Penggunaan IGT dalam Organisasi Masyarakat Sipil

Oleh Shita Laksmi

Sukabumi, untuk pertama kalinya di bulan Januari 2007, menjadi tempat untuk ajang internasional. Asia Source II; sebuah tempat belajar bagi lebih dari 100 pemerhati informasi, teknologi, dan komunikasi (biasa disebut: Information, Communications, and
Technology/ICT) dari 20 negara di Asia beramai-ramai ke Sukabumi untuk berbagi pengetahuan soal ICT. Agenda utama dalam kegiatan ini adalah menempatkan teknologi dalam kerja-kerja organisasi nonprofit atau dalam konteks Indonesia, organisasi nonpemerintah (ornop). Teknologi harus dipandang sebagai sebuah alat yang mempermudah kerja ornop di
semua bidang. Ditarik lebih jauh, teknologi yang digunakan juga sebaiknya berbasis “free open source software” yang biayanya lebih terjangkau daripada peranti berlisensi.

Tulisan ini tidak membahas khusus tentang kegiatan itu, tetapi secara garis besar apa yang bisa kita pelajari dari pertemuan itu.

Bagi banyak orang, atau organisasi, ICT dipandang mampu membantu menyelesaikan banyak pekerjaan. Dalam “ICT4D – Connecting People for A Better World” (2004/dalam terjemahan bebas), ICT dianggap bisa menjadi alat yang memperkuat kerja ornop dalam skala besar. Sebagian besar ornop di dunia sudah menggunakan ICT; sehingga penting bagi semua pihak untuk menerapkan ICT secara lebih strategis dalam semua level.

Ada beberapa contoh yang membuat penggunaan ICT strategis. Di Kenya, misalnya, ornop sudah menggunakannya untuk menyebarkan pesan kesehatan terkait dengan HIV/AIDS. Ribuan anak muda di Kenya misalnya menerima pesan singkat seperti, “Going out this Friday? Have a safe sex!” dari sebuah radio. Pesan ini disampaikan tidak lewat radio, tetapi lewat SMS, yang merupakan bagian dari program radio bernama “Straight Talk”. Pengiriman SMS ini dilakukan atas kerja sama Hivos dan KPN, provider telepon seluler terbesar di Belanda.

Straight Talk sendiri membahas secara terbuka topik-topik yang terkait dengan homoseksualitas, sunat perempuan, kehamilan di usia muda, dan HIV/AIDS. Para pendengar merespon baik sekali dan mengirimkan pertanyaan melalui SMS. Pertanyaan ini dijawab satu per satu oleh staf Straight Talk dan nomor telepon mereka disimpan dalam komputer. Dari data inilah, StraightTalk mengirimkan SMS-nya.

Pesan ini menjadi efektif karena menjangkau khalayak yang berpotensi HIV/AIDS. Pengirimannya pun bisa disesuaikan dengan waktu serta pesannya. Dalam contoh di atas, pesan ini dikirimkan setiap hari Jumat sore.

Contoh lain adalah penggunaan ICT dalam proses pengelolaan bencana. Ambil contoh sukarelawan di Sri Lanka yang berhasil mengembangkan sebuah program pengelolaan data yang terkait dengan tsunami yang mereka alami Desember 2004. Mereka menelurkan program berbasis open source bernama Sahana yang bisa mengoordinasi
data mengenai korban, sukarelawan, bantuan, bantuan medis, dan lain-lain. Berbasis open source berarti, semua orang bisa menggunakan tanpa harus membeli programnya dan lebih dari itu, semua orang bisa ikut mengembangkan program itu lebih baik lagi.

Sahana kemudian digunakan untuk pengelolaan bencana di Pakistan tahun 2005 saat mereka mengalami gempa dan Filipina (2006) saat mereka mengalami longsor.

Melihat strategisnya peran ICT dalam kerja ornop, terselip dua catatan penting di Asia Source II. Pertama, bahwa yang terpenting adalah peran manusia. Manusia adalah pengguna, pengembang, sekaligus penerima manfaat utama dalam penggunaan ICT. Investasi terbesar yang harus dialokasikan adalah ke manusia, bukan ke teknologinya.

Kedua, teknologi hanya sebagai alat yang melayani kepentingan organisasi. Teknologi bukanlah tujuan tetapi alat untuk mencapai tujuan.Teknologi bisa dengan mudah mengikuti ke mana arah program organisasi. Bila organisasi kita tidak punya budget yang banyak, maka penggunaan program berbasis open source b’isa menjadi pilihan tepat.

Claire Mercer dari Universitas Leicester Inggris pernah menuliskan studi kritis mengenai penggunaan ICT di Tanzania (2004). Dalam terjemahan bebas penulis, Claire Mercer menuliskan pengembangan teknologi yang telah dilakukan oleh lembaga  donor/organisasi masyarakat sipil di Tanzania ternyata tidak terlalu berbanding lurus
dengan kegiatan mereka terhadap penerima manfaat di tingkat lokal. Teknologi di Tanzania telah berhasil meletakkan beberapa ornop -terutama yang berada di kota besar—  dalam peta global dan membuka akses mereka kepada lembaga donor internasional, tetapi tidak berhasil menjembatani ornop dengan penerima manfaat atau
jaringan di tingkat lokal.

Belajar dari AsiaSource II dan studi Tanzania ini membuat kita harus lebih bijak menempatkan di mana ICT bisa berperan di organisasi kita.

1. Bekerja di HIVOS sebagai Program Officer untuk ICT/Media dan HIV/AIDS. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis.
2. Hivos International newsletter, Volume 12 No 2, July 2006.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud