Oleh Biduk & Rohman
Kerusakan alat dan terbatasnya dana sering membuat radio komunitas (rakom) menghentikan siarannya untuk sementara waktu. Kasus ini pula yang tengah dialami Radio Pamor (107.9 FM) salah satu rakom di Yogyakarta yang terletak di Desa Tirtomulyo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Radio Pamor yang berdiri sejak tahun 1995 kini kondisinya tengah memprihatinkan.
Pemancar radio yang setiap hari diandalkan oleh warga sekitar sebagai ‘corong’ untuk mewadahi aktifitas seni dan budayanya itu, sekarang dalam keadaan rusak berat. Keterbatasan dana menjadi sebab utama sehingga pemancar tua itu masih tergeletak rusak, belum bisa diperbaiki. Walhasil hampir tujuh bulan radio Pamor berhenti bersiaran. ”Pemancar milik kami memang sudah cukup tua, jadi memang wajar jika sudah aus. Apalagi biaya servis pemancar itu mahal. Kami pernah itung-itungan biayanya bisa mencapai Rp 1,4 juta. Lha uang segitu dapat dari mana?” ujar Suyud, pengelola Radio Pamor.
Selama ini, biaya operasional Radio Pamor ditanggung bersama oleh seluruh anggota yang sekaligus juga terlibat sebagai penyiar. Anggota Radio Pamor yang berjumlah tujuh orang itu hanya melaksanakan iuran secara bantingan. Untuk pemasukan harian, mereka memperolehnya dari penjulan kartu request pembaca seharga Rp 200 perlembar. Selain itu, Radio Pamor juga menerima pemasangan iklan dari warga sekitar yang dibacakan sampai lima kali dalam sehari melalui radio. Iklan yang biasanya mereka terima bisa bermacam-macam jenisnya. Ada pengiklan yang mengumumkan pembukaan warung atau toko baru, layanan jasa dan jenis usaha lainnya.
Namun sayangnya, pendapatan dari iklan yang mereka terima masih relatif minim. Bahkan, lanjutnya, ada juga pengiklan yang membayar biaya pembacaan iklan dengan makanan. Misalnya, jika kebetulan pengiklan membuka usaha warung bakso, mereka harus rela dibayar dengan semangkuk bakso. Sama halnya dengan pengiklan yang mempunyai usaha warung sate kambing. ”Kalau ada pengiklan yang membayar dengan uang, rata-rata mereka hanya ngasih antara Rp 10.000 sampai Rp 20.000. Itupun habis untuk bayar pajak listrik dan menyediakan minum bagi pengisi acara live yang jumlahnya kadang bisa mencapai 30 orang,’ imbuhnya.
Tentu dengan rusaknya alat, selain terhentinya siaran, rencana-rencana Radio Pamor ke depan pun tersendat. ”Sebenarnya kami sudah menjalin kerja sama dengan Dinas Pendidikan dan kepala sekolah-kepala sekolah se-Kabupaten Bantul untuk mengisi beberapa program acara. Yakni live show murid-murid TK dan dialog tentang berbagai macam hal yang menyangkut soal pendidikan di Bantul,” papar Suyud. Sayangnya, acara yang sudah cukup matang digagas itu harus ditunda pelaksanaannya karena kerusakan pemancar yang mereka anggap paling krusial untuk segera diperbaiki.
***
Hal yang sama juga dialami oleh Radio Swara Menoreh (RSM), di Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sejak tahun 2001 mengudara di frekuensi 93.35 FM. “Komputer kami jarang bermasalah, juga alat siarnya. Tapi yang paling sering rusak malah antena pemancarnya. Itu pun gara-gara tersambar petir,” keluh Lephen Purwarahardja, perintis dan pengelola RSM. Terhitung sampai akhir tahun 2004 saja sudah lima kali petir menyambar antena pemancar rakom yang terletak lebih kurang 600 meter dari atas permukaan laut di punggung jajaran pegunungan Menoreh. Alhasil, siaran pun terhenti dan para pendengar terpaksa gigit jari. Terhentinya siaran bisa terhitung minggu atau bahkan berbulan-bulan tergantung waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan.
Bagaimana ya, soalnya setiap kali tersambar petir kami harus mengeluarkan biaya perbaikan ratusan ribu rupiah. Cukup banyak juga kalau harus kami tanggung sendiri,” lanjut Lephen. Padahal selama ini sumber keuangan utama untuk biaya operasional pengelolaan radio hanya diperoleh dari iuran para pengelola. “Ada memang sumber-sumber lain, namun tidak bisa kami dapatkan secara rutin. Misalnya sumbangan dari para perantau yang berasal dari Kecamatan Samigaluh. Kami mengirim semacam proposal pada mereka untuk meminta dukungan dana, dan ya memang dapat lumayan.”tambah Lephen. Pada saat musim panen, yang kerap kali juga sama artinya dengan musim acara pernikahan, RSM sering mendapat order untuk menyiarkan acara pernikahan termasuk hiburan-hiburan yang menyertai, seperti wayang kulit atau ketoprak. Dari aktifitas seperti itu, awak RSM terkadang menerima uang lelah yang kemudian dikelola untuk mendukung kegiatan operasional. “Biasanya sekitar seratus lima puluh ribu rupiah,” sebut Lephen.
Dari saat kerusakan akibat sambaran petir akhir tahun lalu, sampai saat ini RSM masih belum mengudara. “Kami belum punya dana untuk membuat antena yang lebih aman dari sambaran petir. Ada seorang teknisi yang mau membantu untuk membuatkan antena semacam itu, tapi biayanya sekitar 5 juta rupiah. Katanya sih ditanggung aman,” ujar Lephen. Lantas, kenapa tidak mengumpulkan dana dari komunitas? “Para pengelola berkeputusan tidak mau membebani masyarakat dulu, karena sebagian besar di sini adalah petani lahan tadah hujan, jadi hasilnya nggak tentu” jawab Lephen.
Menurut Lephen, selain kendala kerusakan antena dan seretnya dana operasional, pengelola RSM juga menghadapi kendala untuk melayani beberapa daerah yang sebetulnya berada di dalam jangkauan siar mereka. Penyebab utamanya adalah topografi kawasan yang berbukit-bukit memunculkan blank spot di beberapa tempat. “Ironisnya, ada bagian dari desa Purwa yang masuk blank spot, padahal lokasi studio RSM ada di desa itu,” lanjutnya. “Kondisi ini yang akan di evaluasi dan dibenahi dalam bulan-bulan mendatang. Sembari mengusahakan uang untuk perbaikan antena, kami juga akan mencari solusi untuk masalah lain biar bisa segera siaran lagi,” harapnya. Ya, biar para pendengar tidak terlalu lama gigit jari.