Oleh Zein Mufarrih Muktaf
Sepenggal kata yang cukup menarik pernah ditulis Seno Gumira Ajidarma, hiburan adalah panglima. Di kota metropolitan seperti Jakarta, misalnya, hiburan ternyata sudah menjadi kebutuhan yang penting. Seabrek rutinitas pekerjaan yang kompleks membuat manusia metropolitan memerlukan tempat untuk meregangkan tubuh dan otaknya. Tak hanya masyarakat di perkotaan, mereka yang tinggal di kota-kota kecil dan desa pun butuh hiburan.
Demikian pula nun jauh di lereng Gunung Slamet, JawaTengah, sekelompok anak muda di Bobotsari, Purbalingga membuat hiburannya sendiri. Mereka bergotong royong mendirikan sebuah bioskop rakyat. Kelompok anak muda ini adalah komunitas film di Purbalingga yang kerap memroduksi film namun kebingungan menayangkan karya-karyanya.
Terwujudlah kemudian sebuah ruang pertunjukan film yang dijuluki sebagai Bioskop Kita, bertempat di operation room sebuah gedung berkapasitas 100 orang milik Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Bioskop tersebut menjadi bioskop-satu-satunya yang memutar film-film independen garapan putra kota perwira ini. Dalam pemutaran tanggal 13 Desember 2005 “Senyum Lasminah” karya Laeli Leksono menjadi fllm perdana yang diputar di gedung tersebut. Dengan tidak dipungut biaya sepeser pun masyarakat bisa menikmati tontonan gratis juga mendidik. “Kami mendirikan bioskop tersebut agar semua elemen rakyat, dari pelajar hingga tukang becak bisa menikmati fllm,” ujar
Manajer Program dari Cinema Lovers Communication (CLC) Bowo Leksono dalam sebuah obrolan santai dengan Kombinasi.
Setiap bulannya, CLC memutar film-film yang mengangkat nilai-nilai kearifan lokal. Menurut Bowo, kedekatan budaya dan sosial pada film-film yang diproduksi menjadi daya tarik tersendiri dalam menarik minat masyarakat untuk mencintai film. Selain itu film-film yang disuguhkan adalah film lokal yang secara emosional dekat dengan masyarakat.”Penonton diajak untuk menjadi subjek dari media, bukan sekadar menjadi objek,” tutur Bowo. Film “Peronika”, “Metu Getih”, dan film-film lainnya memang sangat kental dengan iklim sosial budaya setempat. Seperti bahasa yang dipakainya adalah bahasa lokal, begitu pula dengan masalah-masalah yang diangkat. Ini yang kemudian menjadikan para komunitas film di Purbalingga menjadi percaya diri. Kukuh, salah satu anggota CLC yang juga mahasiswa Universitas Negeri Semarang mengatakan, bahwa walaupun kami orang desa tapi kami mampu membuat fllm. Sikap tersebut menepis anggapan, bahwa film hanya dimiliki oleh orang kota.
CLC adalah perkumpulan dari berbagai komunitas film di seluruh Purbalingga. Selain itu, CLC juga menfasilitasi pembuat film yang karyanya ingin diputar dan disaksikan oleh banyak orang. Lembaga ini ingin mengampanyekan karya-karya film warga dari Kota Purbalingga. Ditambah juga dengan media cetak yang terbit satu bulan sekali dengan nama Sinemata. Media tersebut disebarluaskan secara umum dan dibagikan kepada komunitas-komunitas film di luar Purbalingga.
Tidak cukup hanya membuat film, mereka juga aktif memasukkan film-filmnya di berbagai festival. Film Pendek berjudul “Peronika” misalnya, pernah masuk 12 besar nominasi FFI 2004, Tahap I Global Indie Film Festival (GIFF) 2005, ide cerita terbaik Sulasfifest 2005, nominasi Mavfiefest 2005, diputar dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival 2006, dan sebagai film pembuka Festival Film Pendek Konfiden Jakarta 2006. Film dokumenter”Bioskop Kita Lagi Sedih” memenangkan penghargaan sebagai film terbaik dalam ajang bergengsi Festival Film Dokumenter (FFD) 2006.
Rakyat membuat filmnya sendiri
“Membuat film itu mudah.” Demikian kampanye yang selalu disebarkan oleh CLC.
Agar masyarakat tahu dan memahami, mereka sering mengadakan pelatihan dan pemutaran film keliling. Untuk pelatihannya sendiri sasarannya lebih pada anak muda. “Masa-masa muda adalah masa yang paling produktif, terutama untuk yang tertarik di dunia film,” tutur Bowo.
Arthur Harland, seorang siswa SMU Negeri 1 Bobotsari, pernah satu kali memroduksi film dan langsung ketagihan ingin membuat kembali. Sayangnya karena ia sudah kelas tiga dan harus konsentrasi belajar maka niat itu diurungkan dulu. Produksi film pertamanya masih didampingi oleh anggota CLC yang berpengalaman. Namun untuk film selanjutnya, Arthur berusaha mandiri. Arthur yang bercita-cita ingin menjadi pembuatfilm profesional menuturkan bahwa tahun ini di sekolahnya akan dibuka esktrakulikuler film, “namun entah kapan dimulainya, tapi yang pasti ide itu sudah di
setujui pihak sekolah,” kata Arthur.
Sutradara perempuan
Seperti juga Arthur, Atik dan Niken, dua perempuan siswi SMU N 1 Bobotsari, juga telah membuat karya perdananya.”Lelaki Pesolek”, sebuah film dokumenter yang sangat apik untuk ukuran siswa SMU. Bercerita tentang pandangan kaum pria yang suka berdandan. Idenya yang brilian di tambah dengan eksekusi gambar yang cukup maksimal membuat film ini enak ditonton.
Antusiasme terhadap film juga memengaruhi ibu-ibu untuk membuat fllmnya sendiri. Bermula dari CLC yang mengadakan layar tancap saat merayakan HUT RI 17 Agustus. Respons dari warga cukup tinggi, “Layar tancap menjadi media yang bagus untuk membuktikan bahwa kita yang di desa pun bisa membuat filmnya sendiri,” Walaupun
niatan ibu-ibu masih sebatas wacana, ini menjadi sebuah timbal balik yang cukup baik dalam menunjang perkembangan film di Purbalingga.
Berbeda lagi dengan antusiasme di Bioskop Kita. Dua kali penyelenggaraan Bioskop Kita, gedung berkapasitas 100 orang lebih itu selalu penuh. Bahkan banyak warga yang tak kebagian tempat duduk dan rela berdiri menikmati karya anak mudanya. Mereka yang menonton salut dan merasa memiliki karya anak mudanya. Karena gratis, tukang becak yang sering mangkal di depan kompleks pun bisa datang dan menikmati tontonan, sembari tertawa ngakak melihat dirinya atau rekan sekampungnya ada di film. Di sini, penonton pun juga ditonton, karena filmnya berasal dari, untuk, dan oleh komunitas itu sendiri. ***
Bioskop Rakyat yang Disisihkan
“Bioskop Kita” yang telah menghibur warga Purbalingga tiba-tiba tidak lagi diizinkan untuk beroperasi. Peristiwa itu bermula saat Bowo Leksono mendapat surat dari Humas Pemkab Purbalingga tertanggal 28 Juli 2006 Nomor 499/VII/IIMS/2006 perihal jawaban peminjaman Graha Adiguna.
Setelah dikonfirmasikan dengan Wakil Bupati Purbalingga Drs Heru Sudjatmoko MSi, awalnya, yang bersangkutan malah tidak tahu menahu perihal peristiwa tersebut. Menurutnya, penutupan Bioskop Kita itu bukan kebijakan kepala daerah, melainkan kebijakan dari level kabag humas. Sepengetahuannya, kebijakan itu kemungkinan karena kerirsauan kabag humas yang saat itu masih dijabat oleh Haryono. Karena kapasitas gedung tidak sepadan dengan membeludaknya warga yang ingin menonton.
Antusiasme warga saat menyaksikan pemutaran film itu memang selalu tinggi. Gedung Graha Adiguna (operation room-red) yang terletak di kompleks Pendopo Dipokusumo Purbalingga ini hanya mampu menampung 100-an orang. Jika waktu pemutaran yang satu bulan sekali itu digelar, penonton bisa memenuhi ruangan sampai ke teras gedung. Haryono juga mengatakan jika CLC telah sedikit mengomersialisasikan acara tersebut. Bowo pun menyangkalnya. Ia menyatakan, tidak pernah menjual tiket kepada penonton. “Bagaimana mungkin CLC menarik tiket untuk nonton film, ada penontonnya saja sudah alhamdulillah,” elaknya.
Namun begitu Bowo bersikeras karena gedung operation room-lah yang paling representatif dan strategis untuk dijadikan bioskop. “Gedung yang kita pakai itu kan milik rakyat, maka rakyat punya hak untuk memakainya dong,” ujar Bowo tenang.