Oleh D. Fikriani
Upaya para fasilitator untuk menyebarluaskan gagasan Jaringan Informasi Berbasis komunitas dihadapkan pada banyak kendala. Saat awal memperkenalkan gagasan Combine pada warga Terban Yogyakarta, Cahyadi Fitri dan temannya Morgana, menghadapi kondisi warga yang mempersamakan Combine dengan program JPS yang ada uangnya. Warga pun mencurigai Cahyadi seperti orang LSM lain yang suka menjual kemiskinan rakyat.
Pada, Minggu malam, 13 November 2000, di balai kelurahan warga Kelurahan Terban mengadakan musyawarah warga. Acara yang dihadiri para orang tua maupun pemuda-pemudi ini melibatkan seorang fasilitator program Jaringan Informasi Berbasi Komunitas —Combine (Community Based Information Network). Musyawarah dimulai dengan pembukaan oleh Lurah Terban yang kemudian memberi kesempatan kepada fasilitator, namanya Cahyadi Fitri, untuk menyampaikan penjelasannya tentang Combine.
Dengan percaya diri Cahyadi pun lantas memperkenalkan Combine seba-gai Jaringan informasi berbasiskan komunitas atau Jaringan informasi milik warga. Program atau gerakan ini dimaksudkan untuk membangun keterlibatan warga sebagai pelaku utama pembangunan, setidaknya di lingkungan permukimannya sendiri. Untuk itu warga perlumembagun dua pilar yaitu pusat informasi milik warga dan lembaga warga yang benar-benar mewakili dan diakui oleh warga.
Dengan Jaringan informasi, Cahyadi memberikan contoh, paling tidak bisa membantu warga untuk mengetahui program-program pembangunan di lingkungannya untuk kemudian meman-tau atau mengawasinya. Dan dengan lembaga yang kuat, warga jadi punya kekuatan untuk memperjuangkan kepentingannya. Baik untuk bekerjasama maupun bersaing dengan pihak lain.
Usai menjelaskan apa dan bagaimana bagaimana Combine, Cahyadi cukup menerima banyak pertanyaan yang diajukan warga. Sigit, salah satu warga, menanyakan asal muasal dana program ini. Pertanyaan Sigit ini ditimpali celetukan warga lain yang banyak berkisar masalah dana, berupa hibah atau hutang dan luar negeri, dan lain-lain. Beberapa warga juga menanyakan mengapa warga harus bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). “LSM kan menjual kemiskinan,” celetuk salah seorang warga.
Atas pertanyaan dan gugatan warga Kelurahan Terban Cahyadi menjelaskan lebih dalam, bahwa Combine pada intinya merupakan suatu gerakan yang diharapkan membawa perubahan bagi masyarakat. Sebagai sebuah alternatif, program ini ingin mendorong penyeba-ran infbrmasi serta merangsang keterbu-kaan dan partisipasi politik masyarakat. Fasilitator dari Elses ini menerangkan bahwa program yang dibawanya tidaklah disertai dengan dana besar karena bukan proyek seperti program-program JPS. Karenanya keberhasilan gerakan ini tergantung pada warga sendiri.
Setelah menedangarkan tanggapan dan penjelasan Cahyadi, beberapa warga bisa memahami dan menerima konsep jaringan informasi berbasis komunitas, tapi tidak kalah banyak pula warga yang tetap ridak menerima. Beberapa warga menanyakan apakah dia mendapat imbalan jika terlibat, sebagaimana dalam program JPS. Cahyadi menanggapi bahwa program ini lebih sebagai ger-akan masyarakat, maka tidak ada dan-anya. Demi mendengar jawaban Cahyadi beberapa warga yang sempat tertarik menjadi surut “Mereka langsung minta ijin pulang,” cerita Cahyadi.
Mendapatkan penolakan dari warga, Cahyadi membicarakannya dengan rekan-rekan kerjanya di Elses untuk mencari langkah-langkah antisipasi. Mereka membuka kembali data dan informasi hasil penjajakan dan inves-dgasi awal tentang kondisi sosial Kelurahan Terban. Analisis mereka nenghasilkan kesimpulan bahwa dalam nasyarakat Terban yang masih bernuansa tradisional, terdapat beberapa orang tokoh warga yang dipercaya oleh yarga dan karenanya dijadikan panutan. Akhirnya diputuskan bahwa Cahyadi harus melakukan pendekatan secara personal kepada beberapa tokoh warga.
Cahyadi pun lantas mendekati beberapa warga yang dianggap menjadi panutan warga lain. Lewat tokoh-tokoh masyarakat inilah Cahyadi melakukan pendekatan secara personal. Dimulai dengan memperkenalkan diri serta memberikan gambaran tentang gagasan pengembangan keterlibatan warga sebagai pelaku utama pembangunan di lingkungannya melalui jaringan informasi berbasis warga. Kepada para tokoh warga yang memahami dan menerima penerapan gagasan yang disampaikannya, Cahyadi meminta kesediaannya untuk membantu melakukan sosialisasi pada warga lain.
Para tokoh warga inilah yang kemu-dian membantu dalam proses sosiaSsasi di lingkungan warga dalam lingkup yang lebih luas. Masyarakat yang dipenuhi dengan kecurigaan-kecurigaan, termasuk tentang dana, diharapkan bisa memahami alur gerakan Combine yang sebenarnya.
Upaya Cahyadi mendekati para tokoh menghasilkan banyak cerita menarik. Fasilitator lulusan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini mempunyai beberapa kesamaan dengan beberapa tokoh warga di Terban maupun di Sagan. Supriyanto, dikenal sebagai Pak Pri, salah satu tokoh warga Kelurahan Terban kebetulan mempunyai weton, hari dan pasaran kelahiran, yang sama dengan Cahyadi yaitu Selasa Kliwon. Karena adanya kesamaan tersebut, Pak Pri sampai-sampai pernah mengatakan kepada warga lain bahwa “Siapa yang tidak menghormad Cahyadi berarti tidak menghormati saya.” Hasilnya, banyak warga menjadi menerima kehadiran Cahyadi di lingkungannya.
Di Kampung Sagan, masih di Kelurahan Terban, Cahyadi pun mengalami hal serupa. Setidaknya ada tiga tokoh warga lahir pada tanggal yang sama dengan Cahyadi yaitu tanggal 7 November, antara lain Cahyadi, Willy Prasetyo (mantan Lurah Terban), dan Nuryadi, tokoh pemuda. Hubungan antara ketiga tokoh warga ini dengan Cahyadi men¬jadi cukup akrab. Dan dari mereka Cahyadi mendapatkan cukup banyak bantuan untuk mensosialisasikan Com¬bine kepada warga lainnya.
Meskipun begitu upaya Cahyadi dalam melakukan pendekatan di Sagan berbeda dengan yang dilakukannya di Terban. Sagan, memiliki karakteristik khusus, bersifat lebih homogen karena kebanyakan penduduk asli Yogya. Mulanya, pendekatan dilakukan melalui tokoh warga yang dianggap sebagai tokoh kunci. Tapi Cahyadi harus berhadapan dengan fakta bahwa banyak tokoh warga di Sagan yang berbeda ‘kubu’. Akhirnya setelah melakukan analisis dengan rekan-rekannya di Elses pilihan jatuh pada pendekatan struk-tural, melalui jalur birokrasi kelurahan.
Bersama-sama beberapa tokoh warga, Cahyadi menemui Lurah Terban, untuk meminta bantuan mengundang warga mengadakan musyawarah warga. Lurah pun bersedia karena mempertimbangkan gagasan Combine baik untuk meningkatkan partisipasi warga dalam membangun lingkungannya. Undangan Lurah ditanggapai dengan baik oleh warga. Konflik antar RW dan pengkubuan antar-tokoh bisa teredam dan perbedaan penerimaan terhadap konsep Combine pun jauh berkurang. Pendek kata, warga Kelurahan Terban sepakat untuk menerima penerapan Combine di lingkungannya dan banyak yang ber¬sedia untuk terlibat. Akhirnya, melalui musyawarah warga di balai kelurahan pada pertengahan bulan Januari 2001, warga Kelurahan Terban membentuk paguyuban
PINTER (Pengembangan Informasi Terpadu)
Meskipun penerimaan warga terha¬dap Combine telah terbangun, tidak lantas masalah telah selesai. Cahyadi menggambarkan bahwa keaktifan warga sangat fluktuatif. Satu kali warga bersemangat, tapi pada saat lain kendor sama sekali. “Ketika dihadapkan masalah ekonomi keluarga, warga biasanya akan mundur dari proses bersama ini,” kata Cahyadi. Tapi Cahyadi menilai, masyara¬kat Terban cukup dinamis dan proakdf. Mereka mencurahkan energinya dalam kapasitas yangmenakjubkan, lebih-lebih pada ide baru.
Bahkan Cahyadi perlu berterimakasih kepada warga yang berhasil merumuskan ukuran atau indikator keberhasilan yang tepat untuk sosialisasi program. Ketika tengah bingung menentukan indikator paling tepat untuk mengukur keberhasilan sosialisasi, seorang warga RW 11 memberi saran, “Gini aja Mas, nanti kalo Mas Cahyadi sudah sosialisasi ke sana (salah satu RW, red.), lalu besoknya Mas datang lagi ngobrol secara informal. Nggak usah ngomon-gin program. Kalau ada yang bertanya tentang Combine berarti sosialisasi berhasil tho?”
Demikianlah, keberhasilan Cahyadi untuk diterima oleh dan mendapatkan kerjasama warga Terban bukanlah sekedar keberuntungan. Dia tidak mau terjebak dalam jargon ‘pemberdayaan masyarakat’ yang menganggap masyarakat tidak berdaya. la, sebagai fasiliator, merasa dituntut mampu melakukan pendekatan secara tepat, melalui keari-fan dan kecerdasan warga. “Saya malah banyak belajar dari warga, bukan mereka yang belajar dari saya,” tutur Cahyadi mengakhiri cerita pengalamannya beker-jasama dengan warga Terban.