Sore itu wajah Sukiman selaku pegiat Radio Komunitas Lintas Merapi, terlihat sumringah, ia baru saja menerima surat elektronik (e-mail) dari sejumlah orang warga negara Indonesia di Jepang yang menyatakan kesediaannya ikut menyumbang kegiatan tanam pohon di Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten.Beberapa waktu sebelumnya ia mem-posting tulisan tentang rencana kegiatan penanaman pohon sebagai upaya penyelamatan sumber air di lereng Gunung Merapi dalam situs http://merapi.combine.or.id sebagai media komunikasi dan informasi tentang Gunung Merapi. Media itu, awalnya, digagas sebagai media sharing informasi antarberbagai radio komunitas yang tergabung dalam Jalin Merapi yakni KFM di Dukun, Magelang; MMC FM di Selo, Boyolali; dan Lintas Merapi FM di Deles, Kemalang, Klaten. Belakangan, tidak hanya ketiga radio tersebut yang mengakses website, namun juga termasuk tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri.
Gagasan sederhana radio komunitas Lintas Merapi tersebut mendapatkan respons yang cukup dari para pembaca website dan juga komunitasnya yang lantas menyumbangkan bibit, uang, atau tenaga.
Menurut Mart Widiarto, fasilitator pendamping Jalin Merapi dari Combine Resource Institution (CRI), mengatakan, bahwa Radio Komunitas Lintas Merapi juga melibatkan warga komunitasnya dalam kegiatan penghijauan tersebut. Di mana, setiap keluarga di sepanjang jalan yang ditanami pohon cemara pecut berkewajiban untuk merawat pohon itu.
Jurnalisme warga
Apa yang dilakukan oleh Radio Komunitas Lintas Merapi itu merupakan geliat baru dalam dunia jurnalistik. Di tengah dominasi media massa mainstream, belakangan muncul jurnalisme warga (citizen jurnalism), yakni warga bisa menjadi pewarta yang mencari, mengolah, dan menyebarkan segala informasi. Jurnalisme warga menempatkan warga tidak hanya menjadi objek atau konsumen media mainstream semata, ia juga menjadi produsen informasi. Mereka menangkap realitas sosial di masyarakat dan mengungkapkannya melalui berbagai media tanpa tendensi, tanpa perlu mempraktikkan kaidah jurnalisme yang universal. Bisa jadi, secara teknis, hasil tulisan pewarta warga tidak sebagus jurnalis media mainstream, namun kontennya mampu mengungkap realitas yang sesungguhnya.
Dalam berbagai situs yang dikelola oleh Combine Resource Institution (CRI) Yogyakarta, mayoritas pewarta yang memberikan kontribusi tulisan adalah radio-radio komunitas. Ada empat website sebagai media penyebaran informasi bagi para pewarta warga itu. Selain Jalin Merapi, juga ada Ajang Pusat Informasi Komunitas (APIK) yang beralamat di http://apik.combine.or.id, Saluran Informasi Komunitas di http://siar.or.id, dan http://suarakomunitas.combine.or.id. Khusus situs terakhir, kontributornya tidak hanya radio komunitas, namun bisa juga dari warga yang belum/tidak memiliki radio komunitas.
Dalam situs suara komunitas misalnya, ada berita tentang TKW (Tenaga Kerja Wanita) asal Cilacap yang disiksa oleh majikan di Malaysia; “…Juli tahun lalu, Radisem meninggalkan tanah air dengan perasaan bangga. Ia akan menjadi TKW di Malaysia dan nantinya bisa membawa pulang Ringgit dalam jumlah banyak. Namun, bukan Ringgit yang didulang, malah nasib buruk yang diterima. Beberapa hari yang lalu Radisem pulang dalam kondisi mengenaskan…” (http://suarakomunitas.combine.or.id)
Tulisan yang dibuat oleh relawan pewarta warga dari Cilacap itu menunjukkan keberpihakan pewarta warga pada kondisi realitas masyarakat yang acap kali kurang mendapat tempat di media mainstream.
Sistem informasi
Setiap orang memiliki informasi dan pengetahuan yang tanpa disadari sebenarnya bisa bermanfaat bagi orang lain. Sayangnya, kesadaran orang untuk mau berbagi informasi, termasuk mengelola informasi dengan ketersediaan informasi yang dimiliki tidak berjalan beriring. Sumber pengetahuan dan informasi yang bertebaran di tengah komunitas (warga) belum saling terbagi.
Untuk itulah, menurut Mart Widiarto, ide besar dari sistem informasi sebenarnya adalah mendorong kesadaran setiap orang untuk berbagi informasi. Situs atau website hanyalah alat dan media berbagi informasi antarsatu komunitas dengan komunitas yang lain. Ia menambahkan, jika informasi saling terbagi dengan terbuka diharapkan akan meningkatkan pengetahuan dan kapasitas warga itu sendiri.
