Menyelamatkan Hutan dengan Membangun Sistem Informasi dan Komunikasi Berbasis Komunitas

Oleh Ade Tanesia

Hutan di Indonesia kini sedang mengalami krisis! Tingkat penebangan hutan di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia saat ini. Perkiraan resmi menyebutkan 3,8 juta hektare setiap tahun (Deutsche Presse-Agentur, 22 Januari 2004). Bahkan laporan dari Bank Dunia mengingatkan bahwa hutan dataran rendah di Sumatera–di luar kawasan lindung–bisa habis dalam waktu dekat. Cara pandang yang menganggap sumber daya alam semata-mata sumber pendapatan negara menjadi penyebab utamanya. Sejumlah aktivis hutan menyebutkan cara pandang ini sebagai “bunuh diri nasional”. Dibutuhkan sebuah paradigma baru untuk pengelolaan hutan dengan mengintegrasikan pendekatan yang mempertimbangkan pentingnya aspek sosial budaya hutan juga konservasi. Gerakan “Hutan untuk Manusia” sebenarnya telah diikrarkan sejak kongres hutan dunia digelar di Jakarta pada tahun 1978. Tetapi hanya sedikit upaya yang dilakukan untuk mempraktekkan slogan itu. Yang terjadi justru sekitar 40 juta hektare hutan di Indonesia hancur. Sisanya sekitar kurang dari 100 juta hektare.

Bayangkan sekitar 100 juta jiwa dari 216 juta total penduduk Indonesia tergantung secara langsung pada hutan dan produk-produknya. Dan orang-orang yang hidupnya langsung terkait dengan hutan telah menyatakan bahwa hak mereka diabaikan selama tiga dekade pemerintahan Suharto di bawah rezim Orde Baru, ditambah berabad-abad praktek kolonialisme.

Kini setelah 8 tahun Indonesia memasuki era reformasi, harapan berbagai pihak untuk menyelamatkan hutan yang masih tersisa semakin pupus. Penebangan hutan secara ilegal semakin menggila, kebakaran hutan masih saja menjadi momok mengerikan bagi masyarakat di sekitarnya, bencana akibat kerusakan hutan terjadi di mana-mana. Anehnya bencana yang terjadi masih saja disangkal oleh pihak pemerintah dengan dalih bahwa bencana itu adalah kehendak alam, bukan kesalah kaprahan pengelolaan hutan oleh negara.

Memang pada masa otonomi daerah muncul izin hak pengelolaan hasil hutan (HPHH)atau HPH skala 100 hektare yang dimaksudkan untuk melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Kenyataannya banyak masyarakat yang hanya memperoleh fee dari izin tersebut rata-rata hanya Rp 30.000 per meter kubik. Tetap saja yang banyak menikmati keuntungan adalah para pengusaha.

Pengorganisasian masyarakat untuk memantau proses perusakan hutan oleh pihak-pihak tertentu menjadi krusial dilakukan. Sistem informasi dan komunikasi yang mampu menguatkan masyarakat, baik dari pengetahuan maupun strategi kontrol sangat dibutuhkan. Tidak hanya itu, sistem ini juga bisa digunakan untuk persiapan bagi masyarakat dalam menghadapi bencana-bencana akibat kerusakan hutan, seperti kebakaran, longsor, dan lain-lain. Memang belum banyak yang telah melakukannya. Salah satunya adalah Radio Swara Tamborolangi di Toraja yang terus menerus memberikan pendidikan lingkungan bagi masyarakatnya sekaligus memantau pihak-pihak yang berpotensi, melakukan perusakan hutan. Di Kalimantan Tengah, sejumlah desa bekerja sama dengan organisasi CARE juga sedang mengupayakan terbangunnya radio komunitas sebagai sarana peringatan dini kebakaran hutan. Di Jambi, komunitas Rimba bersama organisasi Sokola Rimba mendirikan sekolah komunitas. Dengan kemampuan baca dan tulis yang paling mendasar, komunitas Rimba mengawali upayanya untuk bisa bernegosiasi dengan pihak-pihak luar yang mengancam kehidupan mereka. Dengan menggalang kekuatan rakyat melalui sistem informasi dan komunikasi, perlahan tapi pasti, semoga hutan yang tersisa bisa terselamatkan.

FAKTA:
Dari Hutan Tropis ke Padang Pasir?

