Bernafas dari Iklan Lokal, Bersaing di Acara Hajatan

Oleh Biduk Rokhmani

Di Sragen, terdapat lebih dari 300 radio yang setiap hari mengudara dan memperebutkan frekuensi. Dari ke-300 radio itu hampir 90 persennya merupakan radio ilegal, meskipun ada sekitar 40 di antaranya yang saat ini tengah berproses menjadi radio komunitas.

Tidak terlalu jelas kapan pastinya kali pertama radio-radio ilegal itu mengudara. Dari beberapa keterangan yang saya peroleh, maraknya kemunculan radio ilegal di wilayah Sragen itu, awalnya, karena adanya permintaan dari orang-orang yang punya hajat yang ingin acaranya dapat disiarkan ke seluruh penjuru desa. Ah ya, tentu saja, akan ada kebanggaan tersendiri bagi si empunya hajat jika acara hajatannya dikenal luas seluruh penduduk kampung, walaupun masih dengan sarana yang cukup sederhana, yakni menggunakan sound system yang diputar keras-keras.

Maka, lantas, marak orang membuka usaha penyewaan sound system guna mengakomodasi kebutuhan orang-orang yang menyelenggarakan hajatan. Karena para pengelola penyewaan sound system itu butuh diakui keberadaannya, maka mereka pun perlu “mengumumkan” eksistensi usaha yang mereka geluti supaya tetap dikenal dan tidak mudah dilupakan orang. Dari sanalah, para pengusaha penyewaan sound system itu mulai mengutak-atik frekuensi radio dan mengudara, sekadar bereksistensi agar usahanya tetap dikenal orang. Tentu saja, frekuensi yang ditempati pun asal-asalan. Maksudnya, asal ada frekuensi kosong maka di sanalah mereka mengudara. Acara yang diampu pun juga seadanya, sekadar memutar lagu-lagu, minim berita atau informasi.

Hal itu, tentu akan terjadi persaingan yang tidak sehat, gencet-menggencet gelombang dan saling memperebutkan frekuensi. “Mereka, para pengusaha penyewaan sound system itu, tidak berani turun alias tidak bersiaran sehari pun, soalnya mereka takut kalau tidak mengudara bakalan ditempati orang lain. Jadi, setiap hari, ada tanggapan atau tidak mereka tetap saja mengudara karena takut frekuensinya dipakai orang lain,” terang Hariyanto, pengelola Radio Radiks FM yang terletak di Kompleks Wisma Talang Asri, Desa Kedawung, Kecamatan Kedawung, Sragen, salah satu radio ilegal yang kini tengah berproses menjadi radio komunitas.

Hingga saat ini, menurut Hariyanto, telah ada sekitar 300-an radio yang “menjajah” gelombang frekuensi di wilayah Sragen. “Di setiap desa, ada lebih dari satu radio ilegal yang mengudara, bisa ada dua hingga lima radio di satu desa, dan di masing-masing desa ada radio seperti itu,” ujar Hariyanto, yang lebih dikenal dengan nama udara Wahyu ketika bersiaran.

Bayangkan saja, dengan jumlah desa dan kelurahan sekitar 208  di Sragen, jika masing-masing desa atau kelurahan terdapat dua saja radio semacam itu, bagaimana dengan penyediaan gelombang frekuensi yang terbatas itu?

Menjadi radio komunitas
Kondisi itu ternyata menimbulkan kegelisahan pada diri beberapa pengelola radio ilegal. Lantas, beberapa bulan lalu, beberapa orang di antaranya berkumpul dan bersepakat mengubah radio yang dulunya ilegal menjadi radio komunitas yang secara regulasi lebih aman dalam beroperasi.

“Dulu, kami juga beroperasi seperti mereka (radio-radio ilegal, red) dan mengandalkan acara hajatan untuk bisa hidup. Namun, sekarang, setelah tahu tentang radio komunitas dan ketentuan-ketentuannya, kami tengah berusaha mengarah ke sana. Kami mulai membatasi menerima menyiarkan acara hajatan, tapi lebih mengakomodasi usaha-usaha lokal yang dikelola warga di sekitar studio radio. Juga, menambah siaran berita, selain hiburan tetap menempati persentase utama,” jelas Didik Prihantoro, pengelola sekaligus pemilik Karimaya FM.

Saat ini, Karimaya yang terletak di Perum Puro Asri A2 No 8, Karangmalang, Sragen itu tengah berproses melakukan merger dengan Radio Fresh FM. Didik bersama Andi Susan Setiawan, pengelola Fresh FM, berpikir merger adalah solusi terbaik bagi mereka karena secara geografis kedua radio itu terletak pada radius yang relatif berdekatan. Realisasi merger itu dapat dilihat dari perubahan nama kedua radio itu menjadi Radio Zora FM yang berarti ‘zona informasi dan budaya’. Para penyiar lama dari kedua radio pun bersiaran secara bergantian di Zora FM.

Lain Zora, lain pula dengan Radio Mewah FM yang studionya berada di rumah Suroto Warsito di Sumengto RT 01 RW XII, Karangtengah. Suroto yang mengelola radio “Mepet Sawah” bersama istrinya, Sutarni itu mendirikannya sejak Oktober 2005. “Awalnya, karena kami hanya tinggal berdua di rumah maka kami membuat radio sederhana ini untuk mengisi sepi. Lama-kelamaan banyak tetangga yang ternyata jadi pendengar setia, jadilah kami bertahan mengelolanya sampai sekarang,” kata Sutarni, yang juga bekerja sebagai staf di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sragen itu.

Iklan lokal
Ketatnya persaingan dalam bereksistensi antara radio ilegal dan “radio komunitas” menjadikan radio-radio yang tengah berproses menjadi radio komunitas itu mulai gencar melakukan aksi “merapat” kepada komunitasnya. Pendekatan pun dilakukan pada para pelaku dan pemilik usaha-usaha kecil yang bertebaran di seputar studio radio berada, bukan sebagai objek usaha melainkan diposisikan menjadi mitra, yakni dengan cara menginformasikan usaha-usaha yang mereka geluti melalui iklan di radio.

“Sebenarnya, kami tidak pernah menawarkan kepada mereka untuk beriklan di Radiks, tapi justru mereka yang datang sendiri kepada kami, minta dibuatkan iklan. Bahkan materi dan pengisi suaranya mereka juga menyerahkan pada kami. Sekarang ini, iklan yang ditayangkan di Radiks berupa usaha kecil yang dikelola warga di sekitar sini, ada usaha bengkel las, warung mie ayam, juga toko kelontong, dan lain-lain,” ungkap Hariyanto.

Saat ini, sudah ada 10 pengiklan yang memasang iklan mereka di radio yang berdiri pada 21 Mei 2005 itu. Sebagai imbalan atas jasanya, para pengelola Radiks FM menentukan tarif Rp 50 ribu sebagai ganti rekaman (produksi awal). Lantas, setiap bulannya, para pengiklan juga dikenai iuran Rp 50 ribu dengan kompensasi iklan akan ditayangkan di Radiks FM 8-10 kali setiap hari.

Pendapatan iklan itu, menurut Hariyanto, dimanfaatkan guna membiayai operasional radio, seperti pajak listrik. Juga, ada honor cuma-cuma untuk para penyiar yang berjumlah sekitar 10 orang, per orang rata-rata menerima Rp 50 ribu sebagai ganti uang transport.

Hal yang sama juga terjadi di Radio Mewah FM dan Zora FM. Itulah salah satu trik yang bisa digarap oleh para pengelola radio yang―kecuali Radiks―rata-rata masih memakai peralatan yang relatif cukup sederhana itu agar tetap bisa bertahan hidup. Ya, mereka memang belum sepenuhnya menerapkan aturan-aturan yang ditentukan untuk radio komunitas, tapi toh mereka tengah berusaha menuju ke sana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud