Bosan Jadi Korban Pemberdayaan

Kecewa pada banyak program pemberdayaan, warga di beberapa kelurahan waspada terhadap program Jaringan Informasi Berbasis Komunitas (Combine). Mereka curiga jangan-jangan Combine sama saja dengan program pemberdayaan masyarakat lainnya, terutama program JPS, yang memperlakukan masyarakat cenderung hanya sebagai obyek yang harus dibantu, yang akhirnya justru merasa jadi korban.

Di datangi oleh dua orang tenaga lapangan yang mengaku dan program Jaringan Informasi Berbasis Komunitas (Combine) Lurah Kelurahan Cigadung, Kecamatan Coblong, Kota Bandung menanyakan surat-surat ijin dari Kantor urusan sosial politik (Kansospol). Karena tidak menunjukkan surat yang dimaksud, Lurah Cigadung tidak memberikan ijin kepada dua orang tenaga lapangan Combine (dikenal sebagai fasilitator kelurahan-faskel) untuk menjalankan aktivitas di Kelurahan Cigadung. Kedua orang fasilitator kelurahan Combine tidak hilang akal. Mereka tetap melaku-kan akdvitas dengan langsung ber-hubungan dengan warga. Syukur diterima. Setidaknya oleh kelompok pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna dan Remaja Mesjid. Kemudian melalui para pemuda pendekatan kepada lurah dilakukan lagi dan tidak dipersoalkan meskipun tidak juga mendapatkan izin resmi.

Dari tujuh belas lokasi pelaksanaan program. Combine di Jakarta, Kota Bandung, dan DI Yogyakarta, hanya di Kelurahan Cigadung yang ditanya surat ijinnya. Tapi bukan berarti warga menerima gagasan jaringan informasi berbasis komunitas dengan begitu saja. Di banyak kelurahan, warga menghubung-hubungkan dan membanding-bandingkan program Combine dengan program-ptogram lain, seperti P2KP atau program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang diselenggarakan sejak tahun 1998. Ada yang langsung menyambut baik, ada juga yang banyak bertanya dan bahkan menolak program Combine.

Di Kelurahan Pasirluyu Bandung,warga yang kecewa kepada aparat kelurahan dan LKMD dalam melaksanakan program-program JPS, menyambut baik gagasan tentang perlunya jaringan informasi milik warga dan lembaga warga yang lebih diakui oleh warga. Melalui jaringan informasi dan lembaga yang representatif, warga berharap kontrol terhadap aparat birokrasi pelaksana program-program di masyarakat bisa mereka lakukan. Maka, beberapa tokoh warga RW 02 Kelurahan Pasirluyu segera membentuk Forum Pember¬dayaan Masyarakat Pasirluyu (Fordamapas).

Tapi meskipun sama-sama kecewa, sambutan warga di beberapa kelurahan tempat program Combine dijalankan tidak sama dengan warga Pasirluyu. Karena kecewa dengan program-pro¬gram JPS, banyak warga menjadi waspada terhadap program-program yang dikatakan sebagai “pemberdayaan masyarakat”. Sebut saja warga Maleer yang kecewa kepada salah seorang Ketua RW yang membuat Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dengan hanya mel-ibatkan keluarganya, membuat warga curiga program Combine juga akan diselewengkan.

Atau lebih tegas lagi tanggapan warga Kelurahan Terban Yogyakarta yang sampai curiga pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang banyak terlibat dalam pelaksanaan program-program JPS dengan mengatakan “LSM bisanya cuma menjual kemiskinan”. Beberapa warga yang menerima program Combine menjadi mundur begitu diberi penjelasan bahwa dalam Combine tidak ada alokasi upah bagi warga yang terlibat.

Penolakan lebih keras sebenarnya datang dari warga Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Mereka merasa sangat kesal dan kecewa dengan program-program pemberdayaan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, LSM, maupun partai politik karena tidak satu pun yang berusaha melihat keinginan warga Kalibaru. Warga seolah diperlakukan sebagai obyek yang tidak tahu apa-apa. Ingin mengembangkan usaha diberi perbaikan saluran air, ingin membangun sarana air bersih diberi proyek pengerasan jalan, dan sebagainya.