  • Hutan di Indonesia dinilai sebagai hutan tropis paling kaya di seluruh dunia. Meskipun luas daratannya hanya sekitar 2% dari luas seluruh daratan di bumi, namun kekayaan hayati negara kita mencapai 17% dari kekayaan hayati dunia. Luas hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 147 juta hektare atau 78% dari luas seluruh wilayah Indonesia.
  • Eksploitasi terhadap hutan yang berujung pada kerusakan hutan mulai meningkat menyusul peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru pada tahun 1965. Pada rentang tahun 1960-1965, yaitu di akhir masa pemerintahan Orde Lama, rata-rata pembabatan hutan berkisar 2,5juta m3 per tahun. Jumlah ini berlipat delapan kalinya di masa rezim Orde Baru, yaitu menjadi 20 juta m3 dalam sepuluh tahun kemudian, terlebih setelah diperkenalkannya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada tahun 1969.
  • Pemerintah mengeluarkan peraturan tentang Perencanaan Hutan (PP 33 Tahun 1974) yang memberi kewenangan tunggal bagi Departemen Kehutanan untuk mengelola 143 juta hektare hutan di Indonesia, dan UU Pokok Kehutanan No S Tahun 1976 yang mendasari keputusan instansi kehutanan untuk menerbitkan izin penebangan kayu kepada 350 perusahaan.
  • Ditahun l980-an, pemerintah membagi wilayah hutan negara di Indonesia ke dalam tiga kategori berdasar fungsi, yakni hutan lindung, hutan kawasan konservasi, dan hutan produksi. Lahan HPI-1 yang dikuasai sekitar 580 pengusaha terus meluas dari tahun ke tahun hingga mendekati 70 juta ha pada tahun 1998, meskipun kemudian jumlah pemegang HPH menciut hingga 146 pengusaha pada akhir tahun 1999.
  • Krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997 menjadikan hutan Indonesia menjadi sasaran pembalakan liar, disusul rusaknya 40 juta hektare lahan di Kalimantan dan Sumatera akibat kebakaran di sepanjang tahun 1997-1998. Aksi pembalakan liar mengakibatkan kehilangan 56 juta meter kubik kayu per tahun senilai Rp 8,4 triliun. Tahun 1999 diterbitkan Undang-undang Kehutanan No 41 Tahun 1999 yang di dalamnya membagi klasifikasi hutan menjadi hutan negara dan hutan swasta di mana hutan adat hanya diakui sebagai bagian dari hutan negara.
  • Menyusul diberlakukannya Undang-undang No 22 Tahun  1999 tentang Otonomi Daerah, muncul bentuk baru eksploitasi hutan ketika pemerintah daerah diberi keleluasaan menerbitkan izin “HPH kecil”. Ribuan izin HPH kecil yang seharusnya hanya mencakup lahan kurang dari 100 hektare per HPH, dalam prakteknya juga mencakup wilayah HPH dengan luasan lebih dari 50.000 hektare yang mempercepat laju kerusakan hutan.
  • Mulai tahun 2002, bentuk eksploitasi hutan melebar pada praktek-praktek ekspor ilegal. Setiap tahun sekurangnya 10 juta m3 kayu diselundupkan ke Malaysia menyebabkan kehilangan penghasilan pajak sebesar lebih dari Rp 360 milyar per tahun. Pemerintah berupaya menghentikan dengan melakukan penghentian penebangan sementara (moratorium logging) selama 6 bulan sejak Oktober 2001 namun tidak berhasil mengurangi angka penyelundupan kayu ke pasar internasional.
  • Pada bulan Maret 2002 ditandatangani Surat Keputusan Bersama pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional oleh tiga menteri,yaitu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Menteri Kehutanan, dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.Tim ini mengkoordinasikan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) yang dijalankan mulai tahun 2003 untuk merehabilitasi lahan seluas 3 juta hektare dalam jangka waktu 5 tahun ke depan di 15 provinsi. GN-RHL dicanangkan secara resmi pada tanggal 21 Januari 2004 oleh presiden yang sekaligus ditetapkan sebagai Hari Tanam  Pohon  Nasional.
  • GN-RHI tidak serta merta menjadikan kondisi hutan Indonesia membaik. Hingga akhir 2004, tingkat kerusakan hutan menurut release Bank Dunia mencapai 2 juta hektare per tahun, sementara Forest Watch Indonesia menyebut angka yang lebih pesimistis hingga 3,6 juta hektare per tahun dari 70-an juta hektare hutan yang tersisa. Artinya, jika laju eksploitasi hutan masih pada tingkat saat ini, hutan di Indonesia akan terbabat habis dalam dua puluh tahun saja. Bukan tidak mungkin, anak cucu kita akan mewarisi padang pasir di bekas lahan hutan tropis.

Sumber:
1. dte.gn.apc.org
2. www.dephut.go.id
3. “Public Policies and the Misuse of Forest Resources’; Robert Repetto dan Malcolm Gillis

Unduh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud