Oleh Dina Listiorini Subiyakto
Salam kebebasan mengudara!
Apa yang bisa ditarik dari pengalaman mengikuti Konferensi AMARC 9 di Yordania 11-17 November lalu? Mungkin tidak sekadar merekam peristiwa demi peristiwa dengan kamera digital. Atau bertukar kartu nama dan berdiskusi dengan teman-teman dari negara lain saat makan siang. Semua orang bisa saja melakukan itu semua. Tapi yang terpenting, menurut saya, adalah apa yang bisa dibagikan dan didiskusikan dengan teman-teman pengelola radio komunitas di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Yang jelas, ada tiga hal menarik yang saya cermati saat menghadiri acara tersebut.
Pertama, saat acara pembukaan terdapat forum panel dengan para pembicara dari Timur Tengah antara lain dari Afghanistan, Yordania, dan Iraq. Salah satu pembicaraan yang mengedepan pada forum tersebut adalah mempertanyakan bentuk dan sistem komunikasi seperti apa yang tepat untuk diterapkan di negara-negara Timur Tengah. Apakah mengacu pada pembelajaran dari negara-negara Barat dengan ”freedom of the press”-nya yang mengagungkan kebebasan informasi; ataukah diperlukan kebijakan lokal dalam mengelola sistem dan bentuk komunikasi mereka sendiri. Hal ini perlu dilakukan karena menurut mereka negara-negara Timur Tengah memiliki kekhasan tersendiri yang komunikasi rakomnya dengan melibatkan partisipasi petani secara optimal? Perlukah teman-teman rakom di Yogya mengelola rakom dengan mengacu pada pengelolaan radio swasta seperti adanya seleksi untuk para penyiar dengan kriteria ”suara harus empuk dan tidak cempreng” Apakah teman-teman rakom di Nusa Tenggara Timur ”harus memiliki radio” untuk menyukseskan program PPK dari Bank Dunia, padahal tradisi komunikasi lisan lebih mengedepan? Haruskah kearifan lokal tersebut dikurangi dan bahkan secara perlahan ditiadakan dengan mengatasnamakan ”hak publik untuk mendapatkan informasi dan terhindar dari kebodohan”? Nyaris sama dengan pertanyaan salah satu peserta dari Afrika, yaitu adakah keharusan media di Timur Tengah mengadopsi ”kebebasan” dalam hal pemberitaan dengan mengacu pada CNN sebagai patron, saya juga sempat bertanya-tanya, perlukah radio-radio komunitas di Indonesia berjaringan dengan Radio 68H? Tentunya pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan hal ”menentukan sikap” ini dapat menjadi diskusi yang panjang dan mungkin melelahkan mengingat situasi sosial politik yang memayungi rakom di Indonesia tidak cukup kondusif untuk mendukung gerakan rakom menjadi lebih progresif. Hal menarik kedua adalah saat saya bertemu dengan seorang pekerja rakom yang diduga tidak bisa semata-mata diletakkan ke dalam salah satu dari dua dikotomi: Barat atau Timur. Diskusi ini menjadi menarik karena ada kesadaran dari negara-negara di Timur Tengah untuk menentukan sikap. Penentuan sudut pandang yang akan digunakan tentu akan memengaruhi proses pengelolaan media (dalam hal ini radio komunitas) di negara mereka. Berbagai pertanyaan diajukan terutama dari peserta yang berasal dari Asia Tengah dan Afrika. Pertanyaan terbanyak terkait dengan bagaimana proses ’penentuan sikap’ ini akan dilakukan, siapa saja yang dilibatkan termasuk perlukah melibatkan organisasi donor yang cukup berpengaruh dan dampaknya pada hasil akhir dari proses tersebut. Pertanyaan yang cukup menarik datang dari Mavic Cabrera Balezza, Presiden Woman International Network yang mempertanyakan apakah perempuan akan disertakan dalam proses tersebut dan bagaimana caranya, mengingat kedudukan perempuan di Timur Tengah dianggap ”agak tersisihkan”.
Yang perlu dipelajari dalam forum pembukaan ini adalah: apakah teman-teman rakom juga sudah memiliki sikap atau menentukan sikap terkait dengan sejarah dan keberadaan rakom di Indonesia saat ini? Apakah teman-teman rakom berbasis petani di Jawa Barat sudah mampu secara arif mengelola sistem komunikasi rakomnya dengan elibatkan partisipasi petani secara optimal? Perlukah teman-teman rakom di Yogya mengelola rakom dengan mengacu pada pengelolaan radio swasta seperti adanya seleksi untuk parapenyiar dengan kriteria “suara harus empuk dan tidak cempreng”. Apakah teman-teman rakom di Nusa Tenggara Timur “harus memiliki radio” untuk menyukseskan program PPK dari Bank Dunia, padahal tradisi komunikasi lisan lebih mengedepan? Haruskah kearifan lokal tersebut dikurangi dan bahkan secara perlahan ditiadakan dengan mengatasnamakan “hak publik untuk mendapatkan informasi dan terhindar dari kebodohan”? Nyaris sama dengan pertanyaan salah satu peserta dari Afrika, yaitu adakah keharusan media di Timur Tengah mengadopsi “Kebebasan” dalam hal pemberitaan dengan mengacu pada CNN sebagai patron, saya juga sempat bertanya-tanya, perlukan radio-radio komunitas Indonesia berjaringan dengan Radio 68H? Tentunya pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan hal “menentukan sikap” ini dapat menjadi diskusi yang panjang dan mungkin melelahkan mengingat situasi sosial politik yang memayungi rakom di Indonesia tidak cukup kondusif untuk mendukung gerakan rakom menjadi lebihprogresif.
Hal menarik kedua adalah saat saya bertemu dengan seorang pekerja yang diduga menjadi peserta tertua di konferensi ini. Beliau seorang perempuan bertubuh kurus berusia 72 tahun. Meski tangannya kerap bergetar saat memegang handycam, semangat Margaret D’ Arcy, demikian nama perempuan itu, tak pernah surut. Ia selalu hadir dalam setiap panel diskusi. Suaranya lantang bak pejuang Irlandia, saat menyerukan keberatannya mengenai keterlibatan organisasi donor dalam proses kegiatan radio komunitas.
Margaret mendirikan sebuah radio komunitas bernama “Radio Pirates Woman” yang bertempat di rumah pribadinya. Radio tersebut menurutnya murni untuk memfasilitasi seluruh persoalan yang terjadi di sekitar neighborhoodnya (lingkungan tempat tinggalnya). Radio tersebut diprioritaskan bagi perempuan. Setiap perempuan dipersilahkan mengisi acara, membuat program, dan berbicara atas nama mereka. Sehingga menurut Margaret, ”Tidak ada program khusus yang dibuat secara reguler di radio ini. Semua orang dapat berbicara apa saja, terutama apabila mereka diperlakukan tidak adil.”
Di samping memberikan wadah bagi siapa pun untuk menyatakan pendapatnya lewat radio, penguatan juga bisa dilakukan melalui program pertukaran budaya antarradio komunitas di berbagai negara. Gagasan ini disambut baik oleh teman dari KBOO, radio di Portland, Oregon dan Radio Soshanguve di Afrika. Kami sedang mencoba mempersiapkan pertukaran program budaya dengan dua bahasa untuk diputar di masing-masing radio. Hal ini tentu saja bisa diikuti oleh teman-teman pengelola rakom di Tanah Air. Bisa saja musik degung Sunda akan terdengar di Oregon, Canada, atau di belahan dunia lain. Saya membayangkan bahwa setiap komunitas dunia bisa mempelajari budaya dunia lain melalui program ini.
Hal menarik ketiga adalah saat mengikuti workshop yang membicarakan masalah hukum terkait lisensi rakom. Para pembicara antara lain Wilna dari Ghana, Aleida, Enrico, dan Gustavo Gomez dari Amerika Latin. Diskusi ini topiknya memang menarik dan para partisipan (para pembicara dan peserta) seolah merasa bangga saat memperkenalkan status rakomnya yang ilegal dan belum mendapat izin frekuensi dan siaran. Akan tetapi keilegalan tersebut diimbangi dengan kerja-kerja pemberdayaan yang jelas. Seperti melawan suatu rezim, melawan peraturan yang mengekang rakom, memberikan kebebasan pada perempuan untuk bersuara. Bahkan di salah satu negara, pemerintah akhirnya memberikan lisensi karena perjuangan dari radio komunitas yang bersangkutan. Yang juga membuat saya berdecak takjub, karena di Brazil dan Peru, radio komunitas bersiaran dengan daya 5.000-10.000 watt. Wah, wah, wah, berapa kali lipatnya bila dibandingkan ketentuan daya maksimal yang harus ditaati oleh radio-radio komunitas di Indonesia? Wilna, salah satu pembicara tidak sepakat dengan besarnya daya radio di negara-negara Amerika Latin tersebut. Menurut Wilna, tetap harus ada pembatasan daya. Tidak ada jaminan bahwa semakin besar daya pemancar, semakin tinggi tingkat partisipasi komunitas dalam mengelola radio. Besarnya daya ini dijelaskan para pembicara Amerika Latin bahwa hal tersebut dilakukan mengingat luasnya wilayah negara-negara Amerika Latin yang banyak didominasi hutan-hutan tropis. Namun para partisipan juga tidak kalah tercengangnya ketika saya bercerita bahwa hanya tersedia dua kanal untuk sekitar lebih dari 600 radio komunitas di seluruh Indonesia!
Konferensi telah usai, namun masih ada pekerjaan rumah yang akan dibicarakan pada AMARC 10 yang rencananya akan diadakan di salah satu negara Amerika Latin pada 2010. Saya berharap JRKI melakukan persiapan bagi para anggotanya untuk mengikutsertakan beberapa teman pekerja rakom dalam konferensi mendatang. Persiapannya bisa beragam, seperti persiapan bahasa, pembuatan program-program pemberdayaan pada masyarakat sebagai bahan diskusi, dan hal-hal lain yang tentunya harus dibicarakan bersama. ***
Penulis: Dina Listiorini Subiyakto adalah Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Atmajaya