Perubahan baru tengah terjadi. Detak perubahan ini sedikit unik, ia tidak dipelopori oleh politisi, para tokoh besar, maupun gemuruh mahasiswa turun ke jalan. Perubahan datang melalui jutaan klik di layar-layar komputer yang saling terkoneksi. Prita Mulyasari yang lemah mampu melawan goliat Rumah Sakit Omni Internasional. Para cicak berani lawan buaya dalam gerakan pemberantasan korupsi. Benarkan kenyataan-kenyataan itu menandai gerakan sosial baru, gerakan sosial dijital (digital social movement).
Di awal 2000, diskursus kemunculan gerakan sosial dijital mulai menjadi tema kajian dalam diskusi-diskusi secara luas. Tiga dekade sebelumnya, futurolog Alvin Tofler telah menabuh genderang munculnya kekuatan informasi lewat bukunya, Future Shock, yang diterbitkan pada 1970. Pada 1997, Jorn Barger, seorang programer website memunculkan istilah blog atau weblog yang diambil dari kata “logging the web”. Kemunculan teknologi ini turut melahirkan generasi web 2.0 dan situs jejaring sosial yang memungkinkan interaksi dua arah di dunia internet.
Kemajuan teknologi web 2.0 membuat jumlah pengguna internet meningkat tajam, termasuk di Indonesia. Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) melaporkan pada 1998 jumlah pengguna internet mencapai 512.000 pengguna. Angka itu meningkat tajam pada 2001 mencapai 4.200.000, pada 2006 mencapai 16 juta, pada 2009 telah mencapai 30 juta pengguna, dan jumlah itu terus bertambah pada 2010 seiring dengan kehadiran pelbagai perangkat seperti komputer jinjing, modem portable, dan telepon genggam.
Kehadiran teknologi internet berdampak pada pergeseran strategi gerakan sosial. Sebelumnya kerja kampanye dan advokasi mengandalkan pengorganisasian masyarakat dan media massa arus utama, kini mereka memanfaatkan internet sebagai dukungan kerja kampanye dan avokasi. Pada kasus Prita lawan RS OMNI, gerakan pengguna internet bersatu dengan gerakan pengumpulan koin secara masif oleh masyarakat. Internet sebagai mesin dan alat telah manusia dengan manusia sehingga manusia dapat memperluas kemampuannya dalam interaksi di dunia ini.
Ada pepatah, saat manusia menemukan lensa, maka dia memperhebat kemampuan mata. Ketika telepon ditemukan, dia memperhebat kemampuan telinga, ketika muncul web 2.0, dia memperluas seluruh inderanya demi obsesi komunikasi. Kini, web 2.0 dan situs jejaring sosial ini mampu menjadi trend senter gaya hidup masyarakat, tak terkecuali untuk menggalang kekuatan masa. Pandangan ini dikuatkan oleh peristiwa dukung-mendukung antarpengguna (blogger, facebooker), seperti satu juta dukungan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dukungan untuk Prita Mulyasari.
Mungkinkah pemanfaatan teknologi dunia maya mampu melahirkan perubahan di dunia nyata? Dunia internet, khususnya situs jejaring sosial, memang memungkinkan penggunanya bebas atau berhak mengungkapkan apa yang dia pikir dan dia rasa. Jenis penggunanya pun sangat beragam, mulai dari kalangan siswa, mahasiswa, ekonom, politik, bahkan pembantu rumah tangga. Pendapat dan keluh kesah mereka bisa diakses oleh jutaan orang pengguna lainnya dalam waktu singkat. Namun, sebagian besar pengguna internet cenderung memanfaatkan media itu sekadar untuk curhat, diary online, mencari teman, dan hal-hal lain yang berhubungan untuk kepentingan pribadi.
Keberhasilan gerakan berbasis jejaring sosial hanya sebatas menghimpun jumlah KLIK, tapi gagal melahirkan gerakan perlawanan, baik struktural maupun kultural. Selain itu, pengguna internet di Indonesia tak lebih dari penikmat atau konsumen dari perkembangan teknologi dan informasi. Pekerjaan rumah pegiat teknologi informasi ke depan adalah menyelaraskan pembangunan opini dan kampanye di dunia maya dengan gerakan sosial yang mampu memobilisasi massa di lapangan. Sekadar berbagi cerita, pada zaman Orde Baru, banyak orang yang tidak suka dengan kepemimpinan Soeharto, tapi gerakan reformasi bukan lahir dari jajak pendapat.
Apakah kasus Prita lawan RS OMNI dan cicak lawan buaya merupakan penanda gerakan sosial dijital muncul di Indonesia? Belum tentu, perubahan sosial selalu ditandai dengan berubahnya suatu relasi kekuasaan. Pada kasus Prita tidak ada perubahan relasi kuasa apapun. Pertama, pasal karet pencemaran nama baik di Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang digunakan untuk memenjarakan Prita Mulyasari masih kokoh berdiri. Bahkan, UU ITE ini pula kemudian dijadikan dasar bagi Menteri Komunikasi dan Informasi untuk melakukan pemblokiran akses konten di internet dengan isu pornografi. Kedua, persoalan komersialisasi kesehatan yang menjadi inti dari kasus Prita Mulyasari tetap melenggang. Tidak ada usaha untuk menghentikan komersialisasi kesehatan dan liberalisasi sektor jasa jalan terus.
Sayang kebijakan pemanfaatan teknologi dan informasi di Indonesia membawa dosa bawaan. Dalam diskusi di COMBINE Resource Institution, Yanuar Nugroho, staf pengajar di Manchester Institute of Innovation Research (MIOIR) dan Pusat Informatika Pembangunan Universitas Manchester, Inggris berpendapat perkara teknologi informasi bukan sekadar soal keterampilan teknis, melainkan kepekaan terhadap praktik-praktik kekuasaan yang memiliki konsekuensi sosial (11/10/2010). Menurutnya, ada dua area dalam kebijakan teknologi informasi yang perlu dibenahi, pertama adalah teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana (medium), serta kedua adalah isi informasi (message).
Pembenahan pada area pertama adalah membebaskan pita 2.4 GHz. Para pegiat Telematika dan TI di Indonesia tahu persis alasan tidak dibebaskannya pita 2.4 GHz lebih berkait pada aspek finansial dari perizinan dibanding faktor strategis (pertahanan) seperti yang didengung-dengungkan. Padahal bila pemerintah membebaskan pita ini akan membawa manfaat ketimbang mudarat karena mendorong inisiatif masyarakat yang lebih luas.
Area kedua adalah kampanye untuk mendorong masyarakat memanfaatkan teknologi informasi. Kuncinya ada pada penggunaan piranti lunak sumber terbuka (open source) ketimbang piranti lunak berbayar (propertary). Piranti lunak sumber terbuka disebarluaskan secara gratisan, kita tak perlu menghamburkan uang untuk membeli lisensi sebab yang akan mengeruk laba adalah Microsoft. Pemerintah sebaiknya mendorong rakyatnya menggunakan piranti lunak sumber terbuka dibanding membuat aturan untuk menjerat pembajak piranti lunak dengan sanksi yang bak macan ompong.
Kasus Prita, cicak lawan buaya, dan pendapat Yanuar Nugroho mengajak pengguna internet untuk kritis terhadap relasi kekuasaan yang maujud dalam tata aturan perundang-undangan. Pegiat internet jangan cukup puas dengan politik bunyi-bunyian tapi terus didorong untuk mengubah tata struktur yang tidak adil. Lalu, genderang gerakan sosial dijital segera ditabuh!
Yossy Suparyo, Pekerja Manajemen Pengetahuan COMBINE Resource Institution
i vote for ur posted………