Oleh Biduk Rokhmani
Sore itu Waska tampak berjalan sedikit tergesa menyusuri jalanan Desa Santing yang agak berlumpur sehabis hujan malam sebelumnya. Meski raut mukanya menunjukkan kegundahan yang teramat dalam namun pria paruh baya itu cukup mantap melangkahkan kakinya dengan satu tujuan, studio Radio Suara Kemayu. Ya, Waska bermaksud mengadukan kejelasan nasib anak perempuannya, Ranti (di paspor tertulis Rani), Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Blok Cilet RT 8 RW 3, Desa Karang Anyar, Kecamatan Kandanghaur, Indramayu yang kini tengah terbaring tidak berdaya karena patah kaki akibat jatuh dari lantai enam sebuah apartemen di Kuwait.
Ah ya, sejak setahun belakangan ini studio radio yang terletak di Blok Karang Anyar RT 14 RW 03, Desa Santing, Kecamatan Losarang, Indramayu itu memang menjadi pusat informasi dan pengaduan—sekaligus memberikan advokasi—bagi keluarga buruh migran dan calon buruh migran yang berasal dari daerah itu, selain juga sebagai sarana hiburan tentu saja.
Banyak cerita tentang buruh migran yang bekerja di luar negeri yang sering kita dengar dari media massa. Namun tidak melulu cerita bahagia datang dari para pemasok devisa bagi negara itu. Seringnya justru berita duka atau kabar lara yang harus diterima oleh keluarga buruh migran yang ditinggalkan di kampung halaman. Penyiksaan oleh majikan, deportasi, pelecehan seksual, maupun penipuan oleh agen pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) telah menjadi kabar rutin yang sering dilansir oleh media massa Tanah Air.
Indramayu memang sudah dikenal sebagai salah satu kota pemasok buruh migran terbesar di negeri ini. Sebut saja Santing, desa kecil di jalur pantura ini 20 persen penduduk usia produktifnya berprofesi sebagai buruh migran dari total jumlah penduduk 5.020 jiwa.
Banyaknya masalah yang melingkupi para buruh migran itu menggugah sekelompok warga untuk mendirikan radio komunitas yang bisa memberikan informasi seputar buruh migran. Radio yang didirikan pada awal Januari 2006 dan didanai secara patungan itu diberi nama Radio Suara Kemayu. Sasaran utama Radio Suara Kemayu (107,4 MHz) memang keluarga buruh migran dan calon buruh migran yang hendak bekerja ke luar negeri. Termasuk Waska salah satunya.
Mulanya, Ali Mustadi bersama Hero Gunawan, Ilong, Waryanti, Ade Lutyanto, dan Ilyas tergerak membuat buletin sederhana yang isinya tentu saja tidak jauh-jauh dari masalah-masalah di komunitas mereka yang mayoritas warganya bekerja sebagai buruh migran. Yakni tentang informasi seputar tips dan trik menjadi buruh migran yang aman dan tidak bermasalah setelah sampai ke negara yang dituju. Sayangnya, buletin yang bernama Suara Desa itu hanya berhasil terbit sekali pada akhir 2005. “Ternyata minat baca masyarakat di sini sangat kurang. Selain malas membaca, mereka juga tidak bisa memahami isi buletin itu. Jadi kami akhirnya memutuskan untuk membuat media lain yang bisa menjadi pusat informasi,” ungkap Ali Mustadi.
Lantas, tidak berselang lama tepatnya pada Januari 2006, hanya bermodal Rp 800 ribu dari hasil patungan mereka nekat mendirikan radio komunitas. Setelah sebelumnya mereka sempat melakukan pemetaan potensi desa dengan survei “Mengenal Desa Sendiri” yang mereka laksanakan pada tanggal 1 hingga 20 Januari 2006. “Dari hasil Mengenal Desa Sendiri itulah kami jadi tahu bahwa sebenarnya kebutuhan warga itu adalah media yang bisa memberikan informasi sekaligus hiburan. Jadi kami menyimpulkan bahwa radiolah jawabannya,” terang Ali.
Apalagi, lanjutnya, selain bisa memberikan informasi yang lebih praktis, saat harus menyimak radio orang tidak perlu meluangkan waktu khusus. Sebab, sambil mendengarkan radio, Anda tetap bisa melaksanakan aktivitas yang lain.
Ihwal keterlibatan para pegiat radio yang telah empat kali berpindah lokasi studio itu terhadap persoalan yang dihadapi keluarga buruh migran itu tidak lepas dari peran dari para aktivis radio itu yang juga mendirikan Gerakan Peduli Perempuan dan Anak Indramayu (Geppkan-yu). Sebenarnya, Geppekan-yulah yang berperan memberikan advokasi bagi buruh migran yang bermasalah. Namun karena Ali dan Hero juga aktif mengelola Radio Suara Kemayu, maka orang lebih mengenal radio sebagai jujugan mengadu.
Sejak radio itu aktif beroperasi telah ada enam kasus pengaduan buruh migran yang diadvokasi. Semuanya merupakan buruh migran asal Santing dan sekitarnya. Permasalahan yang selama ini ditangani seputar penganiayaan oleh majikan, gaji tidak dibayar, pekerjaan yang dijalani tidak sesuai dengan job order awal, juga keluarga di kampung halaman yang kehilangan kontak dengan buruh migran di luar negeri.
Biasanya dalam mengadvokasi buruh migran itu Ali dan Hero akan langsung mendatangi pihak PJTKI di Jakarta dengan biaya yang ditanggung bersama secara fifty-fifty antara keluarga pengadu dan mereka. Mengapa harus ke Jakarta? Pasalnya, menurut Ali, semua agen PJTKI yang ada di Indramayu hanya cabang, bukan merupakan kantor pusat yang berkedudukan di Jakarta. Bahkan kebanyakan mereka hanya ‘menanam’ calo sebagai perwakilan operasional perusahaan itu.
“Itu yang sering menjadi persoalan di kemudian hari. Sebab bisa jadi perusahaan itu hanya fiktif belaka atau PJTKI itu memang ada tapi alamat kantornya berkedudukan di mana tidak jelas. Kalau sudah seperti itu kita akan kesulitan mengadvokasi karena meski akhirnya persoalannya bisa diselesaikan kita membutuhkan waktu yang cukup lama, juga biaya dan tenaga,” keluh Ali.
Hal itulah yang sering menjadi bahan para pegiat Radio Suara Kemayu itu menyusun Iklan Layanan Masyarakat (ILM) dan penyampaian informasi seputar buruh migran yang mereka siarkan secara rutin di radio komunitas yang digawangi enam orang penyiar itu. Supaya, calon buruh migran dan keluarganya mewaspadai calo dan agen PJTKI—juga bagaimana menghadapi mereka saat dibujuk bekerja ke luar negeri. Juga menginformasikan tentang kondisi selama di penampungan yang disediakan agen sebelum pemberangkatan dan hak-hak buruh migran agar mereka tahu bahwa mereka juga punya posisi tawar baik terhadap majikan maupun perusahaan yang memberangkatkan mereka.