Dalam kesempatan lain, Yossy Suparyo, staf Knowledge Management di CRI, menambahkan, tulisan para pewarta warga biasanya lebih mudah dipahami karena orisinal dan jauh dari istilah-istilah ilmiah yang menyusahkan dibandingkan dengan tulisan para aktivis LSM atau jurnalis media mainstream pada umumnya. Dalam sistem berbagi informasi yang dikelola CRI melalui situs/website di atas, setiap pewarta warga akan melakukan reportase atau penggalian informasi di sekitar komunitasnya. Selanjutnya, mereka akan melakukan analisa dan merangkai informasi yang diterima menjadi sebuah tulisan, semampu mereka. Teknis penulisannya bisa jadi tidak sebagus para jurnalis pada umumnya, latar belakang pendidikan dan pekerjaan mereka bisa jadi memengaruhi teknik penulisan yang mereka kuasai. Sebagian besar dari mereka memang berlatar belakang pendidikan setingkat SMP dan SMA serta berprofesi sebagai petani.
Setelah tulisan disusun, mereka bisa langsung meng-upload pada situs masing-masing atau mengirimkannya pada editor yang telah ditunjuk untuk selanjutnya juga akan di-upload pada website masing-masing jaringan. Begitu seterusnya sistem itu dibuat sebagai wadah bagi pewarta warga.
Namun demikian, proses yang tengah dibangun ternyata juga menghadapi berbagai persoalan. Penggunaan situs atau website sebagai media informasi menuntut ketersediaan akses internet dan teknologi informasi yang sampai saat ini masih cukup mahal di Indonesia. Tidak semua komunitas dan pewarta warga dapat melakukan akses internet dengan mudah dan murah, khususnya di pedesaan dan kawasan terpencil. Persoalan lain adalah ketersediaan relawan pewarta yang mau dan mampu berbagi informasi. Hal itu bisa dilihat dari content situs yang tidak update atau tenggang waktu perubahan isi situs yang terlalu lama. Juga soal angle (sudut pandang) penulisan.
Menurut Ketut Sutawijaya, faslitator pengembangan media komunitas di CRI, kadang angle pemberitaan atau tulisan yang dibuat kontributor/pewarta warga kurang tajam, tulisan pewarta kurang mencerminkan ideologi perjuangan warga itu sendiri. Misalnya, kalau menulis tentang BBM seharusnya tulisan dari pewarta mencerminkan kepentingan dan perjuangan dari warga untuk menentang kenaikan BBM, bukan meng-iya-kan kenaikan BBM.
Yossy suparyo menambahkan, pewarta warga biasanya terbawa pada jargon dan istilah yang dibuat oleh media mainstream. Misalnya penulisan kalimat, “…penertiban pedagang kaki lima…”, semestinya, pewarta warga berani menuliskannya dengan kalimat yang berbeda, misalnya “…pengusiran pedagang kaki lima.”
Namun demikian, keduanya sependapat bahwa kemauan warga untuk berbagi informasi saja sudah cukup bagus. Tentang konten dan penguatan angle tulisan membutuhkan proses berlatih yang panjang dengan cara terus menulis tentang komunitasnya.
Berbagi informasi untuk perubahan
Dalam sebuah wawancara dengan aktivis radio komunitas dari Jaringan Tani Mandiri (JTM FM) di Andong, Boyolali, Muhdi, yang hanya lululusan SMP, menuturkan, ia pernah melakukan wawancara dengan semua kepala desa di wilayah Kecamatan Andong tentang kondisi jalan yang rusak. Selanjutnya, hasil reportasenya dibuat dalam bentuk berita audio untuk disiarkan melalui radio komunitas. Imbasnya, warga tersadar bahwa mereka berhak untuk meminta (baca menuntut, red) pada pemerintah daerah akan fasilitas umum yang layak dan memadai. Entah karena tuntutan itu atau tidak, sekarang, kondisi jalan raya di Andong telah beraspal mulus dan nyaman.
Sistem informasi yang dibangun juga mendorong pewarta warga mampu memberikan kontribusi pada komunitas melalui tulisannya. Misalnya, memromosikan potensi yang dimiliki komunitasnya, sebagaimana ditulis oleh pewarta dari radio komunitas di Wonosobo, Jawa Tengah berikut; “…Anda ingin melepaskan kepenatan di akhir pekan? Puncak Dempes jawabannya, yang berada di Kecamatan Kaliwiro, Wonosobo. Di sana, setiap pengunjung akan dimanjakan dengan keindahan hutan pinus dan areal perbukitan yang terhampar sepanjang mata memandang. Udaranya juga sangat sejuk dan sangat alami. Keindahan Dempes semakin terasa ketika senja tiba. Menikmati keindahan Dempes bersama orang-orang terdekat akan mempererat keharmonisan hidup Anda. Aura romantisme pun bisa Anda rasakan.” (http://suarakomunitas.combine.or.id)
Pewarta yang menulis berita tersebut sedang berupaya memromosikan potensi wisata yang ada di komunitasnya. Harapannya tentu akan mengundang wisatawan untuk berkunjung ke sana dan akan berimbas pada peningkatan ekonomi warga yang secara tidak langsung menerima manfaat dari kunjungan wisatawan ke wilayah tersebut.
Kehadiran pewarta warga dewasa ini menjadi sebuah keniscayaan. Tentu, bukan untuk melawan hegemoni media mainstream yang memiliki modal besar. Karena ibarat semut dan gajah, maka semut adalah kelompok citizen journalism dan gajah adalah kelompok media mainstream. Namun bukan tidak mungkin, melalui sistem informasi berbasis komunitas itulah justru perubahan akan lahir. ***