Pendeknya menurut pengakuan Abdul Kosim Nurseha, pembina Remaja Mesjid di RW 03, masyarakat Kalibaru sudah terlalu sering dibohongi oleh berbagai organisasi LSM atau partai dengan janji-janji proyek atau programnya. Malah Nurdin, salah satu tokoh masyarakat yang pernah tiga kali berturut-turut menjadi Ketua Karang Taruna Kalibaru, sempat mengusir fasilitator yang datang. “Kalian salah alamat. Silakan bikin di tempat lain saja,” ucap Nurdin kepada Wachid, fasilitator Kelurahan dari Bismi. Penolakan terhadap program Combine pada saat awal diperkenalkan ter-jadi di sebagian besar lokasi. Ada yang karena curiga, ada yang karena ddak ada uangnya, dan sebagainya.

***

Namun demikian, penolakan-penolakan warga terhadap Combine akhirnya bisa diatasi. Sebab secara prinsip warga mengakui bahwa warga memang perlu mempunyai pusat informasi, dalam ben-tuknya yang paling sederhana pun. Selain itu hampir di semua lokasi, warga mengakui bahwa perlu ada lembaga yang lebih diakui warga dan mampu me-libatkan warga seluruhnya. Daya tarik lainnya adalah upaya Combine menempatkan warga sebagai pelaku utama pembangunan di lingkungan sosialnya masing-masing.

Tidak adanya keterbukaan informasi dalam pelaksanaan program-program JPS membuat warga berharap dengan mengembangkan Combine di lingkungannya, keterbukaan informasi bisa dibangun. Terjadinya kolusi, korupsi, dan nepotisme oleh aparat Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dalam penyelenggaraan program-program pembangunan di lingkungannya membuat warga berharap bisa membuat lembaga warga yang lebih jujur yang bisa melayani warga, dan memimpin warga menjadi pemilik dan pelaksana program pembangunan di lingkungannya.

Para pemuda Kelurahan Gumuruh, Kecamatan Batununggal, Kota Ban¬dung segera menerima program Combine karena berharap bisa membongkar ketertutupan LKMD. Bagi mereka masalah transparansi begitu penting di Kelurahan Gumuruh, sebab selain tidak terbuka LKMD juga ddak bersedia memberikan informasi jika warga bertanya sekalipun. Belum apa-apa mereka yang bertanya dianggap protes. Melalui program Combine mereka berharap bisa mengembangkan pusat data dan informasi, sehingga kalau bisa membangun keterbukaan di kalangan warga. Warga menguasai informasi dan bisa melakukan pengawasan jika terjadi ketidakberesan di lingkungannya.

Sementara itu di Kelurahan Tamansari, Kecamatan Coblong, masih di Kota Bandung, warga sangat bingung dengan banyaknya lembaga warga yang tumbuh. Selain lembaga-lembaga yang muncul bersamaan dengan program-program P2KP seperd BKM, lembaga warga juga muncul seiring dengan rencana pembangunan jalan tol dan jembatan layang antara Jalan Pasteur dan Jalan Surapad. Sayangnya banyak warga yang ddak terwakili oleh lembaga-lembaga yang muncul di Tamansari, karena para ketua RW yang dipilih secara lang- sung oleh warga, tidak ikut terlibat. Akhirnya warga Tamansari membentuk forum warga yang beranggotakan per wakilan dari semua RW, dalam hal ini para ketua RW Selain itu, forum ini juga melibatkan warga lain yang direkrut atas dasar kemampuannya.

Tapi rupanya upaya warga untuk membangun lembaga warga yang lebih demokratis ini tidak selalu diterima oleh semua warga. Di Kelurahan Kalibaru, pertemuan yang berhasil melibat¬kan sebagian besar tokoh warga dari semua RW “di-WO” oleh para pengurus LKMD karena dianggap sudah terlalu banyak lembaga warga. “Mereka mempertanyakan mengapa bukan LKMD saja, atau koperasi saja,” cerita Ramli, ketua Fokkal, lembaga warga milik warga Kalibaru.

Meskipun ditolak oleh pengurus LKMD, kebanyakan tokoh warga tetap mengupayakan pembentukan lembaga warga yang diharapkan mampu mewujudkan aspirasi warga. Forum pun terbentuk dan bahkan sudah mulai menjalankan program-programnya.***

Warga Kelurahan Terban Yogyakarta sampai curiga pada LSM yang banyak terlibat dalam pelaksanaan program-program JPS dengan mengatakan “LSM bisanya cuma menjual kemiskinan”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud