Oleh Biduk Rokhmani
Awalnya, Edi Gunarto (36 tahun), warga Dusun Plebengan, Desa Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul, tidak pernah menyangka tumpukan limbah kulit kacang yang menggunung di samping rumahnya itu bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah atau elpiji. Padahal limbah itu sudah menumpuk di sana sejak tahun 2001, sejak ia memulai usaha penggilingan kacang di rumahnya. Guna mengurangi gunungan limbah kulit kacang yang setiap hari semakin bertambah tinggi itu, Gun menjualnya ke pengusaha tahu di sekitar kawasan Bantul dan kota-kota lainnya untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar mentah pengganti kayu atau minyak tanah dan elpiji. Bahkan, beberapa peternak ayam di Klaten juga memanfaatkan limbah itu sebagai campuran makanan ternak. Sebagai seorang yang sederhana, sesederhana itu pulalah selama ini pemikiran Gun untuk ‘menguangkan’ kembali kulit kacang yang telah dianggap sebagai sampah itu. Biasanya, laki-laki berambut gondrong itu menjualnya secara borongan seharga Rp 100 ribu per truk.
Namun, pada pertengahan 2007 lalu, ketika Pemerintah Desa Sidomulyo menyelenggarakan pelatihan pengolahan sampah organik menjadi bahan bakar, maka berubah pulalah orientasi hidup Gun (panggilan sehari-hari Edi Gunarto). Bersama 20 warga lainnya, dengan peralatan yang sederhana, Gun mengikuti pelatihan pembuatan briket dengan bahan baku limbah sampah organik. “Mulanya, tidak langsung memakai limbah kulit kacang di pekarangan rumah saya itu, melainkan pakai grajen kayu dulu, setelah dicoba berkali-kali akhirnya baru memakai kulit kacang. Selain bahan bakunya mudah didapat itu juga lebih bermanfaat,” terang bapak satu anak itu yang saat ini istrinya tengah mengandung anak kedua mereka.
Pelatihan itu, lanjutnya, sebenarnya tidak hanya memanfaatkan limbah sampah sebagai bahan bakar, tapi juga sampah nonorganik yang bisa digunakan sebagai bahan baku kerajinan, juga sampah organik lain yang bisa dibuat kompos. Namun ternyata justru pelatihan dengan memanfaatkan limbah kulit kacang sebagai bahan bakar itulah yang justru bertahan, bahkan bisa berproduksi secara mandiri dan dijual ke pasaran.
Pembuatan briket kulit kacang itu dimulai dengan pembakaran. Setelah menjadi arang, kulit kacang yang masih berbentuk utuh lantas digiling. Proses selanjutnya, serbuk arang kulit kacang itu dicampur dengan adonan lem kanji, kemudian dipres untuk dicetak. Pencampuran antara adonan serbuk kulit kacang dengan lem kanji membutuhkan perbandingan 10:1, jadi setiap 10 kilogram serbuk kulit kacang membutuhkan satu kilogram lem kanji agar bisa dipres menjadi cetakan briket yang diinginkan. Setelah briket dicetak, lantas dijemur hingga kering. “Selama ini kami mengandalkan sinar matahari untuk pengeringan, namun jika cuaca tidak memungkinkan terpaksa kami memakai oven,” jelasnya.
Dari keseluruhan proses produksi briket limbah sampah organik itu, pembakaranlah yang memakan waktu cukup lama, kurang lebih sekitar dua hingga dua setengah jam. “Saat dilakukan pembakaran itu, kita harus benar-benar memerhatikan keseluruhan prosesnya, tidak bisa ditinggal karena harus terus-menerus diawasi, jangan sampai apinya mati sebab nanti akan gagal. Akan tetapi api itu juga tidak boleh dibiarkan hidup (membesar, red) karena kulit kacang yang dibakar akan menjadi abu, kalau sudah jadi abu tidak bisa dibikin menjadi serbuk. Gampang-gampang susah, memang,” tutur suami Purwanti itu. Untuk itu dirinya harus selalu mengamati dengan teliti ketika proses pembakaran itu tengah berlangsung melalui asap yang dihasilkan dari pembakaran tersebut.
Setiap satu tong drum ukuran sedang sanggup memuat 10 kilogram kulit kacang untuk dibakar. Itu, nantinya, akan menghasilkan briket sebanyak 5-6 kilogram. “Jika kami bisa memanfaatkan waktu kerja secara efektif, per hari, bisa menghasilkan hingga dua kuintal briket siap pakai. Sayangnya, sejak adanya aktifitas pembuatan briket di komunitas kami ini, kami jadi sering didatangi wartawan yang ingin wawancara jadi malahan waktu kerja kami tersita untuk melayani para wartawan itu,” ujarnya sambil tertawa.
Untuk mendapatkan kulit kacang sebagai bahan baku, Gun tidak cukup risau memikirkannya. Sebab, limbah kulit kacang yang dihasilkan dari usaha penggilingan kacang yang dimilikinya mencapai 1-1,5 ton setiap harinya. “Kalau soal bahan baku kami justru berlebih. Apalagi sejak ada pembuatan briket itu, saya (secara pribadi) menghentikan penjualan limbah kulit kacang mentah kepada para pelanggan lama karena memang limbah itu akan saya manfaatkan secara maksimal untuk pembuatan briket saja,” paparnya.
Sayangnya, apa yang diharapkan Gun untuk memanfaatkan briket yang dijual per kilogram seharga Rp 2.000 dengan isi 20-25 bongkahan kecil itu masih belum mencapai hasil yang maksimal. Pasalnya, sasaran pemakai bahan bakar rumah tangga yang harganya relatif lebih murah dibanding minyak tanah atau elpiji itu justru bukan dari kalangan rumah tangga. Melainkan justru perajin-perajin yang menjalankan usaha home industri, seperti pengusaha tahu atau krupuk.
Gun mengakui, kesulitan penjualan itu juga dikarenakan belum adanya sosialisasi secara lebih luas kepada warga masyarakat, bahwa ada bahan bakar lain pengganti minyak tanah dan elpiji yang lebih murah dan mudah didapat, karena bisa dihasilkan dari lingkungan sekitar mereka sendiri. “Tetangga sekitar saya saja banyak yang tidak tahu tentang briket itu dan belum mau memakainya. Mereka masih khawatir, meskipun murah tapi takutnya pemakaian justru lebih boros,” kata ayah Vivilia Pradita itu.
Padahal, menurutnya, sebenarnya kita hanya perlu mengubah pola atau cara memasak yang selama ini sudah dijalankan. Jika pada umumnya masing-masing rumah tangga, dalam sehari, memasak keperluan pangan dan lain-lain dua hingga tiga kali, dan itu, ternyata memang relatif jauh lebih boros dalam penggunaan bahan bakar. Gun pun menyarankan, mulai sekarang, dengan adanya bahan bakar briket itu, masyarakat juga mulai mengubah pola memasak mereka. “Sebelum memasak terlebih dulu harus dikonsep sesuai dengan kebutuhan seluruh anggota keluarga pada hari itu, dan memasaknya pun juga harus diselesaikan dalam satu kali proses memasak, jadi dalam sehari tidak perlu memasak sampai dua atau tiga kali. Saat saya menerapkan pola itu dalam keluarga saya, ternyata memang lebih irit pemakaian bahan bakar. Apalagi jika memakai briket yang suhu panasnya lebih tinggi dan bisa bertahan lama dibanding minyak tanah, sehingga dalam mematangkan masakan bisa lebih cepat dan optimal,” jelasnya.
Kendala lain yang dirasanya menjadi penghambat tersosialisasinya briket itu adalah belum tersedianya tungku sebagai media pembakaran. Memang, tungku yang dibutuhkan bukan tungku sembarangan, seperti tungku arang yang selama ini dikenal masyarakat. Melainkan, harus menggunakan tungku khusus seperti yang digunakan untuk batu bara yang terbuat dari batu tahan api. “Kalau memakai tungku arang, panas yang dihasilkan tidak maksimal karena tidak merata, panasnya kan dari bawah. Jika memakai tungku batu bara panasnya merata karena dari atas,” ungkapnya.
Saat ini, Gun dan Pemerintah Desa Sidomulyo tengah menjalin kerja sama dengan para perajin gerabah di Pundong, Bantul untuk pembuatan tungku khusus briket sampah itu, yang rencananya akan dijual seharga Rp 6.000 per tungku. “Kalau nanti tungkunya sudah disediakan di sini, para pemakai dari kalangan rumah tangga sudah bisa memanfaatkan briket sampah itu sebagai pengganti bahan bakar minyak tanah untuk kebutuhan rumah tangga, karena kan tungkunya sudah ada. Jadi tidak hanya kalangan home industri yang memanfaatkan bahan bakar murah itu, melainkan individu juga sudah ikut memanfaatkannya, supaya tidak akan ada lagi alasan untuk tidak mau berganti menggunakan energi alternatif pengganti minyak tanah atau elpiji yang semakin langka dan mahal itu,” imbuhnya.
saya bisa minta alamat atau contactnya mas/mbak???
saya sangat tertarik,..
Bagus banget !!!
Kunjungi dan follow balik yaa di http://www.faktakita.com
Thanks ^^