Mengintip Persoalan Masyarakat Adat Sando Batu

Oleh Basri Andang

Waktu itu, tanggal 17 Juni 2006. Tanggal yang menjadi mimpi buruk bagi masyarakat Sando Batu. Dua warganya dari Desa Leppangeng, yaitu Hasa dan Dalle, harus mendekam di jeruji besi Mapolres Sidrap selama satu minggu. Hasa, sang kepala kampung, ditangkap saat sedang tertidur pulas. Ia pun digelandang ke kampung lain untuk mencari orang-orang yang menjadi target operasi polisi.  Dalle, ditangkap ketika polisi dalam perjalanan pulang setelah tidak menemukan orang buruannya. Mereka ditangkap tanpa surat dengan tuduhan telah menyerobot kawasan HTP empat  bulan silam. Tidak hanya itu, polisi pun mencabut sekitar 20 pohon cengkeh yang sudah berumur empat bulan serta beberapa rumpun padi untuk dijadikan barang bukti. Adapun lokasi yang dianggap telah diserobot seluas 7 hektar itu berada di Desa Leppangeng, Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidenreng Rappang.

Penangkapan ini  dipicu oleh konflik hutan negara (kawasan Hutan Produksi Terbatas – HPT) yang merupakan wilayah teritorial masyarakat adat Sando Batu.  Secara sepihak, pada tahun 1984-1985 pemerintah telah menetapkan bahwa sebagian dari kawasan adat mereka menjadi hutan tanaman produksi dan hutan lindung. Lalu, kawasan itu ditanami produk komersil, seperti kayu jati putih, yang telah meluas ke sebagian permukiman masyarakat Sando Batu. Tentu warga merasa hak-hak mereka  sebagai pemangku wilayah telah dirampas dan membuat mereka tidak berdaulat lagi di tanah leluhur mereka. Ruang mereka untuk mengelola hutan demi kelangsungan hidup pun semakin sempit.  Inilah persoalan yang tengah mengancam masyarakat adat Sando Batu.

Wilayah adat semakin sempit
Komunitas Sando Batu berasal dari Gunung Tamaupa yang merupakan salah satu gunung yang berada di gugusan Latimojong. Selama ini masyarakat adat Sando Batu hidup selaras dengan alam. Mereka menjaga dan melindungi hutannya yang dikeramatkan. Secara turun-temurun, mereka memakai sistem sosial-ekonomi, politik, hukum,  dan budaya berdasarkan hukum adat yang dijaga oleh struktur pemerintah adat. Keberadaan mereka juga tertera di Lontara Batu (semacam kitab/buku berisi asal usul dan kejadian penting).

Menurut penuturan para pemuka adat, wilayah adat Sando Batu cukup luas. Adapun yang berbatasan dengan Toraja ialah Kecamatan Maiwa (Kabupaten Enrekang), Desa Bila  (Kabupaten Sidenreng Rappang), Siwa (Kabupaten Wajo), dan Bastem (Kabupaten Luwu). Namun masyarakat lebih mudah mengetahui batas-batas wilayah berdasarkan patokan nama gunung yang disebut Botto.

Pada masa kolonial Belanda, sekitar tahun 1930-an, terjadi  kesepakatan antara masyarakat adat Sando Batu dengan Pemerintah Kolonial Belanda mengenai batas-batas wilayah kelola masyarakat. Isinya kurang lebih sebagai berikut:  (1) Batas wilayah kelola masyarakat ditandai patok-patok dari batu yang bersusun dan jalan selebar 1 sampai 3 meter. Masyarakat menyebut wilayah itu dengan nama Ton Toga. Batas-batas ini masih ada sampai sekarang, dan masyarakat tidak pernah keluar dari wilayah tersebut.  (2) Larangan masyarakat membuka hutan ke luar dari wilayah Ton Toga dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Meskipun demikian, masyarakat masih diberi kesempatan untuk mengambil hasil hutan seperti rotan atau damar di hutan yang berada di luar garis Ton Toga.  Kini, wilayah kelola tersebut sudah bukan lagi milik masyarakat Sando Batu, karena sejak tahun 1984/1985 dan 1997/1998  hampir semua wilayah kelola itu ditetapkan sebagai hutan lindung dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Karena itulah, mereka selalu merasa terancam diusir meninggalkan tanah leluhur yang telah mereka jaga sejak dulu.

