Judul : Trilogi Insiden
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Bentang
Halaman : vi + 458 hal; 20,5 cm
Tahun : 2010 (cetakan pertama)
ISBN : 978-979-1227-98-8
Tanpa berpihak kepada mereka yang tertindas dan menderita, jurnalisme akan kehilangan makna sebagai media dalam arti yang sesungguhnya: mengusahakan segalanya demi martabat manusia (SGA, 2001)
Wartawan itu ibarat juru cerita. Darinya mengalir banyak cerita, kadang berbeda kadang sama. Namun berbeda dengan cerita pengantar tidur klasik yang terus diingat orang, cerita para wartawan kadang nyaris seperti bisikan angin belaka yang lenyap di tengah deru badai cerita-cerita lainnya. Wartawan pun sebenarnya punya cerita tentang mereka. Jarang ditulis resmi, umumnya meluas lewat mulut ke mulut.
Saya memutuskan untuk tetap menyelesaikan membaca buku Trilogi Insiden meski secara satuan masing-masing buku di dalamnya telah rampung bertahun lalu. Ya, Trilogi Insiden merupakan kumpulan tiga buku Seno Gumira Ajidarma (SGA) yaitu Saksi Mata; Jazz, Parfum & Insiden; serta Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.
Ternyata membacanya dalam satu kesatuan mendatangkan bonus perspektif dan kesadaran berbeda ketimbang membaca ketiganya secara eceran. Yang jelas konteks Insiden Dili 12 November 1992 yang menjadi latar belakang utama ketiganya tidak lagi menjadi kurungan pikiran. Bagi saya justru yang tergambar sebenarnya adalah cerita tentang wartawan. Cerita yang hingga kini ternyata masih terus berulang dengan akhir yang mirip-mirip.
Cerita tentang wartawan
Paling mencolok tentu bagaimana wartawan kerap urung menceritakan fakta karena swasensor. Penyebabnya adalah tekanan (baca: paksaan) dari beragam pihak, dari pemilik media hingga pengiklan. Tengok tulisan SGA berjudul Jakarta Jakarta & Insiden Dili di halaman 346. Dia berkisah saat petinggi perusahaan media tempatnya bekerja bereaksi keras atas pemberitaan kasus Dili di Majalah JJ, dimana dia menjadi Redaktur Pelaksananya saat itu, dan memutasi mereka yang dianggap bertanggung jawab.
Kebenaran pada kisah itu sesungguhnya nyaris menjadi “cerita semua wartawan”. Sekitar pertengahan tahun ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang menerbitkan buku Potret Intervensi di Bilik Redaksi. Isinya tentang penelitian proses keredaksian di beberapa koran lokal terkait dengan kasus korupsi kepala daerah. Hasilnya serupa dengan cerita SGA itu, bahkan tidak semua wartawan sempat memublikasikan fakta karena keburu dipaksa atasannya untuk dibatalkan.
Demikian juga dengan “hilangnya” berita tentang Lapindo di stasiun televisi milik Grup Bakrie, polarisasi media yang kasat mata terlihat saat pilpres, semuanya sama. Tidak sedikit yang memilih mundur saat harus menghadapi realitas penyensoran di ruang redaksi. Tapi lebih banyak akhirnya menutup mata dan telinga demi mengepulnya asap dapur.
Cerita berikutnya tentang kualitas wartawan. Simak tulisan Wawancara dengan Bekicot. SGA mengawalinya dengan mengutip Rosihan Anwar yang menulis: Profesi wartawan menjadi suatu keranjang sampah tempat menampung orang-orang yang putus sekolah, setengah gagal, setengah intelektual, setengah putus asa. Ya seperti itu kira-kira gambarannya hingga kini.
Pengetahuan serba nanggung dengan hasil kerja yang juga nanggung. Berapa yang bisa menghasilkan tulisan bermutu; berapa yang sekedar mengutip kata-kata pejabat sana sini; berapa yang sibuk cari tambahan insentif dari narasumber atau iklan. Same old story. SGA sempat memetaforakan sindirannya.
“Anda, kok, pinter Mas Bekicot?”
“Lho, jelek-jelek begini saya pernah menjadi wartawan Bekicot Today.”
Baru sejak dua tahun terakhir muncul istilah “sertifikasi wartawan”, semacam uji kompetensi. Itu pun tidak semua wartawan melakukan dan tak ada sanksi. Yang melakukan pun tak semuanya sungguh-sungguh melainkan lebih demi gengsi media atau organisasi profesi semata.
