Oleh Bowo Usodo
“yang satu harus ada yang lain. Bermain sendiri takkan menghasilkan kemenangan,”ungkaop Otto Rehhagel, pelatih Timnas Yunani di Euro 2004.
Tercatat dua tahun dua bulan sudah Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) lahir. Kelahirannya yang berjarak tidak terlalu jauh dengan menetasnya Undang-Undang Penyiaran no 32/2002, masih menyimpan sekeranjang pertanyaan. Semisal, apa yang akan terjadi seandainya segenap harapan dan keinginan radio komunitas (rakom) terwujud? Seandainya segala hal yang berkait dengan pengaturan dan penegakan perundang-undangan sudah siap? Sudahkah rakom mempersiapkan dirinya untuk mengatur dirinya sesuai peraturan perundangan yang ada.
Belum lagi persoalan dengan pihak lain yang tertarik bekerja sama dengan aktivitas radio komunitas dalam kesehariannya atau JRKI dalam keseharian organisasinya. Serta banyak pertanyaan, bila tidak ingin disebut masalah atau kekurangan lain yang belum terdaftar dalam kesempatan ini, demikian pengungkapan dramatisnya. Sederhananya sebagai sebuah tim, JRKI belumlah menemukan bentuk organisasi ‘permainan’ yang efektif.
Namun dari sederetan pertanyaan di atas, sesungguhnya pertanyaan tentang manfaat adanya JRKI sebagai pertanyaan yang paling menggelitik. Pertanyaan ini penting, karena dari pertanyaan mendasar inilah maka irama permainan yang akan dipilih oleh JRKI sebagai tim baru, dalam eksistensi penyiaran akan teridentifikasi.
Selama ini, dalam realitasnya JRKI merupakan sebuah ruang kumpul-kumpul rakom yang didirikan oleh JRK-JRK wilayah, masih bermain dengan pemahamannya sendiri terhadap pergerakan dengan atau tanpa bolanya. Sebagai sebuah organisasi, JRKI yang dibangun dari perkenalan antara satu rakom dengan rakom yang berada di tempat lain dua tahun yang lalu, berakibat munculnya keinginan untuk berjalan beriring menyelesaikan perkara pengakuan bagi rakom. Praktis sejak saat itu pula rasa memiliki satu sama lain terhadap organisasi kumpul-kumpul ini pun mengristal.
Dari cerita ini sesungguhnya kita diingatkan pada sebuah komitmen bersama terhadap keberadaan JRKI itu sendiri. Bila mendiang Kennedy hadir saat itu pasti akan dilontarkanya gagasan, “Mari kita berikan sesuatu pada JRKI sebelum kita menuntut sesuatu pada JRKl, karena sesungguhnya kitalah yang membuat gara’ gara hingga }RK1 kita lahirkan.” Namun baiklah dari cerita tersebut, sesungguhnya catatan ini ingin menawarkan gagasan tentang cara bermain bagi JRKI dari kavling ruang organisasi, kepemimpinan, komunikasi, dan budaya teliti dan evaluasi. Semoga catatan ini bisa sebagai salah satu cara dapat menetralkan pertanyaan tentang manfaat dari keberadaan JRKI.
Sebagai sebuah organisasi yang mengandalkan mandat dan kerja kolektif, maka akan lebih cantik bila JRKI saat menempuh proses memecahkan isu-isu penting, mengundang proses bersama, sehingga pada gilirannya kelak proses ini dapat merangsang pengembangan kemampuan berbagai pihak yang terlibat dalam lingkaran JRKI yakni komponen di dalam jaringan-jaringan rakom di setiap wilayah.
Dengan iklim yang demikian. maka tim kerja akan terbangun dengan kokoh, sumber daya baik uang, waktu, dan orang termobilisasi secara kondusif dalam lingkaran para pihak. Iklim sejenis inilah, iklim yang dapat menyingkirkan hambatan potensial, sehingga perubahan akan terselenggara sesuai semangat awal yang kolektif atawa kebersamaan.
Kemudiaan dalam ruang kepemimpinan, sekali lagi dengan semangat kebersamaan tadi, maka rasa kepemimpinan hendaknya merasuk dalam sanubari setiap kita yang terlibat dalam keorganisasian JRKI ini. Perbedaan antara kita menjadi kekuatan yang akibatnya dapat dilampiaskan ke dalam norma keseharian organisasi, dalam wujud mekanisme, resolusi konflik, sensitivitas budaya dan politik, struktur, peran, serta tanggung jawab. Peran pemimpin sebagai fasilitator, sekaligus menjadi pendukung utama dalam pengembangan tim, maka kesetiaan akan berakibat seperti syair Friderich Schiller,’ Dan kesetician, ia bukanlah kegilaan yang kosong belaka.’
Hal selanjutnya adalah komunikasi, secara sederhana ranah ini berkaitan dengan aktifitas ngobrol. Cara berkomunikasi yang jelas dan terbuka, disertai kemudahan untuk memahami bahasa yang dipakai akan mempermudah tafsir terhadap segala pemahaman yang berkembang. Selain komunikasi dengan sesama kita, komunikasi dengan pihak lain harus dibangun, sebagai usaha menjaring dukungan seluas-Iuasnya terhadap penggalian sumber-sumber daya yang diperlukan. Hal lain yang juga jangan terlupakan adalah memelihara jalinan komunikasi informal kelangenan yang telah terjadi satu sama lain, terutama dengan para pihak jaringan di wilayah.
“Jangan ada dusta diantara kita…” rasanya syair mendiang Broery ini mewakili roh dari catatan gagasan ini. Catatan tentang budaya teliti dan evaluatif dalam keseharian JRKI. Kebiasaan meneliti dan evaluatif terhadap setiap kegiatan, merupakan kebiasaan yang dapat memandu JRKI, dalam memperkaya dan memperdalam informasi perihal kemajuan atau kondisi lain terhadap pencapaian atau pendekatan ke arah tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Sebagai rangkaian yang selalu di tempatkan terakhir, kadang karena terakhir, rangkaian ini selalu berjalan terhuyung-huyung layaknya kondisi lelahnya pihak yang terlibat. Dalam setiap arena kegiatan, evaluasi yang berkadar ketelitian selalu menagih kejujuran dan kelapangan setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Lantas, mengapa pula kita perlu insaf terhadap keterbatasan kita? Meminjam langkah bijak Si Kabayan, keterbatasan hendaknya ditempatkan tak ubahnya sebagai alarm yang akan membangunkan kita semua dari kelenaan kita semua, untuk segera berbenah mengoptimalkan keterbatasan kita sebagai kekuatan kita.
Bowo Usodo dari Jaringan Radio Komunitas ]awa Barat