Kearifan memelihara alam
Masyarakat Sando Batu mulai membuka hutan untuk dijadikan areal perladangan sejak abad XIII Masehi. Pembukaan lahan untuk pertama kalinya ini dilakukan oleh Nene’ Mantari bersama anak-anak dan cucu-cucunya serta anggota komunitas setempat di lokasi yang kemudian disebut sebagai Walawala. Sebelum mengenal perladangan, kehidupan mereka sepenuhnya bergantung pada hutan dengan berburu dan memanfaatkan hasil hutan di kawasan tersebut.

Mereka hidup dengan menghargai alam. Hal ini bisa dilihat dari aturan adat mengenai pemanfaatan alam, seperti aturan bahwa pohon di pinggir sungai harus dijaga, air sungai harus terjaga dari racun (termasuk Mattua’ sejenis racun ikan dari akar pohon), larangan memasuki Ke’bo Tua (hutan primer) yang diberi tanda berupa palang-palang kayu. Bila dalam keadaan darurat, hutan ini boleh dimasuki dengan syarat mendapat izin dari pemangku adat, dan larangan masuk dengan memakai pakaian berwarna kuning.

Masyarakat juga mengenal adanya kawasan hutan adat yang dibagi dua yang disebut Ongko Sando dan Ongko Arung. Kini, hutan adat yang  ditumbuhi kayu hitam ini semakin rusak akibat beroperasinya dua perusahaan kayu hitam di era Orba yaitu  PT Jaya Buana dan PT Sentosa sekitar tahun 1978 sampai 1998. Pemuka adat Ambe Sauleng alias Bandulu mengungkapkan bahwa hukum adat bersifat melindungi kawasan hutan. “Hukum kami mengajarkan agar tidak merugikan orang lain, termasuk tidak merugikan ribuan orang yang ada di bagian hilir, karena wilayah kami merupakan sumber air beberapa sungai besar yang bermuara ke Kabupaten Sidrap, Wajo, dan Luwu. Akan tetapi, kenapa hukum yang dibuat pemerintah selalu merugikan kami?” Katanya.

Persoalannya, apakah pantas mereka dikatakan perambah hutan, sementara beberapa bukti fisik menunjukkan keberadaannya sudah lama di wilayah tersebut, bahkan jauh sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia?  Bukankah kelestarian kawasan hutan primer atau Ke’bo Tua di kaki pegunungan Latimojong yang ada sekarang menjadi bukti kearifan masyarakat adat Sando Batu dalam pengelolaan sumber daya alam.

Aliansi untuk sando batu
Dalam membantu masyarakat adat Sando Batu menyelesaikan persoalan eksternal dan internalnya, beberapa organisasi nonpemerintah (ornop) di bidang lingkungan dan masyarakat adat bergabung atas nama Aliansi Pembela Masyarakat Adat Sando Batu (APMASB) yang terdiri atas AMAN Sulsel, JURnaL CELEBES, YLBHI Makassar, WALHI Sulsel, BLPM Lakpesdam, LAPAR, eSeL, LBHR, YLBHM, PeRAK Inst, ESENSI, CJI, KONTRAS Sulsel, YTMI, dan LeKAS. Organisasi inilah yang bekerja sesuai kapasitas mereka masing-masing.

Beberapa kegiatan yang telah dilakukan aliansi ini antara lain  pengumpulan data dan informasi awal, pendampingan hukum,  paralegal  dan pendidikan hukum kritis yang dilakukan oleh YLBHI Makassar, pendidikan kader dan pengoorganisasian rakyat (WALHI Sulsel), Dialog dengan kepala dinas kehutanan sidrap dan provinsi, AMAN Sulsel dibantu HuMa dan WGT melakukan musyawarah kampung, hearing di DPRD Sidrap, Pengkajian UU 41 Tahun 1999, sementara untuk semua aktivitas kampanye media, dokumentasian dan pengembangan informasi diserahkan ke JURnaL CELEBES.  Melalui perjuangan bersama ini diharapkan masyarakat adat Sando Bantu bisa memperoleh hak-hak wilayah adat dan menjaga hutan yang semakin rusak. ***
1.Asriati dalam Orang Batu di Kaki Gunung Latimojong: Sejarah dan Perkembangannya, 2004.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud