Menunggu Kabar dari Luar Negeri Lewat Surat Sampai Calo

Oleh Ranggoaini Jahja

Ketika banyak desa asal pemasok buruh migran perempuan belum lagi dilewati jaringan teknologi komunikasi seperti telepon, maka para keluarga hanya bisa menunggu dan menunggu surat dari anak, istri, atau suami di rantau. Menunggu sambil berharap mereka baik-baik saja. Dan hanya bisa pasrah ketika mendengar kabar buruk yang menimpa sanak saudaranya.

Rekaman pengalaman perempuan-perempuan migran tidak hanya berserakan di koran-koran kita, tapi juga tersimpan di tengah-tengah keluarga dan komunitas asal mereka.

Ketika banyak desa asal pemasok buruh migran perempuan belum lagi dilewati jaringan telfon, surat adalah satu-satunya media bertukar cerita yang dinanti oleh keluarga di desa dan mereka yang ada di luar negri. Pada suatu kesempatan saya pernah menyaksikan realita ini lebih dekat dan mendengar kisah mereka yang pernah bekerja di luar negri dan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Muntofiah, 29 tahun adalah salah satu dari banyak buruh migran perempuan asal Cianjur yang menyimpan surat-surat yang ia terima dari suaminya selama ia bekerja di Arab Saudi. Di surat ia menanyakan kabar anak yang dicintainya dan meminta suaminya bercerita apa yang dilakukan selama dirinya tak ada. Di surat balasan suaminya menceritakan telah membeli sepetak tanah di samping pekarangan rumah orangtua Muntofiah untuk menjadi bekal rumah keluarga kecil mereka. Ketika pada periode selanjutnya ia dapat mengirimkan kembali gajinya, Muntofiah akan sabar menunggu surat suami tercintanya. Benaknya penuh khayalan sebuah rumah kecil telah berdiri di atas tanah itu. Bersabar adalah kunci bagi Muntofiah dan teman-temannya sejak memutuskan bekerja di luar negeri. Bekerja di negara-negara yang memiliki sistem tertutup dalam memberi akses informasi dan komunikasi bagi kaum perempuan adalah satu kenyataan yang mereka hadapi. Surat yang dikirimkan dari dan menuju kampung halaman belum tentu sampai di tangan mereka. Muntofiah harus memberikan surat yang dibuat untuk suaminya kepada supir majikannya setiap kali ia ingin mengirimkannya. Terkadang ia menyelipkan selembar cek di dalam surat tersebut untuk dicairkan oleh suaminya di desa. Meski tidak diperkenankan berinteraksi dengan lawan jenis, namun di tangan supir ini surat-surat Muntofiah bisa diposkan.

Memiliki orang yang membantu menghubungkan dengan dunia luar, meski hanya sebatas mengantarkan surat ke kantor pos, menjadi sesuatu yang amat berharga bagi sebagian buruh migran perempuan yang bekerja di Arab Saudi. Muntofiah salah satu yang beruntung, karena ada banyak teman-temannya yang bertahun-tahun tak dapat mengirimkan kabar pada keluarganya di desa. Kerja dan hari-harinya dihabiskan di balik tembok tertutup rumah majikan mereka.

Di desa asal buruh migran, keluarga yang ditinggal juga tidak banyak punya pilihan selain menunggu. Setelah anak atau istri mereka pergi dari rumah ke penampungan milik PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) segera setelah itu pula komunikasi antara mereka akan terputus.

Satu-satunya pembawa berita adalah calo atau sponsor yang membantu proses keberangkatan tersebut. Meski sering diduga banyak mengambil keuntungan, namun keberadaan calo yang tinggal berdekatan dengan keluarga buruh migran di desa memberikan harapan pada keluarga untuk lebih mudah mengetahui kabar dari anak atau istrinya. Wajar saja, karena biasanya calo lah yang mengantarkan calon buruh migran ke tempat penampungan PJTKI.  Meski tidak selalu, namun calo biasanya berusaha menjaga kedekatan dengan keluarga buruh migran yang ditinggalkan, karena biasanya calo adalah orang telah cukup dikenal di desa tersebut seperti kepala dusun, RW, kepala desa atau bisa juga dari orang-orang biasa di desa yang ekonominya sudah “lumayan”. Walhasil, ketika tidak ada satu lembar surat pun yang sampai, seminim apapun informasi yang dibawa oleh calo menjadi sangat besar artinya bagi keluarga.

Karena perannya yang menjadi orang kunci dalam menghubungkan informasi, kedudukan para calo ini seperti pisau bermata dua. Di satu sisi dibutuhkan saat tidak ada jalur komunikasi yang normal, di sisi lain juga dimaki karena pada mereka lah buruh migran biasanya harus membayar hutang yang dipakai untuk proses pemberangkatan. Tentu saja dalam jumlah yang lebih besar dari nilai pinjamannya. Seorang calo yang saya temui di desa pemasok migran pernah menumpahkan pada saya kekesalannya pada seorang buruh migran yang baru kembali dari luar negeri”…terserah saya dibilang yang jelek-jelek… yang jelas pekerjaan saya sudah saya jalankan sampai dia pulang dalam keadaan selamat, coba bayangkan kalau anak itu mati, keluarganya mau nanya kabar ke siapa yang pertama, jelas kepada saya…”

Kemampuan mengakses informasi karena memiliki hubungan langsung dengan PJTKI bisa jadi digunakan sebagai tindakan pembenar untuk memperoleh kekuasaan. Tidak jarang calo yang ada di desa mengambil keuntungan dari posisinya sebagai pemegang informasi. Namun keanggotaannya dalam komunitas desa juga membuat calo tidak dapat melepaskan diri begitu saja dari tanggung jawab sosial. Pada merekalah keluarga akan datang menanyakan kabar anggotanya yang telah dikirim ke luar negeri. Suka atau tidak suka calo ini menjadi aktor kunci ketika jaringan komunikasi yang tersedia jauh dari memadai. Simaklah penuturan pak Arifin, calo  dari desa Banaran, Magelang, ”Saya  bisa melaporkan ke PJ TKI  bahwa ada anak ini, kerjanya dari, berangkat tanggal sekian, alamatnya ini, nomer telponnya ini, dia itu mau minta gajipun susah…”

Upaya pak Arifin untuk mendesak PJTKI melakukan pelacakan terhadap ”anaknya” (sebutan calo untuk buruh migran yang diberangkatkannya)  atau menitipkan surat pada rekan laki-laki sekerja secara sembunyi-sembunyi seperti yang dilakukan Muntofiah dapat dilihat sebagai upaya sederhana untuk menciptakan sistem komunikasi. Kenyataannya dalam situasi yang paling terisolir sekalipun, kebutuhan untuk memberikan dan memperoleh informasi tidak dapat dihalang-halangi. Menciptakan jaringan sederhana untuk memperoleh informasi terbukti bisa menyelamatkan perempuan-perempuan migran yang sedang berada dalam kesulitan di tempatnya bekerja. Jika sistem perlindungan yang seharusnya dijamin oleh negara tidak juga kunjung tercipta, rasanya memang buruh migran bersama-sama komunitasnya yang harus menciptakan sistem itu sendiri, sesederhana apapun itu!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud