Bergiat Merakyat ala Kotagede; Langkah Kanthil Melestarikan Kawasan Cagar Budaya

Selama ini praktek pariwisata sering kali hanya menguntungkan pihak-pihak di luar masyarakat lokal yang berdiam di sekitar situs tujuan pariwisata tersebut. Lalu apa yang terjadi jika warga local menjadi pemandu wisata untuk memperkenalkan daerahnya sendiri? Inilah yang dilakukan warga Kotagede, Yogyakarta. Bersama mereka, kita bisa menelusuri tempat-tempat unik yang tidak akan ada dalam brosur perjalanan dinas pariwisata.

Lorong-lorong sempit bak labirin di antara dinding rumah-rumah tradisional bisa dijelajahi tanpa tersesat. Melihat para perajin perak bekerja di bengkel kerja di rumah masing-masing hingga masuk showroom tokotoko perak besar juga tak dilewatkan. Tak lupa menengok situs-situs berusia ratusan tahun dan makam kerajaan berikut kesempatan mengobrol bebas dengan para abdi dalem dan juru kuncinya. Pengalaman istimewa ini bisa terjadi jika kita didampingi oleh beberapa warga setempat yang menjadi pegiat pelestarian pusaka (heritage) kawasan Kotagede dalam wadah lembaga Yayasan Kanthil (Karso Anteping Tekad Hangudi Ilmu Luhur – Niat disertai tekad yang mantab untuk mengunduh ilmu luhur). Tidak banyak orang yang tahu apa saja yang dimiliki kawasan yang berkembang sejak akhir tahun 1500-an ini. “Biasanya orang luar Kotagede, para wisatawan, hanya tahu bahwa di Kotagede ada perajin perak dan situs makam kerajaan. Padahal Kotagede memiliki banyak potensi lain yang bisa dilihat dan dialami oleh para pengunjung,” ujar M. Natsier, pegiat Yayasan Kanthil.

Kotagede, yang terletak sekitar enam kilometer arah tenggara Kota Yogyakarta, adalah kawasan permukiman kuno tempat pertama didirikannya kompleks istana kerajaan Dinasti Mataram Islam oleh Panembahan Senapati. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, awal 1600-an, pusat pemerintahannya dipindahkan ke Kartasura. Sejak saat itu Kotagede tidak lagi menjadi ibukota kerajaan yang menjadi cikal bakal Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta di kemudian hari itu. Namun, Kotagede tidak lantas mati. Sifat kekotaannya terus terpelihara. Profesi-profesi yang bersifat non-agraris, seperti kerajinan, pertukangan, dan perdagangan yang dulu menjadi bagian dari kehidupan istana terus menjadi profesiprofesi bebas yang berjasa mengembangkan kawasan tersebut hingga saat ini.

Begitu sayang dengan banyaknya potensi yang dimiliki kawasan tua, tetapi dinamis ini, maka Yayasan Kanthil pun tergerak untuk melakukan upaya memperkenalkan Kotagede kepada masyarakat luas secara lebih intensif. Strategi andalan yang sering dilakukan oleh lembaga lokal ini adalah rambling through Kotagede alias tlusap-tlusup Kotagede, menjelajahi isi dan seluk-beluk Kotagede.

Lembaga akar rumput
Jangan dibayangkan Yayasan Kanthil ini sama persis seperti lembaga-lembaga swadaya masyarakat biasa. Lembaga ini didirikan oleh sekelompok warga Kotagede sendiri pada tanggal 31 Desember 1999. Sembilan orang dari berbagai macam latar belakang menyatukan tekad untuk membentuk sebuah lembaga yang bisa menjadi resepsionis bagi kawasan tempat tinggal mereka itu. Sebagai sebuah lembaga berbadan hukum, Yayasan Kanthil juga punya alamat kantor, yaitu di Kudusan 76A Kotagede. Pengurus Kanthil notabene adalah pendirinya juga. Program kegiatan lembaga ini pun dibuat mengalir saja tanpa menghilangkan bobot kualitasnya. Selain program rambling di atas, lembaga ini juga menginisiasi terselenggaranya Festival Kotagede yang diadakan setiap tahun sejak tahun 1999. Dalam program-program besar seperti itu biasanya para pegiat Kanthil akan merekrut para pemuda warga Kotagede untuk membantu kepanitiaan.

Metode dan cara pendekatan yang dilakukan kepada masyarakat pun tampak memiliki karakter sendiri. Pegiat Kanthil tidak terbiasa mengumpulkan warga secara khusus untuk menerima presentasi program-program lembaga. Pegiatnya justru langsung masuk ke masyarakat, dengan mendatangi kelompokkelompok perajin atau kelompok kesenian ketika Kanthil akan menggelar event tertentu. Kadang mereka masuk ke pertemuanpertemuan warga. Begitu cair memang karena pegiat yayasan itu adalah warga lokal sendiri, saudara, atau tetangga mereka yang biasa mereka temui sehari-hari.

Oase ide yang tak pernah kering

Menurut para pegiat Kanthil, terutama M. Natsier, ada banyak banyak cara untuk memperkenalkan potensi kawasan cagar budaya Kotagede dengan tujuan pelestarian. Tak puas hanya dengan menggelar kegiatan rambling yang biasanya hanya digelar jika ada yang datang berkunjung atau ada event khusus, mereka mencoba banyak cara lainnya. Dengan cukup jeli, warga Kotagede ini kemudian melirik televisi yang jelas memiliki daya publisitas yang sangat tinggi.

Selain liputan-liputan untuk program feature budaya atau sejarah yang telah banyak dilakukan oleh beberapa stasiun televisi, Kanthil pun membuka tawaran berbeda. Pada tahun 2002, beberapa lokasi di Kotagede menjadi tempat ajang Uji Nyali program “Dunia Lain” produksi Trans TV yang sempat digandrungi banyak orang. Rumah kanthil (rumah tua milik keturunan juragan batik), beberapa makam, dan kawasan Karangduren di Kotagede menjadi area uji nyali. Serial tindakan tersebut sempat dicerca banyak kalangan karena dianggap memasyarakatkan takhayul, terlebih bagi kalangan Muhammadiyah yang menjadi mayoritas warga di Kotagede. Namun, ternyata M.Natsier mewakili Kanthil memiliki penjelasan tersendiri. Mereka melakukan itu sebenarnya justru demi upaya pelestarian pusaka arsitektur Kotagede.

Tak puas dengan itu, Yayasan Kanthil menggelar pameran foto yang melibatkan masyarakat. Mereka akan mencoba bekerja sama dengan setiap Rukun Warga (RW) untuk mengumpulkan foto-foto koleksi warganya yang siap dipamerkan. Jadi, setiap RW nantinya akan memamerkan foto-foto warganya yang juga karya mereka sendiri. Bagi Natsier, pameran dengan konsep tersebut bertujuan untuk memperlihatkan Kotagede dari perspektif yang lain, yaitu perspektif lokal.

Eksplorasi media ala Kanthil ntuk memediasikan potensi wilayahnya, Yayasan Kanthil tidak hanya mengandalkan media pihak luar. Mereka pun berinisiatif memroduksi media sendiri. Awalnya mereka menerbitkan buletin cetak yanghanya pernah terbit satu kali. Lalu Kanthil pun bertahan dengan memakai sebuah situs internet yang mereka buat secara mandiri di http://www.geocities.com/kotagedeonline. Pada saat ini, Kanthil sedang mengembangkan sebuah situs internet lebih baik yang dikembangkan oleh salah satu pemuda Kotagede. Situs internet tersebut sudah bisa diakses, tetapi belum banyak terisi informasi (bisa dilihat di www.otagedeklasik.com).

Untuk kepentingan informasi bagi masyarakat wam di Kotagede, M. Natsier memprakarsai ersiapan penerbitan buletin cetak. Ia sedang oba mengumpulkan siapa pun warga Kotagede ang ingin menulis tentang Kotagede tanpa ecuali. Ia berharap buletin tersebut akan enjadi informasi aktual dan kontekstual bagi arga Kotagede. Natsier dan kawan-kawan ukup serius mempersiapkan semua media ersebut karena mereka yakin bahwa hal itu kan membantu gerak langkah mereka dalam ergiat memperkenalkan dan melestarikan otensi pusaka budaya kawasan yang separuh asuk ke Kodya Yogyakarta dan separuh asuk Kecamatan Banguntapan, Bantul itu. erutama pascagempa yang melanda setengah ahun lalu, masyarakat yang peduli pelestarian di Kotagede memerlukan sumber informasi komunitas yang akurat. Warga Kotagede saat ini sedang terdesak oleh kebutuhan biaya hidup. Sementara, banyak pemburu barang antik yang selalu memaksa warga menjual joglo atau bagian-bagian rumah tradisionalnya yang sudah berusia ratusan tahun itu. Joglo berusia sekitar 150 tahun yang biasanya bisa terjual dengan mendekati 100 juta rupiah saat ini bisa ditawar oleh mereka hingga kisaran harga di bawah 20-10 juta rupiah. Informasi-informasi terkini kondisi seperti itu harus bisa diketahui oleh warga Kotagede.

Elanto Wijoyono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud