Oleh Zein Mufarrih Muktaf
Sedari kecil kita sering kali dilarang untuk membicarakan alat reproduksi seksual. Tidak jarang lingkungan langsung mengatakan “jorok”, “tidak sopan”, atau menyuruh diam ketika kita bertanya mengenai bagian tubuh yang satu ini. Akibatnya sering kali alat reproduksi seksual menjadi sesuatu yang asing dan tabu untuk diungkapkan. Padahal alat reproduksi ini harus dilindungi dari berbagai hal, seperti penyakit dan beragam bentuk penindasan sosial dan budaya terhadapnya. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan dan akses informasi mengenai kesehatan reproduksi seksual. Lentera Sahaja (LENSA) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY adalah lembaga yang memfokuskan diri pada masalah kesehatan dan hak reproduksi seksual di kalangan remaja. LinggaTri Utama, yang bertugas di bagian konseling mengungkapkan, bahwa kelompok remaja perlu mengetahui dan sadar akan hak reproduksinya.
Setiap hari, dari pukul 10 pagi hingga 7 malam, Lingga melayani klien (sebutan individu yang didampingi-red) yang hendak berkonsultasi.Tidak heran jika ia cukup mengerti permasalahan umum yang dihadapi para remaja. Masalah-masalah yang ditanyakan masih pada tataran umum. Seperti masalah menstruasi, hubungan seks, dan onani bagi remaja laki-laki. Namun adajugayang hanya “curhat” tentang pengalaman cintanya dan permasalahan pacaran. Lingga membatasi konsultasi hanya pada masalah reproduksi seksual dan hal-hal lain yang berhubungan penting dengan hal itu. Jika sudah menyangkut masalah kelainan seksual, Lingga tidak mau menanganinya, ia selalu merujuk si klien kepada konsultan kejiwaan.
Tidak semua yang berkonsultasi datang ke kantor yang terletak di Jalan Taman Siswa, Gang Basuki Yogyakarta itu. Mereka juga bisa mengirim unek-uneknya lewat surat, telepon, website, atau e-mail. Menurut Lingga, dari semua media interaktif tersebut, sekitar 80% kliennya lebih suka memakai media telepon atau datang langsung ke Lentera Sahaja.
Peer Educator
Agar informasi mengenai kesehatan reproduksi seksual ini lebih efektif tersebar ke kelompok remaja, maka Lentara Sahaja menjalankan program Peer Educator (PE) yaitu pendampingan untuk para remaja SMP dan SMU yang ingin menjadi salah satu bagian dari kampanye kesehatan reproduksi remaja.
PE adalah remaja pelajar yang direkrut oleh Lentera Sahaja PKBI untuk menjadi relawan dalam mengampanyekan kesehatan reproduksi. Personal yang diambil adalah siswa-siswa yang giat dan aktif di sekolahnya, atau siswa yang dengan kesadaran sendiri ikut bergabung dalam program tersebut.
Setiap sekolah rata-rata diambil tiga sampai lima orang. Hingga saat ini Lentera Sahaja baru bekerja sama dengan sekolah di wilayah kota, belum keseluruhan wilayah di Yogyakarta. Walaupun cakupannya masih belum luas, niatan untuk melebarkan sayap ternyata sudah mulai disiapkan. Rencananya akan ada tiga SMU di Bantul dan tiga SMU di Kulon Progo yang siap untuk didampingi.
“Bulan kemarin kami baru saja selesai mengadakan pelatihan Peer Educator,” tutur Koordinator Pendampingan Sekolah Lentera Sahaja PKBI DIY Febryyanti Putri Khatulistiwa. PE inilah yang nantinya akan mengampanyekan sendiri perihal kesehatan reproduksi dan hak-hak reproduksi kepada teman sebayanya. Tahun 2007 pelatihan PE diadakan 3 hari di Sleman, dengan 58 peserta dari berbagai SMU di Yogyakarta. Program tersebut cukup efektif, dengan adanya pelatihan PE para remaja menjadi tergugah dan aktif untuk melakukan pendidikan kesehatan reproduksi kepada teman-ternannya.”Selain melakukan kampanye, ada juga dari mereka yang sudah melakukan advokasi kepada teman-temannya,” urai Putri. Ia menceritakan, ada suatu sekolah SMU di Yogyakarta yang siswanya menuntut adanya cuti bagi siswi yang hamil. “Siswa yang menuntut itu sudah pernah mengikuti pelatihan PE, dan sudah sadar akan hak-hak reproduksinya,” imbuhnya. Menurut Putri, tuntutan itu merupakan imbas dari kebijakan sekolah yang mengeluarkan setiap siswinya yang hamil.
Tak hanya berkutat pada pendampingan sekolah, Lentara Sahaja yang terwakili pada divisi konseling dan pendampingan sekolah juga menggagas ide untuk memasukkan informasi dan pengetahuan kesehatan reproduksi dalam kurikulum sekolah.”Materinya masih kita godok, kami sangat mengharapkan itu bisa masuk dalam kurikulum,” kata Putri serius. Menurutnya, otonomi daerah yang berimbas pula terhadap otonomi sekolah menjadi hambatan dalam merealisasikan program tersebut. Alasannya peraturan tersebut menjadikan birokrasi di setiap sekolah menjadi rumit dan sulit untuk mengegolkan program tersebut. Rencananya informasi dan pengetahuan kesehatan reproduksi akan dijadikan sebagai muatan lokal yang dimasukkan dalam mata pelajaran. Kini sekolah yang secara tidak langsung menyetujui kesehatan reproduksi sebagai muatan lokal adalah SMU BOPKRI 1, SMUN 9, dan SMU Perindustrian.
Media kampanye
Selain mengandalkan peran PE di sekolah-sekolah, Lentera Sahaja juga melakukan kampanye dengan membuka informasi keliling (infoling),”Biasanya, infoling stand by di UGM pada Minggu pagi, dan di berbagai mal yang menjadi tempat ngumpulnya para remaja,” jelas Lingga. Remaja-remaja yang tengah berkumpul didatangi dan diajak berdiskusi tentang kesehatan reproduksi, bahaya AIDS, dan narkoba.
Selain infoling, Lentera Sahaja juga memakai media brosur, stiker, dan kalender dalam
mengampanyekan kesehatan reproduksi. Media tersebut disebar di tempat-tempat stategis, dan di acara-acara massal yang berhubungan langsung dengan aktifitas remaja.
Lentera Sahaja juga pernah mengadakan peringatan Hari Remaja Sedunia (International Youth Day) pada tanggal 12 Agustus 2006 lalu. Acara musik di depan Benteng Vredeburg ini bertema “Remaja dan Kemiskinan”. Selain acara hiburan, Lentera Sahaja PKBI DIY juga mengadakan lomba penulisan surat untuk DPR. Surat-surat yang dipilih kemudian dikumpulkan menjadi sebuah buku dengan tajuk “Gumam dari Kampung Halaman yang Terbenam”. Isi surat-surat tersebut adalah bentuk keluh kesah remaja yang menjadi korban gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah 27 Mei 2006 lalu.
PKBI DIY juga membuat acara tanya jawab di beberapa radio di Yogyakarta, seperti di RRI, MediaTop, Arma 11, Rakosa, Istakalista, Masda, Radio Anak Jogja, dan Sonora. Juga di Jogja TV dengan acaranya “Obrolan Kesehatan Reproduksi” yang ditayangkan dua minggu sekali.
Walaupun melibatkan banyak media, namun menurut Lingga, belum ada ukuran kesuksesan program.”Kami selama ini belum mengukur dengan pasti kesuksesan program, tapi kami sering menyebar angket dan mendapat respon yang baik dari masyarakat,” tutur Lingga. Jelas, dampak dari program semacam ini tidak bisa langsung kelihatan. Ditambah adanya hambatan budaya yang menabukan pembicaraan persoalan kesehatan seksual. Lentera Sahaja telah memulainya. Proses mereka masih panjang, tetapi perlahan dan pasti semakin banyak kaum remaja yang kini sadar dan mempunyai sikap terhadap setiap persoalan yang menyangkut alat reproduksi seksual mereka.
kok gak ada contact personnya di halaman ini?