Oleh Biduk Rokhmani
Pernahkan Anda membayangkan seorang tunanetra bersiaran di radio? Jika Anda membayangkan siarannya di radio swasta tentu saja hal itu tidak akan pernah terjadi. Sebab, tahu sendirilah, di negara ini seorang penyandang cacat masih dinafikan eksistensinya. Banyak kalangan menganggap penyandang cacat yang biasa disebut sebagai kaum difabel ini (baik itu tunadaksa, rungu dan wicara, maupun netra) merupakan kelompok orang yang tidak berkualitas dan menjadi beban masyarakat. Padahal banyak kemampuan yang bisa digali dari mereka jika diberikan kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan diri.Adalah Patmikatsih, warga Perumahan Fajar Indah, Solo, seorang penderita tunadaksa akibat polio yang berinisiatif mengumpulkan rekan-rekannya sesama difabel guna menggagas pendirian radio bagi komunitas seperti dirinya. Akhirnya setelah dirintis selama beberapa bulan sebelumnya, akhir Oktober 2005 lalu radio komunitas yang diberi nama Radio Suara Difabel (RSD) itu resmi mengudara. Sesuai dengan namanya, radio ini dikelola oleh komunitas difabel di seputaran Kota Solo. Kehadirannya dimaksudkan guna mengakomodasi kepentingan para difabel yang masih sering diabaikan oleh kelompok masyarakat yang lain.
Kenapa radio? Pikat (panggilan akrab Patmikatsih, red) menjelaskan, “Ide awalnya, kami mencari sarana pembelajaran yang paling efektif bagi para difabel, terpikir pertama kali ingin mengembangkan kemampuan menggunakan komputer. Tapi ternyata teman-teman penderita tunanetra merasa kesulitan. Meskipun sekarang ini sudah ada komputer bicara (talking computer) yang khusus diperuntukkan bagi tunanetra dan printer braille namun ternyata biayanya mahal sekali. Lantas akhirnya dipilih radio karena dianggap cenderung lebih murah dan juga bisa diakses oleh kelompok difabel yang lain”.
Radio yang studionya terletak di wilayah Kagokan, Pajang, Solo itu awalnya menggunakan frekuensi di 89.9 FM dengan tower antena yang terbuat dari pipa besi sederhana. Namun belakangan adanya dirasa belum cukup memadai, lantas dilakukan perbaikan teknis. Tower antena pun diganti dengan slim tower dan frekuensi RSD berpindah ke 93.4 FM, juga memakai pemancar yang berdaya 70 watt sehingga sanggup mencapai radius hingga 5 km.
“Sebenarnya kami juga ingin menggunakan frekuensi di tiga kanal seperti yang tercantum dalam PP RI No 51 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, tapi ternyata semua kanal itu sudah penuh dipakai radio-radio swasta di Solo,” ujar Pikat. Alasan RSD menggunakan pemancar berdaya cukup besar untuk ukuran radio komunitas itu karena para difabel meskipun berdomisili di satu kota akan tetapi tetap saja mereka tidak tinggal dalam satu wilayah desa yang sama melainkan menyebar.
Oleh karena radio komunitas yang bersiaran mulai pukul 15.00 hingga 21.00 itu memang peruntukkan utamanya bagi penyandang cacat maka konten acara yang diusungnya pun tidak jauh dari seputar difabilitas. Yakni misalnya konsultasi bisnis bagi pengusaha difabel, info kecacatan, dan kreasi komunitas difabel. Selain sebagai tenaga penyiar dan pengelola studio, para difabel itu sekaligus juga menanggung dana operasional radio dengan cara swadaya. Meski cacat, toh semangat kerja keras para komunitas difabel itu cukup tinggi. Juga adanya keinginan untuk tidak bergantung pada orang lain, memacu mereka untuk bekerja mencari nafkah hidup sendiri.
Tujuh Relawan
Saat ini ada tujuh aktivis yang bekerja secara suka rela di radio komunitas tersebut. Yakni Purwanto, Naryo, Sartono, Wiradi (keempatnya penyandang tunanetra), Ismail, Kardi (keduanya tunarungu), dan Gendut (tunadaksa). Purwanto, 36 tahun, sejak radio itu berdiri telah menjadi penyiar andalan di RSD. Selain dia, penyiar yang lain adalah Naryo, Sartono, dan Gendut. Sedangkan Ismail mempunyai keahlian sebagai ahli komputer, jadi dialah yang bertanggung jawab menangani bidang informasi teknologi (IT) di RSD. Sedangkan Kardi, meskipun usianya kini telah mencapai 62 tahun, namun semangatnya untuk terus berkarya tak pernah surut. Maka ia diberi tanggung jawab sebagai teknisi radio.
Meski telah bersiaran selama kurang lebih enam bulan, para penyiar RSD merasa perlu adanya training khusus bagi penyiar karena tidak satu pun dari mereka yang mempunyai background di dunia broadcasting. Lantas digagaslah model kerja sama antara Interaksi -LSM di Solo yang tengah melakukan pendampingan terhadap difabel di kota tersebut- dan GIGA Production -perusahaan event organizer di Solo yang tengah mengembangkan program siaran radio- guna melaksanakan pelatihan broadcasting secara gratis bagi penyiar RSD.
Ketujuh relawan itu menyatakan ketertarikan mereka terhadap radio karena dunia itu benar-benar baru bagi mereka, dan dapat menjadi sarana bagi para difabel untuk mengaktualisasikan diri. Radio itu juga dapat sebagai perekat bagi komunitas difabel, minimal dengan melakukan pertemuan-pertemuan kecil di studio RSD yang menempati bangunan rumah tipe 21 itu. Bahkan semangat itu juga didukung oleh warga masyarakat di sekitar lokasi studio yang notabene bukan penyandang cacat seperti mereka.
“Menjadi penyiar di radio komunitas difabel ini membuat saya jadi lebih percaya diri. Apalagi selama ini saya tidak pernah tahu kalau ternyata saya juga bisa ngomong di radio untuk menyampaikan aspirasi maupun pikiran saya dan didengarkan orang banyak. Selain itu saya juga bisa mempromosikan secara gratis keahlian lain yang saya miliki lewat radio tanpa harus membayar mahal,” tutur Purwanto yang sehari-hari bekerja sebagai tukang pijat itu bangga.
Saya tertarik untuk mengenal radio ini lbh jauh, bisa kah saya mendapatkan no kontak mas Purwanto atau pengelola lain radio ini?
Berharap banyak mendapat balasan. Trimakasih
Salam