rupiah, ditambah biaya pengiriman sekitar 4 juta rupiah. Tapi karena dinilai terlalu tipis dan bergaya Asia, akhirnya order dibatalkan”, kata Maryoto.

Tak patah semangat, mereka pun kemudian melirik negara Suriname sebagai sasaran pemasaran. Pertimbangannya di Suriname banyak orang keturunan Jawa yang masih memegang tradisi leluhur, termasuk dalam berbusana. “Tapi kami belum mulai memasarkan ke sana karena kendala modal untuk produksi dan pengiriman. Kalau ada investor yang berminat, tentu kami akan senang sekali,” kata Atingah.

Para perajin Karangbanjar juga menyadari bahwa salah satu ujung tombak pemasaran adalah promosi. Karena itu mereka tak segan untuk mengikuti berbagai pameran potensi daerah. “Paling sering di Semarang, terkadang juga di Yogyakarta dan Jakarta,” kata Maryoto. Diakuinya, melalui pameran order dan jaringan pemasaran produknya semakin luas. Promosi lain dilakukan melalui brosur-brosur, website yang dikelola oleh pemerintah daerah dan liputan media masa.

“Saya ingat sekali, liputan televisi pertama tahun 1984 oleh TVRI Yogyakarta. Reporternya kalau nggak salah Mas Joko Pitoyo. Saya berhutang budi sekali dengan liputan itu, karena setelahnya banyak pembeli berdatangan dan mengaku tahu dari siaran TVRI itu,” kenang Maryoto. Kini, hampir semua stasiun televisi pernah meliput kerajinan rambut di Karangbanjar.

“Terutama waktu kami membuat sanggul raksasa di tahun 2003. Sanggul ini masuk rekor MURI karena beratnya mencapai 170 kilogram dengan ukuran 3×2,8 meter,” lanjutnya. Maryoto menambahkan biaya pembuatan sanggul raksasa itu mencapai Rp 15 juta  yang ditanggung bersama-sama oleh para perajin. Hingga sekarang sanggul tersebut masih dipajang di halaman Kantor Pemerintah Daerah Purbalingga. Sebuah penanda ekonomi rakyat daerah Karangbanjar yang layak dibanggakan dan dikembangkan. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud