Oleh Antonius M. Indriarto
Sering kami mendengar bahwa alam nusantara ini sangatlah subur dan rakyatnya sejahtera. Petani – petani hidup makmur dan dihargai jasanya sebagai kelompok masyarakat yang menyediakan bahan pangan bagi masyarakat. Kesuburan dan kemakmuran itulah yang hendak digambarkan oleh slogan toto, titi, tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi.
Tetapi bagi kami yang hidup di Klaten, meski slogan itu membanggakan hati kami, tetapi sebetulnya tak seluruhnya keadaan tergambar seperti itu. Jika anda memakan sepiring nasi, sebenarnya butiran beras yang telah dimasak dan siap santap itu datang dari kerja keras petani yang telah bercampur baur dengan ketidakadilan yang mereka alami. Nasi dari beras beraroma wangi dan berkwalitas tinggi di meja anda sebenarnya tak se-wangi nasib saudara – saudara petani kita. Bahkan kualitas tinggi beras itu bertolak belakang dengan kualitas hak petani yang tak pernah dihargai itu. Sekian banyak masalah yang lekat pada hidup mereka berjajar dan berbagai rupa. Dibalik sebutir beras wangi itu ada keringat buruh tani yang bekerja keras namun hidup seadanya dengan upah kerja yang menjadi hidup mereka karena tanah pertanian bukan miliknya. Ia hanya menghamba pada petani kaya yang melimpah tanahnya. Ada juga yang meski punya tanah tetapi luasnya tak seberapa, itupun harus menanggung biaya produksi yang lumayan tinggi. Itu karena pupuk – pupuk yang harus mereka beli harganya terus meninggi tak mau tahu kemampuan petani. Pestisida yang konon menjadi tameng dari segala penyakit tanaman juga tak bisa selamanya mereka miliki karena untuk itupun harus beli. Belum lagi harga gabah yang naik – turunnya tak bisa mereka campuri. Ada banyak lagi masalah – masalah seperti itu yang akhirnya mendorong kami untuk berembug dan mengkomunikasikan hal – hal seperti ini dengan sesama petani – dan yang mencintai petani. Petani di wilayah Polan memang komunitas yang membimbing kami memahamai persoalan petani, tetapi mendiskusikan hal – hal seperti ini dengan komunitas non petani juga kami lakukan. Menggagas apa saja kemungkinan yang bisa kami coba untuk memunculkan kembali kekritisan petani selalu kami diskusikan dan koordinasikan dengan teman – teman lain yang menaruh perhatian serupa pad masalah petani. Salah satunya dengan teman – teman volunteer gerakan sosial yang tergabung dalam INVOLVEMENT di INSIST kami banyak membicarakan kemungkinan – kemungkinan menciptakan media pendidikan itu.
Radio komunitas, apa lagi tuh?
Berembug dengan berkumpul, berdiskusi, apalagi kegiatan yang dimirip – miripkan rapat tentu tidak bisa kami harapkan menjadi media pendidikan yang sering diadakan . Meski Guyub adalah cara hidup petani, tetapi itu tak berarti lantas setiap hari, setiap minggu, atau setiap saat petani bisa dan bersedia berkumpul meski yang dibicarakan adalah pemecahan dari masalah – masalah petani sendiri. Bukan karena tidak mau, tetapi kondisi ekonomi mendorong petani untuk lebih baik menggunakan waktu bekerja daripada berdiskusi. Masalah petani adalah masalah semua orang. Apalagi untuk pemerintah dan para politisi, keadaan petani saat ini tentu tak jauh dari sebab polah tingkah dan kebijakan mereka mengatur negeri ini. Bukan pula karena buta politik, tetapi tindakan pemerintah menjauhkan dan membatasi petani untuk membicarakan hak- hak mereka sendiri menyebabkan rembug atau diskusi rutin bukanlah media yang tepat untuk petani. Dan Itu Bukan Salah Mereka !
Karena tidak mungkin membuat diskusi rutin untuk mengkomunikasikan masalah pertanian, petani – petani membuat media cetak supaya informasi – informasi dunia petani bisa disebarluaskan di komunitas petani. Media cetak petani yang mereka kelola yaitu majalah pertanian tetapi dalam kenyataannya majalah tersebut kurang banyak diminati. Hal itu ternyata disebabkan oleh beberapa hal yang menyangkut pola hidup sehari – hari, antara lain;
- Membaca bukan kebiasaan apalagi kebudayaan petani sehari – hari, bekerja di sawah, mencari rumput untuk ternak, atau kegiatan menambah penghasilan lainnya lebih menarik bagi petani.
- Meski sekedar mengganti ongkos cetak, bagi mereka lebih berharga untuk membeli kebutuhan dapur dan keperluan lainnya. Sayang kalau untuk membeli majalah petani itu.
- sekali lagi, waktu adalah uang bagi petani. “ ono dino ono upo “ (ada hari/ waktu ada rejeki) adalah moto hidup yang hingga kini menyemangati hidup petani meski orang – orang bilang krisis ekonomi tengah melanda negeri ini. Maka, meluangkan waktu untuk membaca bukanlah pilihan yang menguntungkan meski itu adalah salah satu alat mengubah keadaan sekarang yang tidak mengenakkan petani.
Dari pengalaman tidak diminatinya media cetak kami berupaya menggali apa yang cocok untuk komunitas petani. Cocok artinya baik dari segi sederhananya petani menerima informasi, biaya yang tidak tinggi, dan yang jelas : bagaimana supaya budaya ngirit tak terganggu karena setiap informasi harus dibeli seperti ketika media cetak menjadi pilihan beberapa petani dan aktivia yang mencintai petani. Suatu saat kegelisahan kami terjawab saat menyadari media informasi yang akrab dan jelas – jelas dimiliki petani ternyata radio. Media ini telah banyak dimiliki pesawat penerimanya oleh petani, hiburan setiap harinyapun lebih banyak di dapat dari radio daripada televisi. Sederhanya, petani tak harus mengeluarkan biaya lagi dan selain informasi , radio juga menjadi hiburan bagi petani tersendiri.
Meski radio telah kami pahami menjadi media yang cocok, tetapi ada yang masih menggelisahkan kami. Selama ini lalulintas informasi radio beraneka ragam dan tak banyak yang bersinggungan dengan masalah – masalah petani. Bahkan di beberapa program dan iklannya cenderung mengabaikan petani bahkan petani sebagian besar diletakkan sebagai sasaran pasar dalam produk apapun yang celakanya justru lambat laun menghancurkan ketahanan kehidupan petani & pada kenyataannya. Keadaan inilah yang mendorong kami untuk mencoba mewujudkan gagasan baru : membuat Radio sebagai media informasi dan interaksi diantara petani dengan kemasan hiburan yang isi siarannya tentang hiburan dan informasi yang ditujukan untuk komunitas dan dikelola sendiri oleh petani.
Ada beberapa pertimbangan kenapa kami memilih media radio:
- Dari segi biaya, cukup mengupayakan pengadaan peralatannya pada awal pendiriannya. Meski sedikit mahal namun patungan (iuran bersama cukup membantu) ditambah jika ada orang di luar komunitas yang membantu. Pembiayaan berikutnya sementara ini sekedar penyediaan tape rekorder untuk merekam berita dan alat – alat tulis selama operasional.
- karena tidak ada hukumnya orang mendengarkan radio itu membayar maka disinilah kelebihan radio dari pada media cetak yang pernah di coba sebelumnya.
- Tidak memerlukan waktu khusus karena mendengarkan radio bisa sambil nyangkul, mengembala kambing, sambil masak dll.
- Petani bisa berpartisipasi aktif karena memang dalam acara-acaranya dimungkinkan untuk itu
- Sekaligus bisa menghibur petani disaat istirahat sehabis dari sawah ladangnya
- dan yang lebih penting petani memiliki alat komuikasi sendiri dalam rangka melakukan pembelaan terhadap hak – hak mereka sendiri. Mengembalikan hak petani termasuk juga hak untuk memperjuangkan dirinya sendiri.
Bulan Februari 2001, usaha mendirikan pemancar radio mulai kami rintis. Radio Suara Petani Klaten menjadi nama atau julukan yang diberikan petani. Mengudara dalam tahap-tahap awal untuk sosialisasi keberadaan radio dan mengajak yang lain untuk ikut mengelola radio ini adalah tujuan kami. Dalam siarannya kami memutar nonstop lagu-lagu yang lagi digandrungi masyarakat saat ini misalnya lagu-lagu campur sari sambil mangatakan tentang keberadaan radio dan tujuan radio tersebut. Selain itu kami juga mengundang beberapa kelompok kesenian untuk siaran langsung, dengan cara-cara itu kami coba mensosialisasikan media baru ini sekaligus untuk melihat seberapa banyak minat petani pada radio Suara Petani Klaten.
Dalam perkembangannya sampai saat ini ,keberadaan radio suara petani Klaten nampak dibutuhkan oleh pendengarnya yaitu petani. Hal ini tercermin dari aktifnya mereka memberikan masukan hingga siaran langsung baik berupa hiburan maupun untuk menyampaikan unek-uneknya. Rasa memiliki ini bahkan bisa tercermin dari peristiwa ketika keberadaan radio suara petani ini dipertanyakan keberadaannya oleh aparat Kodim dan Polsek setempat. Mereka beramai-ramai mempertahankan agar radio itu tetap berdiri dan meneruskan program siarannya. Karena merasa radio itu milik mereka, masyarakat tani tidak rela jika aparat menghentikan siaran apalagi membubarkan radio komunitas.
Perkembangan selanjutnya, beberapa program yang digagas dalam acara radio ternyata mampu mengumpulkan petani untuk membuat diskusi – diskusi seputar pertanian dan permasalahannya. Kemudian membentuk team untuk dialog dengan anggota DPRD dan pemerintah Daerah Klaten dalam rangka memberi masukan-masukan dalam menyusun Perda dalam bidang pertanian yang menurut mereka perlu direalisir sebagai instrumen pelindung petani secara hukum. Disamping hasil – hasil yang dapat dinilai menampakkan kemauan politik petani menggugat hilangnya hak – hak mereka, radio ini juga menumbuhkan usaha-usaha dibidang pertanian karena dalam siarannya radio ini juga banyak mesosialisasikan teknologi-teknologi alternatif yang sederhana misalnya cara membuat pupuk organik, cara-cara membuat pestisida nabati dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang ada di sekitarnya.
Untuk jangka panjang kedepan, sangat mungkin banyak lagi akan terbentuk kelompok-kelompok yang lain dalam rangka meningkatkan kekuatan daya tawar petani terhadap pihak-pihak yang selama ini membuat petani hanya dijadikan obyek kepentingan mereka. Dalam rangka mencukupi biaya operasional dan menjaga agar radio ini tetap bisa hidup tanpa menggantungkan kepada pihak lain, radio ini berinisiatif untuk berjualan kartu pendengar,dari penjualan kartu tersebut diharapkan bisa menyokong untuk mencukupi kebutuhannya dan kartu pendengar ini dianggap penting karena dari kartu tersebut sebetulnya bisa diukur sampai ditingkat mana kepedulian mereka karena dengan membeli kartu pendengar ini pemesan bisa menulis pun yang mereka kehendaki disamping ada kewajiban radio untuk memutarkan lagu pesanannya.
Dari apa – apa yang telah mampu dicapai setelah radio itu berdiri, untuk sementara kami merasa cukup lega karena media ini cukup mensupport kegiatan pengorganisasian petani demi mencapai terbentuknya organisasi tani yang kritis dan mampu memperjuangkan perubahan nasibnya. Nanti kami tetap berupaya agar radio ini tak hanya sekedar radio : media informasi yang tak ada bedanya dengan radio biasa lainnya. Meski pengelolanya, programnya, dan komunikasi antara pengelola radio dan pendengarnya menjadi pembeda antara radio komunitas petani dan radio biasa lainnya namun itu saja tentu tidak cukup. Tekad kami tak sekedar mengudarakan persoalan petani namun menindaklanjuti apa yang cukup di informasikan dan di pahami petani dalam program – program pendidikan dengan media radio tersebut. Ibarat slogan RRI : sekali di udara, lima kali, sepuluh kali, atau lebih banyak lagi aktivitas di lapangan!! Lebih bnayak di sawah, lebih banyak di kampung – kampung, dan leboh banyak menghasilkan aksi nyata. Kami berupaya menghindari radio sebagai media terlalu larut sebagai media. Yang lebih penting adalah mewujudkan dengan aksi nyata apa yang telah dikomunikasikan, di dialog kan di udara.
Pentingnya media komunitas dalam hal ini siaran radio yang dikelola benar – benar oleh komunitas di Indonesia bagi kami hal yang baru. Meskipun bagi beberapa orang siaran radio yang dikelola komunitas ini dianggap suatu hal yang menakutkan, misalnya masih adanya tarik ulur di sahkannya RUU kepenyiaran yang disalah satu poin nya adanya peraturan yang mengatur penggunaan frekwensi oleh masyarakat. Belum lagi hasil pantauan aparat keamanan yang cenderung menyimpulkan bahwa radio ini menyebarluaskan masalah – masalah yang menyulut konflik. Sekiranya mungkin, suatu saat ada baiknya keberadaan radio komunitas ini di anggap Legal, di Formalkan, dan diakui secara sah sebagai media komunikasi rakyat pada umumnya. Kalau ORARI, HT, dan bentuk perkumpulan masyarakat melalui media komunikasi lainnya bisa diakui legal dan sah menurut hukum, MENGAPA RADIO KOMUNITAS TIDAK !!!
Di era demokratisasi ini kami beranggapan adalah HAK RAKYAT untuk memiliki media informasi dan komunikasi, -misalnya siaran radio- yang dikelola oleh suatu komunitas masyarakat yang dalam model pengelolaanya dan penyusunan materi acaranya disesuaikan dengan kebutuhan komunitas pengelolanya. Menjadi kebutuhan mendesak juga karena keberadaan siaran radio komunitas dalam berbagai aspek pengelolaanya mampu mengundang partisipasi luas dari seluruh anggota komunitasnya, partisipasi luas ini, langsung atau tidak langsung akan memperbesar tingkat kontrol komunitas terhadap proses produksi dan distribusi informasi yang dikelolanya. Hal lain yang sangat melekat dengan adanya siaran radio komunitas adalah tujuan demokratisasi komunikasi dan informasi, didasarkan atas tujuan tersebut pengembangan radio komunitas harus berorentasi pada kepentingan komunitas-komunitas yang termarjinalkan selama ini, contohnya petani, buruh, nelayan, pengrajin kecil,dll.
Dari pengalaman bersama dengan petani di kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, dalam mengelola sebuah siaran radio komunitas petani, radio rupanya menjadi media yang baik untuk mendukung kegiatan pengorganisasian. Mudah – mudahan radio tidak sekedar media, tanpa tindak lanjut. Seperti semangat kami bersama : SEKALI DI UDARA, LEBIH BANYAK DI LAPANGAN UNTUK MEMPERJUANGKAN PERUBAHAN KE ARAH KEADILAN SOSIAL!!!
Delanggu, 29 Agustus 2001