Garis takdir wartawan dan fakta
Berikutnya tentu cerita bagaimana wartawan bersiasat menyampaikan kebenaran. SGA melakukannya dalam Saksi Mata dan Jazz, Parfum & Insiden. Dia menyampaikan laporan jurnalistik dalam bentuk cerpen, saat penyampaian dalam bentuk berita dihadang tembok sensor dan pelarangan. Sepanjang dua novel itu SGA terus berstrategi memasukkan laporan jurnalistik baik dalam bentuk percakapan maupun paparan. Bahkan bahasa “Dagadu” pun ikut menjadi siasat. Seperti dijelaskan dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, kata Timtim diubah jadi Gidgid, Dili menjadi Ningi dan Fretilin menjadi Hyegingid.
Nah, cerita tentang wartawan yang menjadikan sastra sebagai siasat menyampaikan kebenaran sebenarnya merupakan kisah lama. Bahkan banyak perdebatan teorinya. Misalnya realisme estetika. Menurut George Lewes, sastra merupakan representasi realitas, yaitu kebenaran itu sendiri. Istilah Schein des scheinlosen, penampakan dari sesuatu yang tidak nampak, tampilnya suatu kebenaran yang melampaui kenyataan dunia empirik bisa dilihat pada keberhasilan SGA “menyusupkan” teks wawancara asli yang berbau SARA pada novelnya. Padahal saat menulis artikel untuk majalahnya, hal itu disingkirkan karena dinilai rawan.
Di Indonesia juga ada novel serupa, seperti Perempuan dalam Cengkeraman Militer (Pramoedya Ananta Toer) tentang penderitaan para jugun ianfu di Pulau Buru dan Abal-abal (Arswendo Atmowiloto) mengenai mafia hukum. Sedangkan tema dan bahasa yang lebih ringan bisa ditemui di tetralogi Sisi Lain SBY karya Wisnu Nugroho, wartawan Kompas.
Wartawan dan fakta
Saya membayangkan betapa lengkapnya laporan jurnalistik Insiden Dili 1992 (dari 17 saksi mata) yang dibuat wartawan/wartawati JJ untuk diolah para redakturnya. SGA sangat terbantu dengan ini, mengingat hanya satu cerpen yang dia tulis setelah melihat Dili secara langsung yaitu Salazar. Sisanya praktis hanya mengolah laporan.
Bandingkan dengan Ernest Hemmingway misalnya, yang sama-sama jurnalis, cerpenis dan novelis. Hemmingway merasakan sendiri situasi perang yang kemudian menjadi latar beberapa novelnya. SGA ibarat koki berpengalaman yang mendapat pasokan bahan masakan superlengkap. Dia menjadi lebih leluasa menentukan menu yang pas dan bagaimana menyajikannya agar publik bisa menikmatinya.
Artinya wartawan memang mesti bergulat dengan fakta. Telaten mengumpulkannya meski terserak bahkan kadang tersembunyi, lalu memverifikasinya dan lantas merangkainya. Cerita tentang wartawan yang menulis berita dengan sumber sumir sudah sering kita dengar. Seperti berita tentang Samsung membayar denda ke Apple menggunakan puluhan truk uang koin diadopsi begitu saja dan dimunculkan di halaman pertama sebuah koran lokal terbesar di Jawa Tengah tanpa mau susah mengecek ulang. Padahal berita itu adalah berita bohong alias hoax yang ada di sebuah laman lengkap dengan fotonya yang juga palsu. Coba imajinasikan apa yang terjadi bila ternyata laporan Insiden Dili 1992 yang masuk ke meja para redpel JJ ternyata tidak benar? Maka SGA pun tidak akan mampu menghasilkan buku yang terangkum dalam trilogi dahsyat ini.
Dahsyat karena justru sebagai trilogi dapat dinikmati dan menginspirasi siapapun. Entah Anda orang yang sehari-hari akrab dan hidup dengan media; atau orang yang ingin memahami cerita-cerita wartawan dengan cara yang lain; atau para akademisi yang ingin mendapat penjelasan behind the scene cerpen-cerpennya; atau bahkan bila bukan ketiganya tapi sekedar penikmat kultur kosmopolitan pun bisa menikmati alunan jazz dan wangi parfum yang mendekap fakta Insiden Dili erat-erat di buku ini. Keutuhan yang paripurna.
Peresensi : Imung Yuniardi
Pegiat Combine Resource Institution