Buku merupakan media untuk mendapatkan wawasan, pengetahuan, informasi, dan hiburan. Selain itu, buku dapat menjadi media terapi atau penyembuhan bagi penderita gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, trauma, dan stres.
Pemanfaatan buku sebagai media terapi disebut biblioterapi. Jachna (2005:1) mengatakan biblioterapi adalah dukungan psikoterapi melalui bahan bacaan untuk membantu seseorang yang mengalami permasalahan personal. Metode terapi ini sangat dianjurkan, terutama bagi para penderita yang sulit mengungkapkan permasalahannya secara verbal.
Biblioterapi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Di atas gedung Perpustakaan Thebes terdapat patung yang melukiskan orang yang tengah bosan dan dibawahnya ada manuskrip berbunyi tempat penyembuhan jiwa (the healing place of the soul). Ide pemanfaatan bahan bacaan sebagai media terapi pada zaman itu tak dapat dilepaskan dari Plato. Menurutnya, orang dewasa sebaiknya menyeleksi cerita dan kisah yang diperdengarkan pada anak-anak mereka sebab hal itu dapat menjadi model cara berpikir dan budi pekerti anak di masa-masa selanjutnya.
Biblioterapi berasal dari kata biblion dan therapeia. Biblion berarti buku atau bahan bacaan, sementara therapeia artinya penyembuhaan. Jadi, biblioterapi dapat dimaknai sebagai upaya penyembuhan lewat buku. Bahan bacaan berfungsi untuk mengalihkan orientasi dan memberikan pandangan-pandangan yang positif sehingga menggugah kesadaran penderita untuk bangkit menata hidupnya.
Secara medis, pemikiran Plato diteruskan oleh Rush dan Galt pada 1815-1853. Lewat percobaan-percobaan medis, keduanya berkesimpulan bahan bacaan dapat dipadukan dengan proses konseling, terutama untuk menciptakan hubungan yang hangat, mengeksplorasi gaya hidup, dan menyarankan wawasan mendalam (insight). Para dokter di Inggris membangun kerjasama dengan para pustakawan untuk pengembangan model terapi ini.
Perkembangan biblioterapi berjalan pesat setelah Perang Dunia I. Rumah sakit mendirikan perpustakaan untuk mengembalikan kondisi psikis para tentara yang cacat akibat perang. American Library Association (ALA) melaporkan metode ini telah membantu 3.981 tentara untuk menerima kondisi yang dialaminya.
Tingkat Intervensi Biblioterapi
Lewat membaca seseorang bisa mengenali dirinya. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan membaca menjadi masukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi seseorang. Saat membaca, pembaca menginterpretasi jalan pikiran penulis, menerjemahkan simbol dan huruf ke dalam kata dan kalimat yang memiliki makna tertentu, seperti rasa haru dan simpati. Perasaan ini dapat “membersihkan diri” dan mendorong sesorang untuk berperilaku lebih positif.
Menurut Novitawati (2001) intervensi biblioterapi dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional. Pertama, pada tingkat intelektual individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat memecahkan masalah, membantu pengertian diri, serta mendapatkan wawasan intelektual. Selanjutnya, individu dapat menyadari ada banyak pilihan dalam menangai masalah.
Kedua, di tingkat sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosialnya. Ia dapat melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain. Teknik ini dapat menguatkan pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling memiliki.
Ketiga, tingkat perilaku individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut, malu, dan bersalah. Lewat membaca, individu didorong untuk diskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar.
Keempat, pada tingkat emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan mengembangkan kesadaran menyangkut wawasan emosional. Teknik ini dapat menyediakan solusi-solusi terbaik dari rujukan masalah sejenis yang telah dialami orang lain sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk memecahkan masalahnya.
Memilih Bahan Bacaan
Bahan bacaan dapat berupa buku, artikel, puisi, dan majalah. Pemilihan bahan bacaan tergantung pada tujuan dan tingkat intervensi yang diinginkan. Secara garis besar, bahan bacaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu didaktif dan imajinatif.
Bahan bacaan didaktif memfasilitasi suatu perubahan dalam individu melalui pemahaman diri yang lebih bersifat kognitif, Pustakanya bersifat instruksional dan emndidik, seperti buku ajar, buku petunjuk (how to). materi-materinya adalah bagaiamana suaru perilaku baru harus dibentuk atau dihilangkan, bagaimana mengatasi masalah, relaksasi, dan meditasi.
Bahan bacaan imajinatif atau kreatif merujuk pada presentasu perilaku manusia dengan cara yang dramatis. Kategori ini meliputi novel, cerita pendek, puisi, dan sandiwara. Tujuannya adalah memperstukan hubungan antara kepribadian seseorang dengan penghayatan atas pengalaman orang lain. Dalam proses penghayatan pembaca secara simultan terlibat sekaligus terpisah dari cerita.
Lima Tahap Biblioterapi
Oslen (2006) menyarankan lima tahap penerapan biblioterapi, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Pertama, awali dengan motivasi. Terapis dapat memberikan kegiatan pendahuluan, seperti permainan atau bermain peran, yang dapat memotivasi peserta untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan terapi.
Kedua, berikan waktu yang cukup. Terapis mengajak peserta untuk membaca bahan-bahan bacaan yang telah disiapkan hingga selesai. Yakinkan, terapis telah akrab dengan bahan-bahan bacaan yang disediakan.
Ketiga, Lakukan inkubasi. Terapis memberikan waktu pada peserta untuk merenungkan materi yang baru saja mereka baca.
Keempat, tindak lanjut. Sebaiknya tindak lanjut dilakukan dengan metode diskusi. Lewat diskusi peserta mendapatkan ruang untuk saling bertukar pandangan sehingga memunculkan gagasan baru. Lalu, terapis membantu peserta untuk merealisasikan pengetahuan itu dalam hidupnya.
Kelima, evaluasi. Sebaiknya evaluasi dilakukan secara mandiri oleh peserta. Hal ini memancing peserta untuk memperoleh kesimpulan yang tuntas dan memahami arti pengalaman yang dialami.
Selain itu, informasi medis dari pasien kepada dokternya dapat membantu dokter memantau perkembangan kesehatan pasiennya.