Mediasi hingga sengketa informasi dilakukan demi mendapatkan informasi publik. Data yang didapat menjadi bekal bagi warga sipil dalam memperjuangkan hak-haknya.
Keterbukaan informasi publik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2008, bertujuan mendorong partisipasi publik dalam memenuhi hak-haknya sebagai warga sipil. Dengan demikian, hak atas informasi publik berkait erat dengan kerja-kerja pemenuhan hak-hak sosial dasar warga sipil. Hal inilah yang mendasari warga dalam mengupayakan informasi publik.
Tak jarang, upaya warga untuk memperoleh informasi memakan waktu yang panjang. Dalam kasus-kasus lain, sengketa informasi cukup diselesaikan dalam proses mediasi. Terlepas dari proses yang harus dilalui, warga memanfaatkan informasi yang berhasil diakses untuk berbagai keperluan dalam mengadvokasi pemenuhan hak-hak sipilnya.
Informasi sebagai penyokong advokasi
Pentingnya pemanfaatan data untuk kerja-kerja advokasi dikisahkan Elanto Wijoyo, salah seorang penggiat gerakan Warga Berdaya. Sebagai sebuah wadah kolektif bagi gerakan masyarakat sipil di Yogyakarta, Warga Berdaya juga memanfaatkan berbagai informasi untuk kerja-kerja advokasi. Keterbukaan informasi publik pun turut mendorong kualitas dalam rumusan kerja-kerja advokasi. “Untuk melakukan advokasi kita membutuhkan informasi terkait situasi terakhir. Informasi itu sebagian besar dipegang oleh lembaga negara,” jelas Elanto, (7/7).
Menurut Elanto, posisi informasi dalam kerja-kerja advokasi berjalan dua arah. “Warga yang melakukan advokasi membutuhkan informasi dari negara. Entah itu tentang regulasi ataupun situasi terakhir yang mendorong mereka untuk melakukan advokasi. Sebaliknya, masyarakat nantinya juga akan mengolah informasi sehingga akan tercipta informasi lanjutan yang menjadi rumusan atau agenda dari isu-isu apa saja yang membutuhkan advokasi,” terangnya.
Elanto mencontohkan salah satu pengalamannya dalam memanfaatkan informasi untuk kerja-kerja advokasi. Sejak 2013, maraknya pembangunan hotel menjadi persoalan tersendiri di Yogyakarta. “Kita tahu ada situasi proses pemberian izin dan pembangunan hotel yang disinyalir sudah melebihi daya dukung lingkungan di wilayah Yogyakarta.”
Selanjutnya, untuk bisa merumuskan agenda advokasi, diperlukan data-data soal perizinan, jumlah sebaran, serta proses dari setiap prakarsa pembangunan hotel. “Sehingga kita bisa mengambil keputusan terkait kasus mana yang menjadi prioritas,” jelasnya.
Proses panjang mengupayakan informasi
Perjuangan mengakses informasi untuk kerja-kerja advokasi juga dilakukan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim. Demi mendapatkan informasi seputar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Jatam bahkan harus melalui proses yang rumit dan memakan waktu bertahun-tahun.
Jatam merupakan jaringan organisasi non pemerintah (ornop) dan organisasi komunitas yang mengadvokasi masyarakat korban di banyak daerah di Indonesia yang dirusak oleh kegiatan pertambangan dan migas. Pengajuan informasi seputar izin pertambangan dan informasi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang disampaikan Jatam sejak 2013 berjalan berlarut-larut. Pihak Badan Lingkungan Hidup (BLH) KabupatenKukar selaku pihak yang digugat untuk membuka dokumen Amdal dan IUP terus menyatakan penolakan. Sengketa informasi yang diajukan Jatam Kaltim pun berjalan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Setelah melalui serangkaian proses panjang di pengadilan, akhirnya, 30 Agustus 2016, Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Kukar mengirimkan surat pemberitahuan untuk penyerahan dokumen IUP kepada Jatam Kaltim. Setelah keputusan Komisi Informasi (KI) Provinsi Kaltim keluar pun, Jatam Kaltim masih harus melalui proses selama 2 tahun untuk mendapatkan data secara keseluruhan. Pasalnya, data Amdal tersebut diserahkan secara bertahap. “Ngasihnya dicicil setiap hari rabu hampir 2 tahun,” jelas Kahar Al Bahri, aktivis Jatam Kaltim, saat diwawancarai, Senin, (8/5).
Keberhasilan dalam mengakses data Amdal dan IUP membuka jalan untuk melakukan berbagai kerja advokasi. “UU Keterbukaan Informasi Publik ini sangat membantu. Kalau tidak ada, mungkin kami masih berada di sisi gelap (informasi) industri tambang,” urai Kahar.
Dari data Izin Usaha Pertambangan (IUP), Jatam Kaltim menemukan berbagai kejanggalan. Di antaranya 1.271 izin pertambangan skala KP (Kuasa Pertambangan) di Provinsi Kaltim dan 33 izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Izin tersebut dikeluarkan dalam kurun waktu 2003 hingga 2009.
Jatam Kaltim tidak menyia-nyiakan peluang advokasi. Dari hasil analisis atas informasi terkait IUP di Kota Samarinda, kerja-kerja advokasi segera digencarkan. Jatam Kaltim menemukan indikasi korupsi yang dilakukan mantan Walikota Samarinda dan mantan Kepala Dinas Pertambangan Kota Samarinda dalam proses pemberian IUP. Pada 2013, Jatam Kaltim lantas melaporkan temuan-temuan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Sementara itu di Kabupaten Kukar pada tahun yang sama, Jatam Kaltim mencatat bahwa pada periode 2006 hingga 2010, Bupati Kukar dan pejabat di bawahnya telah menerbitkan 42 izin tambang dan 5 jalan hauling(jalan pertambangan) di kawasan konservasi. Jatam Kaltim lantas melaporkan mantan Bupati Kukar. Pelaporan tersebut terkait dugaan korupsi dalam proses perizinan pertambangan di kawasan konservasi.
Tidak hanya dalam kerja-kerja advokasi lewat jalur hukum, Jatam Kaltim juga memanfaatkan data yang berhasil diakses untuk kampanye isu. Pasalnya, dari data tersebut, Jatam Kaltim dapat memetakan nama-nama pejabat pemerintah yang menjadi aktor dalam penerbitan izin tambang. Jatam Kaltim pun menggunakan data tersebut untuk melakukan public shaming (membuka nama pelaku di depan publik). “Sekarang kami berani sebut nama, siapa-siapa saja yang menandatangani izin, siapa yang memberikan izin, kami buka ke publik,” ungkap Kahar.
Meskipun demikian, pengawasan dari Komisi Informasi terhadap lembaga publik yang menyembunyikan informasi publik masih sangat diperlukan. Sanksi bagi lembaga publik yang tidak menyediakan dan mengumumkan informasi publik pun belum ditegakkan. “Yang harus diperjelas adalah sanksi yang harus ditegakkan ketika sebuah institusi pemerintah dengan sengaja menyembunyikan informasi publik,” pungkasnya.
Baca juga:
2 thoughts on “Bekal Informasi untuk Advokasi”