Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah panduan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan. Sayang, warga sulit mengakses berkas ini meskipun Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik telah dinyatakan berlaku. Pemerintah memberikan alasan-alasan yang tidak rasional untuk menolak permintaan informasi dari warga, misalnya “kami menunggu persetujuan atasan”, “pimpinan sedang rapat sehingga surat Anda belum diproses”, “surat sudah dibaca pimpinan, tapi kami menunggu persejutuan dari Sekda”, dan lain-lain.
Kurangnya akses warga pada berkas-berkas APBD, baik perencanaan maupun pelaksanaan, membuat mereka sulit mengontrol penyelewengan alokasi dan penganggaran. Akibatnya, ketimpangan dan ketidakadilan dalam perencanaan dan penyebaran anggaran acapkali terjadi. Lahirlah APBD tidak menganggarkan program pengentasan warga dari kemiskinan atau program itu justru memiskinkan warga secara sistemik.
Warga bisa berperan serta dalam perencanaan APBD melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten. Namun, hingga kini belum ada aturan baku yang menjamin hasil-hasil musyawarah perencanaan wajib diakomodasi menjadi Rencana APBD (RAPBD). Selain berperan serta, warga masih harus mengawal hasil-hasil Musrenbang hingga Panitia Anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Panggar DPRD). Warga pun harus terkejut karena berkas yang sampai di Panggar DPRD jauh berbeda dengan hasil-hasil Musrenbang.
Kondisi di atas menunjukkan proses pembangunan yang melibatkan warga hanya sekadar prosedural belaka. Praktik itu bisa menyebabkan frustasi sosial yang berujung pada apatisme warga terhadap proses-proses pembangunan. Warga akan bersikap acuh tak acuh terhadap program pemerintah karena usulan dan suara mereka tidak muncul dalam berkas APBD. Hemat penulis, omong kosong pemerintah berjanji mengentaskan warga dari kemiskinan apabila jumlah anggaran bagi pertanian selalu lebih kecil dbanding snack rapat pejabat.
Gerakan Advokasi Anggaran
Bagaimana menyusun gerakan warga yang mampu memengaruhi anggaran yang berpihak pada warga miskin? Awalnya, kita harus menetapkan kata-kata kunci yang akan diperjuangkan, misalnya jaminan pelayanan kesehatan bagi si miskin, hak memperoleh pendidikan bagi setiap warga, hak memperoleh kehidupan yang layak, hak warga untuk terlibat dalam pembangunan, dan kedaulatan ada di tangan rakyat. Lalu, turunkan kata-kata kunci tersebut secara lebih rinci dengan dukungan fakta-fakta di lapangan, misalnya adakah anak-anak usia sekolah yang tidak bisa mengakses pendidikan? Selidiki penyebab mereka tidak bisa bersekolah? Adakah program pemerintah yang bertujuan untuk mengatasi kondisi itu? Berapa biayanya? Biaya itu dialokasikan untuk belanja apa?
Warga memang harus terlibat dalam penyusunan anggaran, tapi mereka juga harus belajar untuk mampu membaca dan menganalisis anggaran. Analisis anggaran merupakan metode untuk mengetahui kecenderungan dan grafik perubahan yang terjadi dalam proses penganggaran. Hasil analisis anggaran dapat menjadi salah satu pangkalan data pengembangan gerakan advokasi anggaran bagi si miskin.
Kampanye melalui media massa dan media komunitas juga harus dilakukan untuk menyebarluaskan pemahaman advokasi anggaran, khususnya pendidikan melek anggaran pada warga-warga lainnya. Target kampanye adalah meningkatkan dukungan warga atas jaminan keterlibatan mereka dalam proses perencanaan dan penentuan APBD. Kegiatan ini bisa menambah pelaku-pelaku gerakan advokasi sehingga daya tawar warga meningkat. Pada akhirnya, gerakan advokasi anggaran mampu menekan pemerintah dan wakil rakyat untuk menetapkan kebijakan baru yang menjamin keterlibatan warga dalam anggaran secara permanen.
Yossy Suparyo, Pekerja Manajemen Pengetahuan